Penjualan senjata naik dalam tujuh tahun berturut-turut.
STOCKHOLM -Berdasarkan data yang dirilis oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) kemarin (5/12), ada kenaikan 1,9 persen pada 2020-2021.
Kenaikan itu dinilai bisa lebih tinggi lagi seandainya tidak ada masalah rantai suplai akibat perang di Ukraina. ’’Kami mengharapkan pertumbuhan yang lebih besar dalam penjualan senjata pada tahun 2021 jika tidak ada masalah rantai pasokan yang terus-menerus,’’ ujar Direktur Program Pengeluaran Militer dan Produksi Senjata SIPRI Lucie Beraud-Sudreau, seperti dikutip Deutsche Welle.
Dia mengungkapkan, bahwa setiap perusahaan produsen senjata baik itu kecil maupun besar merasakan masalah rantai pasokan saat penjualan. Misalnya saja Airbus dan General Dynamics yang melaporkan kekurangan tenaga kerja. Sebagian lainnya kekurangan bahan mentah.
Bagi negara-negara barat, Rusia bukan hanya pemasok gas alam, minyak mentah dan biji-bijian. Kremlin selama ini juga merupakan eksportir bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan senjata. Saat ini, ekspor Rusia dibatasi sebagai bentuk sanksi atas serangan mereka ke Ukraina.
Sanksi tersebut menyulitkan AS dan negara-negara Eropa lain. Sebab, kini upaya mereka untuk memperkuat angkatan bersenjatanya dan mengisi kembali persediaan senjata menjadi terhambat. Sepanjang 2022, AS dan sejumlah negara Eropa menyumbangkan senjatanya kepada Ukraina.
Rusia di lain pihak juga tidak bisa meningkatkan produksi senjatanya meski memiliki bahan mentah berlimpah. Itu karena sanksi dari negara-negara barat mempersulit pabrikan di Moskow untuk mengakses semikonduktor dan menerima pembayaran atas penjualan yang mereka lakukan.
Berdasarkan data 100 perusahaan dengan penjualan terbesar sepanjang 2021, tercatat di dalamnya ada enam perusahaan asal Rusia. Mereka mengalami kenaikan tipis penjualan, yaitu 0,4 persen menjadi USD 17,8 miliar atau Rp 274,48 triliun. ’’Ada tanda-tanda stagnasi meluas di seluruh industri senjata Rusia,’’ bunyi penggalan laporan SIPRI.
AS tetap mendominasi sebagai penjual senjata terbesar. Total, ada 40 perusahaan asal Negeri Paman Sam tersebut yang masuk di daftar SIPRI. Total penjualan mereka mencapai USD 299 miliar atau Rp 4,6 kuadriliun. Secara riil, penjualan itu sedikit lebih rendah akibat dari inflasi yang tinggi. Lima perusahaan AS yang duduk di posisi atas adalah Lockheed Martin Corp, Raytheon Technologies, Boeing, Northrop Grumman Corp, General Dynamics Corp.
Lonjakan terbesar berasal dari produsen senjata Tiongkok. Sebanyak 8 perusahaan asal Tiongkok yang masuk daftar memiliki total penjualan sebesar USD 109 miliar atau setara Rp 1,68 kuadriliun. Mereka mengalami peningkatan 6,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Empat perusahaan pembuat senjata Tiongkok berada di posisi 10 besar.
Salah satu peneliti SIPRI Xiao Liang mengungkapkan bahwa pada pertengahan 2010 ada gelombang konsolidasi atau peleburan perusahaan dalam industri senjata Tiongkok. Di antaranya, dua perusahaan yang merger menjadi China State Shipbuilding Corporation (CSSC). ’’Pada 2021, (peleburan) itu membuat CSSC menjadi produsen kapal militer terbesar di dunia dengan penjualan senjata sebesar USD 11,1 miliar (Rp 171,3 triliun),’’ ujar Xiao Liang. (sha/bay/jpg/far/k15)