Komunitas Scooby-doo ”Menyerang Kota” dengan lukisan, grafiti, mixmedia, dan foto-foto yang mengkritik proses hukum tragedi Kanjuruhan yang dinilai tidak adil. Mereka akan terus bergerak dan bersuara, termasuk mungkin saja menggelar pameran di luar ruangan.
BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Kota Malang
DINDING putih itu diberi garis dengan kuas bercat hitam. Garis tersebut membentuk persegi. Semua isi Pancasila langsung ditulis di situ. Memasuki sila kelima, warna cat diganti.
Cat merah digoreskan untuk menulis ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Di sisi kanan, dilukis wajah yang tampak muram.
”Ini adalah sindiran. Sila kelima ini sulit diterapkan di Indonesia. Keadilan belum merata,” kata Dimas Dapeng Mahendra saat ditemui Jawa Pos di gedung Dewan Kesenian Malang (DKM), Kota Malang, Selasa (10/1) lalu.
Dapeng adalah koordinator aksi ”Menyerang Kota”, tema pameran yang digelar di gedung DKM pada 9-11 Januari lalu. Pameran itu digagas komunitas street art asal Malang, Scooby-doo. Sebuah bentuk protes karena tidak diterapkannya sila kelima Pancasila dalam penanganan tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa.
Para anggota Scooby-doo terdiri atas puluhan seniman lintas bidang. Ada lukis, grafiti, dan mixmedia di antaranya. Mereka aktif berkegiatan sejak 2020.
Ide ”Menyerang Kota” itu berawal dari kekesalan Dapeng. Dua kali dia ikut aksi Aremania turun ke jalan: menuntut #UsutTuntas tragedi Kanjuruhan. Bukannya puas, dia malah geregetan.
”Apa yang kami tuntut kok kayaknya tidak didengar. Wes gak onok kepastian, demo yo mbarai embong macet, akeh sing protes (Sudah tidak ada kepastian, demo juga bikin jalan macet, banyak yang protes),” beber pria 40 tahun itu.
Dari situlah dia memiliki ide untuk bersuara dengan cara lain. Dia mengumpulkan anggota komunitasnya. Termasuk seniman street art lain di Malang. Mereka memilih menyuarakan kritik dan protes melalui karya seni.
”Persiapan hanya tiga pekan. Alhamdulillah ada 20 seniman yang ambil bagian,” ujar Dapeng.
Beragam karya dipamerkan. Mulai poster, lukisan, grafiti, hingga mixmedia. Semua dipajang dalam dua ruangan yang berbeda.
Dua ruangan tersebut punya ukuran yang sama: 8 x 8 meter. Tema universal ada di ruang pertama. Karya seni yang dipajang adalah gambaran umum soal tragedi Kanjuruhan.
Di pojok sisi barat, ada mixmedia yang digantung. Kayu-kayu bekas disusun seperti jam dinding. Di bagian atas, ada tulisan 1312. ”Itu adalah kode ACAB. Bentuk protes kepada polisi,” beber Dapeng.
Di bagian tengah, ada angka 135. Jumlah korban tragedi Kanjuruhan. Di bawahnya, ada stiker: fragile, handle with care. ”Apa maknanya? Itu adalah sindiran kepada para penegak hukum kita. Bahwa kasus ini itu fragile atau rentan. Jangan dikerasi, nanti takut ada apa-apa,” katanya.
Artinya, perkembangan penanganan hukum terkait tragedi Kanjuruhan sangat sensitif. Padahal, di sisi lain, lanjut pria yang punya nama panggung Dapeng Gembiras itu, ada 135 korban nyawa.
Di sisi timur, ada foto-foto yang ditempel. Ukurannya kecil, 10 x 15 sentimeter. Dijejer dengan berbagai artikel lawas sejak awal 2000-an. Total ada 30 foto dan artikel yang dipajang. Semua menceritakan soal laga derbi Jawa Timur: Arema vs Persebaya.
Semua koleksi itu milik Arief Wibisono. Dalam salah satu foto lawas yang diambil di Stadion Gajayana, Kota Malang, ada suporter yang mencoba turun. Pihak keamanan menyemprotkan air dari mobil pemadam kebakaran. Dari situ, Bison, sapaan akrab Arief Wibisono, mulai sadar.
”Bahwa dulu (pengamanan suporter) pakai air. Sekarang pakai gas air mata. Ini seperti sebuah kemunduran,” terang Bison.
Di bagian poster, ada foto personel kepolisian. Dia memegang senapan gas air mata. Wajahnya tampak jelas. Di bawahnya diberi tulisan ”Man of the match of brutality”.
Personel kepolisian itulah, kata Dapeng, yang membuat sila kelima tadi susah diterapkan. Sampai saat ini, dia tidak ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, wajahnya terpampang jelas.
Di antara poster dan lukisan tengkorak kuning, dinding dibiarkan memutih. Di bawahnya, ada 26 abjad dari kayu. Ada tinta warna-warni di sampingnya. ”Itu adalah dinding kreasi. Pengunjung bisa menulis unek-unek apa saja di dinding tersebut,” beber Dapeng.
Sudah ada beberapa cap di tembok: freedom, #UsutTuntas, hingga 135 nyawa. Anas Fadhil, salah seorang pengunjung, turut memberikan cap di tembok itu.
”Selama ini (protes) yang kami tahu hanya demo dan turun ke jalan. Ternyata ada perspektif lain yang bagus untuk mengkritik, yaitu melalui seni,” kata mahasiswa semester III Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya itu.
Dapeng memastikan aksi ”Menyerang Kota” tidak akan diam di tempat. ”Seni itu bisa dilakukan di jalan-jalan. Kami bisa saja melanjutkan protes melalui seni di luar sana,” ujar pria asli Sawojajar, Kota Malang, itu.
Dapeng memamerkan karya miliknya yang dipajang di ruangan dua gedung DKM. Dia memanfaatkan besi bekas pemancar parabola.
Dia menggambar air mata berwarna merah. Di bawahnya, ada tengkorak dan bunga mawar. Lalu, ada tulisan: Memberontaklah selagi muda. ”Kalau merasa masih muda, ayo bergerak. Bisa dengan cara apa pun. Kalau sudah tua, kan waktunya untuk tobat,” seloroh pria kelahiran 9 September 1982 itu.
Pameran tidak hanya memajang karya seni. Malamnya ada aksi teatrikal. Setidaknya ada enam orang yang bermain teater di gedung DKM. Setiap aksi menyelipkan soal protes tragedi Kanjuruhan. ”Kalau malam, kan pengunjung tambah banyak. Aksi teatrikal ini kami lakukan untuk menyampaikan bagaimana perkembangan (hukum) tragedi Kanjuruhan,” kata Dapeng.
Dapeng tidak tahu apakah aksi tersebut bisa sampai ke telinga para pemangku jabatan. Setidaknya dia dan kawan-kawan sudah mencoba. Satu hal yang dia yakini dan itu disampaikan dalam banner yang ditulis dan dipajang di gedung dua DKM: Semua kejahatan pasti akan terbongkar! (*/c19/ttg/jpg/dwi)