Oleh: Duito Susanto
Terminologi hijau mulai naik daun. Sekali lagi. Mewakili konsep-konsep bernuansa alami dan ramah lingkungan. Kali ini terasa lebih menggema. Yang, semoga saja, tak segera tertelan hal ihwal lain. Sebelum yang “hijau-hijau” itu benar-benar hanya tersisa di atas kertas belaka.
Penempatan istilah “hijau” pada penamaan banyak program formal ataupun non-formal, di kantor pemerintah maupun warung kopi, sebenarnya sudah ada sejak dulu. Hanya saja, timbul tenggelam, serta (lebih sering) berbanding terbalik dengan realisasinya. Kali ini, terdengar lagi dengan volume yang lebih tinggi.
Konsep-konsep hijau tampaknya bakal menjadi masa depan Indonesia. Termasuk ibu kota negara (IKN) yang baru pindah, atau dipindahkan, ke Bumi Etam. Membangun kota hijau (green city). Disokong ekonomi hijau (green economy). Menggunakan energi hijau (green energy). Ada satu lagi yang semestinya tak boleh dilupakan; pola pikir hijau. Harus menyeluruh. Tak hanya masyarakatnya, lebih penting lagi para penentu kebijakannya.
IKN Nusantara sejak jauh hari digaungkan akan dibangun sebagai kota hijau. Green city. Di atas lahan seluas 256.142 hektare. Yang 75 persennya mesti dipertahankan sebagai ruang hijau. Ruang yang terdiri dari 65 persen kawasan lindung dan 10 persen kawasan pangan.
Ada komitmen hijau yang muncul. Salah satunya melalui forest city. Untuk mengurangi deforestasi dan emisi karbon. Juga membuat kerusakan ekosistem alami menjadi sesedikit mungkin. Juga menyediakan koridor hijau hingga restorasi ekosistem hutan.
Kota di IKN didesain dengan ruang terbuka yang hijau, ramah lingkungan, dan mendukung keanekaragaman hayati. Rancang bangun gedungnya pun hijau, yang terhubung dengan jalur transportasi publik ramah lingkungan. Kota hijau berdimensi hutan dengan pemanfaatan energi baru terbarukan rendah karbon.
Satu dari sepuluh prioritas Presidensi G20 di Bali pertengahan November tahun lalu adalah menitikberatkan kepada transisi dari energi konvensional ke energi baru terbarukan. Yang bisa juga disebut sebagai energi hijau.
Perpindahan ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi Kaltim yang sudah kadung nyaman dengan sumber energi konvensional seperti batu bara, serta minyak dan gas bumi. Sektor pertambangan dan penggalian hingga kini masih sangat dominan membentuk PDRB Kaltim. Sumbangsihnya di atas 50 persen.
Peralihan ke energi baru (EBT) terbarukan juga bisa dibilang tak mudah. Kelangkaan energi pada masa transisi akan memengaruhi struktur ekonomi. Hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur EBT secara sempurna. Regulasi yang katanya sudah digodok bertahun-tahun tak kunjung menemui jalan akhir.
Transisi energi pun perlu riset mendalam agar tak kemudian menjadi masalah baru. Dalam urusan riset, yang jadi soal selalu berkaitan dengan dana. Hal ihwal riset jarang mendapat prioritas dan keberpihakan anggaran.
Kaltim merupakan lumbung energi konvensional, menyumbang angka jumbo ke kantong kas daerah, hingga menimbulkan ketergantungan yang cukup tinggi. Tentu perlu sesuatu yang sangat menarik untuk membuat para pemain di sektor ini tergoda berpaling ke energi baru terbarukan.
Pundi-pundi besar dari rantai usaha energi konvensional berbahan baku batu bara misalnya, terus menguat. Akan perlu upaya luar biasa untuk memutus atau mengalihkannya ke jalur energi hijau. Misalnya gelontoran insentif dengan jumlah menggiurkan. Seperti yang dilakukan pada kampanye penggunaan mobil listrik. Dengan wacana diskon besar untuk setiap pembelian unitnya.
Kaltim, yang dibangun Tuhan dengan fondasi kekayaan alam, sebenarnya sudah harus belajar banyak dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Sumber-sumber pendapatan silih berganti, namun semuanya masih bertumpu pada hasil bumi. Baik yang tumbuh di atas tanah, hingga yang harus dikeruk dari perut bumi. Dari kenikmatan masa perkayuan, hingga perminyakan dan emas hitam.
Yang hijau-hijau dan menggiurkan itu segera akan menuju senja kala ketika tak dikelola dengan pola pikir yang hijau pula. Kebijakan yang berpihak pada kelestarian berkelanjutan. Yang tak sekadar slogan di atas kertas atau bahan jualan pada tahun politik.
Bukankah bukti bahwa mengelola sumber daya dengan cara hijau pun bisa menghasilkan cuan, sudah mulai tampak? Tengoklah hasil dari penurunan emisi karbon yang dilakukan Kaltim. Yang diganjar dengan insentif USD 110 juta atau setara Rp 1,7 triliun. Yang berarti menjaga hutan pun bisa menghasilkan uang dalam jumlah tak sedikit. Tak bisa dimungkiri, dengan pengelolaan yang tepat, yang hijau-hijau pun bisa lebih menggoda. (dwi/k8)
*)Wartawan Kaltim Post