Dakwaan kasus penyalahgunaan hibah di Lakestra Kaltim dibacakan jaksa di Pengadilan Tipikor Samarinda (12/1). Terdakwa Gervasius Panggur Masuri tidak keberatan atas dakwaan tersebut.
SAMARINDA – Gervasius Panggur Masuri didakwa menyalahgunakan hibah yang diterima Lembaga Kajian Strategis Kebijakan dan Isu Publik (Lakestra) Kaltim pada 2015 silam. Lebih dari 50 persen atau Rp 2,66 miliar dari Rp 4,5 miliar hibah yang diberikan Pemprov Kaltim disinyalir dinikmatinya.
Di depan majelis hakim yang dipimpin Ari Wahyu Irawan bersama Hariyanto dan Fauzi Ibrahim, beskal asal Kejari Samarinda itu mendakwa Gervasius dengan dua pasal. Yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dalam UU 20/2001. Di depan majelis hakim, JPU Indriasari mengurai awal mula perbuatan lancung menilap uang negara ini terjadi. Kasus ini bermula medio 2012 ketika lembaga yang diketuai terdakwa Gervasius itu mengajukan hibah ke Pemprov Kaltim.
“Saat itu terdakwa mengajukan permohonan bantuan hibah senilai Rp 3,3 miliar ke pemprov. Namun, ditolak dengan alasan tak memenuhi kriteria penerima hibah karena baru terbentuk Maret 2012,” ulasnya membaca dakwaan.
Dua tahun berselang, terdakwa kembali mengajukan permohonan hibah. Kali ini nilainya lebih besar, senilai Rp 4,64 miliar. Permohonan itu ditujukan untuk dua kegiatan kajian kebijakan berbasis penelitian, yakni pedagang kaki lima dan kebijakan pembangunan jalan di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang senilai Rp 2,81 miliar dan kajian kebijakan publik dalam partisipasi masyarakat pembuatan peraturan daerah di Kutai Kartanegara, Kutai Barat, dan Kutai Timur.
Terdakwa mengantar sendiri permohonan itu ke Kesbangpol Kaltim yang menyatakan Lakestra memenuhi syarat untuk menerima hibah dan membawa rekomendasi itu ke Biro Sosial Sekretariat Provinsi Kaltim. Lanjut Indri, kala itu, Lakestra tidak memenuhi syarat penerima lantaran aturan penerima hibah mengharuskan minimal lembaga penerima hibah harus beroperasional dan terdaftar di Kesbangpol minimal 3 tahun.
“Selain itu, proposal permohonan yang diajukan tak rinci. Hanya menuangkan keperluan dana tanpa menyertakan latar belakang dua kegiatan dan susunan pengurus,” lanjutnya.
Sebelum nota perjanjian hibah disusun, Lakestra ditolak untuk menerima hibah lantaran ada beberapa syarat yang tak dipenuhi. Terlebih, nama Lakestra juga sempat tertuang dalam permohonan bantuan hibah yang diusulkan Fraksi Hanura-Partai Damai Sejahtera (PDS) di DPRD Kaltim periode 2009-2014.
Fraksi Hanura-PDS pun bersurat ke pemprov jika mereka tak bertanggung jawab jika ada persoalan hukum kemudian hari atas pemberian hibah ke Lakestra. Asisten III Pemprov Kaltim kala itu, Bere Ali pun memutuskan untuk membatalkan pemberian hibah ini. “Tapi, pada 2 Desember 2014, notulensi rapat pembahasan pencairan hibah 2015 menyatakan Lakestra layak,” katanya.
Alhasil, dana itu cair di Januari 2015 dan penggunaannya tak disertai laporan pertanggungjawaban yang jelas di akhir tahun. Dari audit yang ditempuh, ada Rp 2,66 miliar yang tak jelas peruntukannya dan diduga dinikmati terdakwa pribadi. Atas dakwaan itu, terdakwa memilih tak mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan tersebut, sehingga majelis hakim memutuskan perkara ini akan memasuki agenda pemeriksaan saksi pada 18 Januari mendatang. (ryu/kri/k16)