Mencari jejak raja dari kerajaan yang berdiri ribuan tahun lalu itu tak mudah.
---
MULAWARMAN adalah nama yang sebenarnya tak asing bagi warga Kaltim. Nama ini dipakai untuk kampus terbesar di provinsi, dan sejumlah instansi lainnya. Bagi para pelajar, nama ini dikenal sebagai salah satu raja di kerajaan tertua yang ada di Muara Kaman, Kutai Kartanegara (Kukar). Namun, tak semua mengenal Mulawarman dengan baik.
Diakui penulis buku Mulawarman Sang Raja dari Titik Nol Peradaban Nusantara Pioner Kepemimpinan Visioner, Muhammad Sarip, mencari jejak raja dari kerajaan yang berdiri ribuan tahun lalu itu tak mudah dan tak banyak. Dia pun mesti membedah makna dari aksara-aksara pada Yupa dan berburu penelitian soal kerajaan ini yang jumlahnya juga tak banyak. Semua bermodalkan dari tujuh Prasasti Yupa. Bahkan, untuk nama kerajaan pun tak tertulis jelas dalam prasasti itu.
“Sejumlah sejarawan yang melakukan penelitian terhadap kerajaan Kutai menyebutkan nama kerajaan dinasti Mulawarman adalah Kutai Martapura. Yang lebih tepat semestinya kerajaan Martapura. Hal ini berdasarkan manuskrip Arab Melayu Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara,” paparnya.
Dari bahasa Sanskerta, Martapura berasal dari kata amarta yang artinya kehidupan dan pura artinya kota atau benteng. Di dalam bukunya, Sarip menceritakan bagaimana sosok Kundungga yang memiliki anak bernama Aswawarman, lalu beranak lagi dengan seorang yang bernama Mulawarman. Juga, bagaimana Hindu masuk di kerajaan tersebut. Bagaimana Aswawarman mendapat gelar wangsakerta atau pendiri dinasti sebab dia yang belajar agama Hindu secara dalam.
Di dalam buku sejarah di sekolah, sebenarnya juga sudah dijelaskan bagaimana kerajaan ini mendapati masa kejayaannya pada masa kepemimpinan Mulawarman. Dalam Prasasti Yupa, Mulawarman disebut telah menaklukkan raja-raja lain dan menguasainya seperti Raja Yudhistira. Dalam cerita Mahabharata, Yudhistira adalah raja di Indraprastha yang jujur dan bijak.
Selain itu, Prasasti Yupa menuliskan kemampuan ketahanan pangan di kerajaan tersebut. Sebab, tertulis Mulawarman menyumbangkan 20 ribu sapi. Jumlah yang fantastis. Dari keberadaan sapi, tidak serta-merta untuk dimakan. Apalagi, sapi adalah hewan yang dianggap suci bagi umat Hindu. Namun, sapi ini bisa dipakai untuk bercocok tanam, menghasilkan susu, dan sebagainya.
Di sisi lain, Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Samarinda Rusmadi Wongso mengatakan, membaca kembali sejarah lokal itu penting. Apalagi, saat ini Kaltim tengah menyongsong IKN. Dari sini, muncul semangat untuk memberdayakan sejarah lokal dengan mendorong minat baca masyarakat. Memang biaya dan waktu untuk studi sejarah memang tak sedikit.
“Ini momentum untuk kita mendorong siapa saja. Pemerintah provinsi atau pemerintah pusat untuk menggali sejarah lokal di Nusantara,” pungkasnya. (*/rdh/k15)