Oleh: Dr Tri Santoso
Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden Republik Indonesia
Penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) pada tahap pertama diklaim oleh Menteri Kesehatan berhasil dengan minim kendala sehingga pada tahap kedua diterapkan di rumah sakit yang lebih luas.
-----
Kelas rawat inap standar (KRIS) bagian dari agenda reformasi kesehatan. Dasar hukum kebijakan ini termuat dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), PP No 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, dan Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan mulai September hingga Desember 2022 memberlakukan uji coba pelaksanaan KRIS. Pada tahap pertama uji coba di empat rumah sakit milik Kemenkes, yakni RSUP Surakarta, RSUP dr Tadjuddin Chalid, RSUP dr Johannes Leimena, dan RSUP dr Rivai Abdullah.
Uji coba kedua dilakukan mulai 1 Desember 2022. Pada tahap ini, diperluas dengan menambah sepuluh rumah sakit yang terdiri dari rumah sakit Kemenkes, RSUD, dan rumah sakit swasta. Sepuluh rumah sakit diterapkan uji coba KRIS, yakni RSUP Sardjito, RS Siedarso Kota Pontianak, RSUD Sidoarjo, RSUD Sultan Syarif M Alkadrie Kota Pontianak, RS Santosa Kopo Kota Bandung, RS Santosa Central Kota Bandung, RS Awal Bros Batam, RS Al Islam Kota Bandung, RS Ananda Babelan Bekasi, RS Edelweis Kota Bandung.
Uji coba pelaksanaan KRIS ini melalui dua kelas, yakni rawat inap kelas 1 untuk peserta JKN kelas 1 dan rawat inap kelas standar (KRIS) untuk peserta JKN kelas 2 dan 3 dengan maksimal empat tidur. Uji coba ini mengacu pada 12 kriteria dari naskah akademik yang dikaji oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Catatan dan Evaluasi
Penerapan KRIS pada tahap pertama diklaim oleh Menteri Kesehatan berhasil dengan minim kendala sehingga pada tahap kedua diterapkan di rumah sakit yang lebih luas. Wajar saja atas klaim ini mengingat faskes yang ditunjuk sebagai uji coba adalah rumah sakit yang infrastruktur, tata ruang, peralatan pendukung, dan sarana prasarananya mendekati kriteria ideal. Hanya tinggal meng-upgrade hal-hal kecil seperti penambahan tirai, humidifier, AC, dan nurse call. Menurut hitung-hitungan DJSN biaya upgrade pada rumah sakit uji coba tahap pertama berada pada kisaran Rp 400 juta hingga Rp 4 miliar.
Berdasarkan data Kemenkes pada rumah sakit uji coba tahap pertama di RSUP dr Johannes Leimena dari segi tempat tidur hanya terjadi pengurangan 11,2% atau 16 tempat tidur. Sedangkan di RSUP dr Rivai Abdullah hanya terjadi pengurangan 17 tempat tidur, dari 107 menjadi 90. Untuk di RSUP Surakarta dan RSUP Tadjuddin Chalid tidak terjadi pengurangan tempat tidur. Uji coba tahap kedua salah satunya di RSUP dr Sardjito, hanya terjadi pengurangan 10-20 tempat tidur.
Pelaksanaan uji coba tahap pertama dan kedua jangan hanya sampai pada batas pelabelan rumah sakit yang mestinya sudah siap melaksanakan KRIS. Lebih menantangnya uji coba dilakukan di rumah sakit yang infrastruktur dan daya dukungnya terbatas. Misalnya di RSUP dr M Djamil, jika KRIS terapkan akan mengurangi 30 persen atau 250 tempat tidur, dari 800 akan berkurang menjadi 550. Antisipasinya mereka harus menambah jumlah ruang inap, jika tidak akan terjadi potensi penurunan kelas/tipe rumah sakit dan terjadi penumpukan jumlah pasien. Dengan kondisi ruang yang ada sekarang saja masih terjadi antrean pasien mengingat rumah sakit ini menjadi rujukan lima provinsi yang ada di Sumatra.
Kendala perluasan dan penambahan tempat tidur yang ada di RSUP dr M Djamil dapat menjadi piloting uji coba untuk menganalisis dampak yang lebih komprehensif. Di rumah sakit ini mereka menggunakan lahan terbatas dan tidak bisa menambah jumlah ruang secara vertikal karena faktor rawan gempa dan tsunami sehingga dibatasi peraturan pembangunan gedung tidak boleh lebih dari lima lantai. Alternatifnya, mereka harus mengajukan hibah lahan dengan hak pakai milik Departemen Perhubungan yang berada di belakang kawasan rumah sakit dengan fasilitasi Kantor Staf Presiden (KSP). Tentu estimasi penambahan ruang rawat dan upgrade fasilitas bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliar, jauh di atas hitungan DJSN pada uji coba tahap pertama.
Apakah rumah sakit yang diuji coba sudah mewakili klaster rumah sakit dengan daya dukung finansial dan infrastruktur yang rendah dan tinggi? Atau hanya sebatas membagi pada tipe rumah sakit (A, B, C, D)dan dipilih yang mendekati kriteria sempurna? Hal ini menjadi penting untuk mengoreksi sekaligus evaluasi bersama proses reformasi pelayanan kesehatan melalui KRIS. Kita harus ingat bahwa 63 persen rumah sakit di republik ini milik swasta, mereka tentu butuh bantuan dan skema pembiayaan dari sumber lain.
Memang dari survei Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) sikap rumah sakit terhadap pentahapan keharusan implementasi KRIS dari 1.158 responden rumah sakit yang eligible menyatakan 76 persen setuju. Tetapi, perlu dilihat secara detail, apakah mereka seluruhnya sanggup dengan 12 kriteria atau butuh penyesuaian dan penyederhanaan.
Reformasi pada sektor pelayanan kesehatan tetap harus didukung tetapi ada soal lain yang lebih mendesak, masalah ketimpangan jumlah dokter, ketimpangan rasio rumah sakit, dan kekurangan serta sebaran dokter spesialis yang tidak merata. (***/rdh/k15)