Konversi energi konvensional ke energi baru terbarukan akan menjadi tantangan bagi Bumi Etam. Yang selama ini ditopang kekuatan sumber daya alam seperti batu bara.
DUITO SUSANTO, Denpasar
“Bapak-ibu semua yang hadir di sini, uangnya jangan dibawa pulang. Habiskan di sini,” ujar Trisno Nugroho, kepala perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, disambut gelak tawa ratusan kepala yang menghadiri acara diskusi hasil Presidensi G20 Indonesia 2022 di Hotel Intercontinental Jimbaran, Bali, Rabu (7/12). Trisno selalu berusaha menyelipkan tempat-tempat menarik yang mesti dikunjungi di Pulau Dewata selama sekitar lima menit sambutannya.
Bali yang menjadi saksi suksesnya gelaran G20 ikut menuai dampak langsungnya. Kunjungan wisatawan meningkat sejak dibuka kembali penerbangan menuju Pulau Dewata. Kendati belum sepenuhnya pulih, pertumbuhan ekonomi Bali langsung merangsek naik ke posisi tiga nasional pada Triwulan III 2022 sebesar 8,09 persen. Padahal saat Covid-19 melanda, Bali sempat terperosok dengan angka pertumbuhan ekonomi -2,47 persen.
Persiapan Presidensi G20 di Bali, disebut Direktur-Wakil Kepala Sekretariat TF G20 Bank Indonesia Iss Savitri Hafid, dilakukan dalam kondisi sulit diprediksi. Saat inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat, proteksi perdagangan dari berbagai negara, social unrest, tensi geopolitik, hingga konflik Rusia-Ukraina. Namun, hajat yang melibatkan 26 negara itu diklaim sukses dengan menghasilkan beberapa poin prioritas. Indonesia disebut berhasil mendorong kebijakan prioritas di bidang penguatan arsitektur kesehatan global menghadapi pandemi; mengatasi kerawanan pangan dan energi; normalisasi kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan mengatasi efek jangka panjang; memperkuat stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan; pengembangan sistem pembayaran digital; transisi menuju ekonomi hijau; pembiayaan infrastruktur; dan perpajakan internasional.
“Diseminasi ini sebagai bagian menyosialisasikan hasil Presidensi G20 di Bali, dan mengorkestrasikannya ke tiap-tiap daerah, untuk dipilah mana yang relevan dengan kondisi masing-masing,” ujar Iss. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim Kemenkeu Dian Lestari menyebutkan, ada tiga fokus area Presidensi G20 Indonesia. Yakni, arsitektur kesehatan global. Pemulihan secara global memerlukan kerja sama internasional yang lebih kuat. Untuk memastikan standar kesehatan global yang sama. Dan kolaborasi yang lebih baik untuk membangun ketahanan komunitas global terhadap pandemi ke depan.
Fokus lainnya, transisi energi. Seiring upaya memastikan kebutuhan energi, percepatan transisi energi yang lebih bersih menjadi penting. Sehingga perlu ditangani dengan pendekatan dan dimensi baru. Kemudian, fokus transformasi digital. Potensi digitalisasi ekonomi dapat dicapai dengan membangun lanskap kerja sama antarnegara dan semua pemangku kepentingan untuk mencapai kesejahteraan bersama pada era digital.
Hasil Presidensi G20 di Bali memang tak bisa dianggap satu obat untuk semua penyakit. Satu solusi untuk semua masalah di Tanah Air. Kebijakannya pun tak semua berupa barang jadi. Masih ada yang harus dipilah sesuai kondisi daerah. Dari kacamata pengamat ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda Aji Sofyan Effendi, beberapa kebijakan yang dihasilkan relevan dengan kondisi Kaltim. Sebut saja infrastruktur. Yang memang selama ini masih menjadi masalah utama di daerah. Kemudian poin yang terkait energi baru terbarukan (EBT). Apalagi Kaltim adalah lumbung energi konvensional yang bersumber dari batu bara dan migas.
“Kalau yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi, ini memang overall se-Indonesia harus dilakukan. Itu sebenarnya bukan message dari G20 saja, tetapi sudah harus menjadi prioritas dunia,” ujar Aji Sofyan Effendi yang juga hadir pada diskusi kemarin. Kelangkaan energi, kata dia, sangat berpengaruh pada struktur ekonomi daerah. Jadi, kebijakan yang berkaitan dengan itu memang sudah seharusnya dijalankan. Sebab merupakan kebutuhan daerah.
Sementara itu, beberapa poin prioritas yang dihasilkan dinilai tak gampang dilakukan percepatan, termasuk di Kaltim. Semisal digitalisasi keuangan. Ada dua hal yang mutlak diperlukan untuk mengakselarasinya; sumber daya manusia dan teknologi. “Karena pembayaran internasional melalui digital, maupun jenis turunannya, itu kan membutuhkan pemahaman sumber daya manusia, apa dan bagaimana bendanya ini,” jelas dia. Aji Sofyan menilai, perlu edukasi yang dilakukan secara kontinu. Juga ditunjang teknologi perbankan untuk memediasi itu semua.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah transisi energi dari konvensional ke energi terbarukan. Sebab, selama ini batu bara menjadi sumber utama pendapatan Benua Etam. Kaltim ditopang energi konvensional. Substitusi ke EBT dinilai akan menimbulkan potensi goyangnya perekonomian. Namun, bersalin ke EBT pun dinilai masih banyak masalah yang harus diurai. “Sampai hari ini, regulasi yang mengatur EBT itu belum sempurna,” sebut Aji Sofyan. Regulasi disebut masih berproses, sudah bertahun-tahun, namun ending-nya belum ada.
Kemudian ada masalah terkait research and development. Yang dalam struktur APBD terkait EBT masih sangat minim dan tidak memadai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pembiayaannya sangat jauh dibanding kementerian lainnya. “Contoh yang paling simpel, penghapusan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Padahal itu salah satu ujung tombak untuk terciptanya research and development untuk EBT,” kata dia. Jika diturunkan ke daerah, Aji Sofyan menyebut akan berhadapan dengan beberapa kendala. Yakni pemahaman yang menyangkut SDM, serta kendala anggaran penelitian dan pengembangan. Juga berkaitan dengan pasar EBT.
“Kita akan jual ke Eropa? Jangan-jangan mereka sudah lebih dulu mengelola dan bahkan ikut mengekspor EBT,” terang dia. Namun, terlepas dari kendala-kendala yang mungkin muncul itu, Aji Sofyan sepakat kemandirian energi terbarukan harus dilakukan. Mata rantai masalah harus diputus. Sehingga ada ketegasan Indonesia, khususnya Kaltim, memiliki komitmen dalam transisi energi konvensional ke EBT. “Walaupun itu komitmen kecil, ibarat bidak catur yang hanya bergerak maju selangkah, tetapi itu harus ada dan menjadi langkah yang bagus,” tuntas dia.
Selain mesti memilah poin kebijakan yang relevan, hasil Presidensi G20 ini harus diselaraskan dengan kondisi dan kepentingan daerah. Tantangannya, bagaimana membuat kepala daerah tertarik melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut. Menurut mantan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi, kendati akan memasuki tahun politik, ada beberapa kebijakan yang dihasilkan Presidensi G20 yang menarik bagi kepala daerah, dan bisa berpengaruh secara elektoral. Misalnya pariwisata. Kata Rizal, Kaltim bisa belajar dari Bali, yang berkat G20 bisa menarik wisatawan.
“Kita punya potensi itu di Kaltim. Apalagi kita punya daya tarik baru yakni IKN. Kita punya destinasi wisata seperti Kepulauan Derawan dan Maratua. Jadi sebenarnya bisa juga digunakan untuk kepentingan menaikkan elektabilitas,” ujar ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Kota Balikpapan itu setelah diskusi kemarin. Rizal juga menilai, Kaltim tetap harus menyiapkan langkah-langkah antisipasi keputusan G20. Misalnya tawaran uang jumbo dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden agar Indonesia menjadi negara yang tumbuh dengan ekonomi hijau. Mengurangi bahan bakar fosil. Itu berdampak langsung ke Kaltim. Menjadi terobosan baru agar ekonomi Bumi Etam tak runtuh ketika konversi energi dilakukan.
“Ini kan bisa ditawarkan pemimpin daerah, apa saja terobosan supaya Kaltim jangan sampai terguncang saat peralihan (dari energi konvensional ke EBT),” terang dia. Apalagi saat ini, lanjut Rizal, Gubernur Kaltim Isran Noor berhasil mendapatkan dana dari carbon trading dalam jumlah besar. Itu juga menjadi hal baru, yang membuktikan bahwa mempertahankan hutan pun bisa mendapatkan hasilnya.
“Selama ini menebang saja, sekarang mempertahankan hutan pun bisa menjadi duit. Itu menarik, supaya pemimpin jangan terus-terusan mengandalkan eksploitasi SDA. Jadi, (hasil Presidensi G20) tetap menarik bagi Kaltim,” kata Rizal. “Sedikit yang membuat kita berkecil hati, dari ratusan pertemuan G20, tak satu pun yang diselenggarakan di Kaltim,” tuntas dia. (riz/k8)