Lhorju’, band yang dibentuk Badrus Zeman, memadukan musik modern dengan unsur tradisional Madura. Lirik-liriknya turut membawa bahasa Madura itu ke tataran lebih luas di luar lingkup penutur bahasa tersebut.
FAHMI SAMASTUTI, Surabaya
DI banyak daerah lain, kemarau mungkin disambut dengan sedikit waswas. Khawatir tentang sulitnya air, sawah yang mengering, atau sengatan terik.
Tapi, tidak di Madura. Kemarau adalah ritus kegembiraan. Badrus Zeman, lewat Lhorju’, band bentukannya, menggambarkannya dalam lagu Nemor dengan mesemma tani berkat ollena bhakoh (senyum para petani berkat hasil tembakau), du e ba’ amba’ ce’ sennenga se nyolo (lama kunanti, nelayan sedang bergembira), dan buje na dhaddhi epolong melle kalambi (garam pun siap, panenan untuk pakaian yang baru).
Nemor atau Kemarau merupakan bagian dari Paseser atau Pesisir, album yang dirilis Lhorju’ tahun lalu lewat label Demajors. Ada sembilan lagu di dalamnya yang semuanya ditulis berbahasa Madura dan bercerita tentang Pulau Garam itu, wabil khusus Prenduan, kawasan pesisir di Sumenep, kampung halaman Badrus.
Lirik-lirik di Paseser, kata Badrus yang mengajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, adalah gambaran memorinya sebagai seorang Madura. Mulai soal tradisi pulang kampung dalam Toron sampai sisi religiusitas seperti di Kembang Koning dan Saporana.
’’Semuanya dari memori seorang perantau yang tinggal di Jakarta,” katanya kepada Jawa Pos Jumat (6/1) pekan lalu.
Lhorju’ satu gelombang dengan Denny Caknan, Siantar Rap Foundation, serta Shine of Black di antaranya. Mereka band atau musisi yang bersiteguh memasukkan unsur-unsur kedaerahan di mana mereka berada ke dalam karya. Utamanya bahasa.
Lagu-lagu Jawa Denny ditonton jutaan, bahkan sebagian sampai ratusan juta kali, di YouTube. Pada 2019 Siantar Rap Foundation juga masuk nominasi di Anugerah Musik Indonesia kategori Karya Produksi Lagu Daerah melalui lagu Pariban.
Lhorju’ yang mengunggah karya di YouTube sejak dua tahun lalu juga mulai merambah pendengar yang lebih luas. Dirilisnya album oleh label independen bereputasi kuat seperti Demajors memperlihatkan itu.
Tahun ini Lhorju’ yang sejak 2022 sudah berubah dari format ’’one-man band” ke trio juga berencana merilis album baru. Karena sekarang ada pemain perkusi Gaharaiden Soetansyah dan basis Insan Negara yang membantunya, Badrus menyebut proses kreatif album jadi beda dibandingkan Paseser.
’’Ide-idenya pun berbeda, warna dan temanya juga akan beda,” papar Badrus.
Namun, identitas dasar Lorjhu’ yang dibentuk pada 2019 itu tidak akan berubah. Tetap menyajikan fusion musik modern dan tradisional Madura.
Lirik-lirik band yang tahun lalu turut mengisi Synchronize Festival 2022 itu juga akan tetap ditulis dalam bahasa Madura. Meski, tak seperti Badrus yang berkampung halaman di Sumenep, kedua personel lain tidak berasal dari Madura.
’’Tapi, pelan-pelan (mereka) bisalah kalimat pendek di bahasa Madura, hehehe,” kelakar Badrus.
Gaharaiden menyebut Lhorju’ sebagai band dengan musik ’’aneh”. ’’Dalam artian, bukan musik yang umum, baik dari beat, nada, ataupun tempo,” paparnya.
Tanpa mendengarkan liriknya pun, musik Lhorju’ memang sudah sangat Madura.
Mereka memilih mencuplik beberapa unsur dari bebunyian khas Madura. Dan, memasukkannya ke bagian tertentu untuk mematangkan feel lagu.
Pada Can Macanan, misalnya. Cabikan gitar Badrus yang kuat beraroma garage rock di sela-selanya berpadu dengan kendang yang ditabuh Rifan, musisi Madura yang membantunya.
Bagi Badrus, capaian-capaian Lhorju’ sejauh ini melebihi ekspektasinya. Perjalanan band yang diotakinya itu bisa dibilang ’’ajaib”. ’’Pendengar kami itu 80 persennya nggak ngerti bahasa Madura,” katanya.
Badrus menceritakan, skena musik Madura sebenarnya ramai. Tapi, yang mendominasi adalah kasidah, dangdut, dan rock. Kalaupun ada pop, didominasi pop Melayu. ’’Pokoknya yang easy listening, pendengarnya banyak,” tuturnya.
Karena itu, ketika Lorjhu’ pertama rilis, lanjut musisi yang juga animator tersebut, pendengarnya bisa dibilang tidak ada yang dari Madura. Justru lebih banyak dari kota-kota seperti Jakarta, Makassar, atau bahkan dari luar negeri.
Namun, Badrus bertahan dengan terus berkarya. Apalagi, dukungan juga terus mengalir. Di antaranya dari musisi Iga Massardi yang mengajaknya berkolaborasi.
Juga penyiar dan presenter Arie Dagienkz yang kini berada di Synchronize Radio. Puncaknya, angka streaming video maupun lagu-lagu di album Paseser naik pada awal tahun ini. Tak sedikit di antaranya yang datang setelah menyimak Dagienkz yang tampil di Vincent-Desta Show.
Menurut Badrus, Lhorju’ punya potensi mempromosikan Madura dengan kemasan kekinian. Karena itu, untuk syuting, seperti di Nemor dan Can Macanan, ketiga personel Lorjhu’ sudah bersepakat: harus di Madura. Suasana pesisir memang bisa didapat di Ancol, Pelabuhan Ratu, atau Indramayu.
’’Tapi, itu bukan Madura. Sekalian juga mengenalkan, mungkin selama ini orang tahunya Madura itu carok, bebek, warung. Kami nyoba menampilkan Madura secara alami,” kata Badrus.
Badrus dan Gaharaiden memberi bocoran, di album baru nanti, ada lagu yang dibalut tabuhan ul daul. Musik tersebut umumnya dibawakan banyak orang sekaligus. Di versi rekaman, porsi itu bakal dibawakan salah satu grup ul daul asli Madura.
’’Tapi, kalau pas manggung, ya kami calling friends. Panggil temen yang bisa bantu,” imbuh Badrus.
Dengan keputusan melaju di genre rock yang eklektik dengan bahasa Madura, Lorjhu’ pun perlahan mulai diterima di ’’kandang” sendiri. Mulai banyak anak muda Madura yang menggandrungi band tersebut.
Badrus mendengar kabar itu dari Rifan. ’’Dia bilang, ada band dari daerah pinggir kota bilang ’saya suka Lorjhu’,” paparnya.
Pada akhir Desember lalu, mereka juga sempat manggung di sebuah kedai kopi di Bangkalan. Penerimaan itu tentu melegakan Badrus. Sebab, dia ingat sekali, saat Nemor dirilis, banyak native speaker –alias penutur asli– bahasa Madura yang memberi komentar miring tentang bahasa yang dia pakai di lirik.
Ada yang bilang tak sesuai kaidah, ada yang menyebut kurang ini itu. ’’Biasalah seperti itu, tapi saya cari jalan tengah. Seenggaknya, lirik lagu saya bisa dimengerti secara umum oleh orang Madura,” kata ayah satu anak itu.
Badrus optimistis, Lorjhu’ bisa ikut meramaikan skena musik berbahasa daerah. Sekaligus mempromosikan bahasa dan budaya Madura untuk generasi milenial dan Z.
Toh, dulu Didi Kempot juga jadi Godfather of Broken Heart meski tak semua yang mendengar lagu-lagunya paham isi lirik-liriknya. Sekarang coba dengarkan Romassanah Kerrong dari Lhorju’ dan rasanya bahasa tidak akan jadi penghalang untuk hanyut bersama melodi dan liriknya:
Mon abeliyeh mole (jika ingin kembali, pulanglah)
Kerrong ateh Ngireng ka delem (hati yang rindu dipersilakan masuk)
Delem atteh seng paleng delem (masuk ke dalam hati yang paling dalam). (*/c7/ttg)