Oleh : Muhammad Aldi N
Mahasiswa UINSI
Warga Indonesia pasti mengenal Pancasila? Berbicara mengenai Pancasila yang merupakan landasan dari segala keputusan yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Bisa juga diartikan bahwa Pancasila merupakan ideologi negara Indonesia yang digunakan sebagai dasar pengaturan pemerintahan negara. Pancasila mempunyai banyak makna dalam menjadi sebuah dasar negara republik indonesia.
Salah satunya adalah pancasila berperan sebagai paradigma kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nah, Sebelum membahas arti dari Pancasila sebagai paradigma, kita terlebih dahulu harus mengetahui arti dari paradigma itu sendiri. Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.Singkatnya paradigma adalah kerangka berpikir, sumber, acuan, arah dan tujuan.
Maka dari itu Pancasila sebagai paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara berarti Pancasila menjadi sudut pandang serta acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila sebagai paradigma dibagi dalam beberapa bagian, salah satunya adalah Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional. Pancasila bisa dikatakan sebagai paradigma karena Pancasila dijadikan landasan, acuan, kerangka berpikir, metode, serta tujuan yang ingin dicapai dalam setiap program dalam melakukan pembangunan nasional.
Adapun arti pembangunan nasional disini adalah proses perubahan yang terus menerus menuju kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa. Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai ideologi Pancasila. Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka, didalam ideologi terbuka terdapat pemikiran yang mendasar, bersifat tetap dan tidak bisa diubah. Hal ini menunjukkan Pancasila layak untuk dijadikan sebagai kerangka berpikir untuk pembangunan hukum di Indonesia. Dengan kata lain, hukum yang berlaku di di Indonesia harus sesuai dengan setiap sila yang terkandung di dalam Pancasila baik sila ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Namun akhir-akhir ini hukum di Indonesia menuai kontroversi dari rakyat indonsia sendiri. Pasalnya hukum yang berlaku di Indonesia untuk saat ini ada beberapa kasus yang memang jauh dari kalimat menjadikan Pancasila sebagai acuan dalam menerapkan hukum di Indonesia. Dan hal tersebut tidak terjadi satu dua kali saja sehingga muncul stigma yang beredar di masyarakat bahwa Hukum di Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksud dari stigma tersebut adalah salah satu sindirian nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah sampai kebawah. Inilah sistem hukum di Indonesia, seolah sudah diganti oleh paradigma yang menang adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang, dan mereka yang mempunyai kekuatan. Mereka bisa mempermainkan hukum sehingga suatu hukum di suatu wilayah atau negara sudah tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka merasa aman walau sudah melanggar hukum negara, atau dalam istilah hukum “timpang sebelah”.
Lain halnya jika yang terkena kasus adalah masyarakat yang berekonomi menengah kebawah. Putusan hukuman jauh lebih berat dibanding kasus yang terjadi. Contohnya pada kasus anak dibawah umur berjumlah empat orang yang menjadi korban salah tangkap pada tahun 2013, dengan tuduhan pembunuhan terhadap remaja yang ditemukan tewas di bawah jembatan Cipulir Jakarta selatan, yang mengakibatkan mereka harus dipenjara selama hampir 3 tahun lamanya. Mereka dipaksa untuk mengakui bahwa mereka yang telah membunuh remaja yang tewas dibawah jembatan Cipulir. Hingga mereka mendapatkan siksaan fisik karena dipaksa mengakui bahwa mereka yang melakukan perbuatan itu bentuk siksaan yang mereka terima diantaranya adalah wajah dilakban, setrum, pemukulan dan lainnya. Disebutkan bahwa pertanyaan dari para penyidik mengintimidasi para pengamen tersebut untuk mengakui bahwa mereka yang melakukan hal tersebut. awalnya mereka menolak untuk mengakuinya. hingga akhirnya mereka sudah pasrah dan tak kuasa menahan beratnya siksaan yang diberikan pihak penyidik kepada pengamen tersebut. akhirnya mereka mengikuti proses hukum demi hukum yang harus dijalani akibat dari kejadian tersebut.
Hal ini menjadi bukti bahwa kesalahpahaman saja sudah sangat merugikan bagi orang yang terkena dampak kambing hitam oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Hukuman mereka berakhir dengan dibantu pengacara publik LBH (Lembaga bantuan hukum) Oky Wiratama yang mengajukan banding beberapa kali hingga akhirnya pada bagian PK(peninjauan Kembali). Kasus salah tangkap tersebut dapat dimenangkan. Dan hakim menyatakan bahwa keempatnya bukan pelaku pembunuhan dan dibebaskan dari jerat hukum. Mereka bebas dari penjara pada tahun 2016. Dan karena kasus salah tangkap tersebut, korban harus rela putus sekolah hingga kehilangan kebebasan alias mendekam dipenjara akibat tuduhan dari perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Dan atas kejadian ini mereka mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi secara materil dan immateril.
Namun gugatan tersebut ditolak oleh pengadilan dengan berdalih bahwa gugatan tersebut dinilai kadaluarsa karena sesuai undang-undang maksimal diajukan tiga bulan setelah putusan atau vonis bersalah dan ternyata diajukan setelah tiga tahun. Tetapi di sisi lain, undang-undang yang dimaksud ada kata atau setelah Salinan putusan vonis tak bersalah yang baru terbit maret 2019 pada saat itu. Yang jika dihitung sampai pengajuan gugatan belum sampai tiga bulan. Hingga mereka dewasa mereka tetap tidak mendapatkan ganti rugi atas kejadian tersebut. mereka masih memperjuangkan keadilan yang katanya hukum di Negara ini bersumber atau beracuan pada Pancasila. Tentunya pada kasus ini kita bisa melihat bahwa penerapan hukum yang digunakan tidak sesuai dengan sila kedua dan sila kelima Pancasila yaitu, kemanusiaan dan juga keadilan.
Menurut saya hingga saat ini hukum di Indonesia masih mudah untuk dimanipulasi oleh orang-orang yang mempunyai uang dan kekuasaan. Terutama dalam konteks keadilan dalam penerapannya bisa dikatakan tidak tepat dan tidak sesuai atas kasus yang terjadi. Seperti halnya tadi masyarakat dengan ekonomi rendah jika bersalah mendapat hukuman yang sesuai dengan aturan yang berlaku, bahkan dapat dikatakan kurang adil hukuman dengan apa yang telah diperbuat, sementara kebalikannya, masyarakat dengan ekonomi atas, hukuman yang diberlakukan tidak sesuai dengan apa yang telah diperbuat, setelah melihat fakta dilapangan hukuman yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan. Contohnya dalam hal ini adalah korupsi.
Ya korupsi menjadi kasus di Indonesia sampai saat ini belumlah tuntas. Media selalu saja ada memberitakan pejabat yang korupsi. Lucunya, tak sedikit keputusan hukum atas mereka terasa mengabaikan keadilan. Hanya dengan alasan mereka sopan selama proses persidangan berlangsung, hukuman menjadi lebih ringan dari tuntutan. Tentu hal ini mendapat respon negative dari masyarakat.
Bahwa memang benar berlaku sopan di suatu persidangan dapat meringankan hukum pidana. Sesuai Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa “dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Lebih lanjut terkait dengan pengurangan pada kondisi-kondisi di atas, perlu juga memperhatikan Pasal 58 KUHP yang menegaskan,“Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.” Jadi memang benar bahwa berlaku sopan dapat menjadi pertimbangan dalam peringanan pidana oleh majelis hakim.
Namun hal itu selalu dipakai Ketika para pejabat yang terkena kasus. Penegakan hukum yang lemah menjadi faktor terjadinya hal tersebut. yaitu menurunnya kesadaran hukum dimasyarakat. Lemah nya penegakan hukum yang cenderung membuat masyarakat untuk tidak taat atau bahkan tidak jera walau sudah diberi hukuman. Maka tidak heran jika kasus korupsi di negara ini masih terus ada hingga sekarang. Hal ini yang seharusnya diperhatikan dalam impelementasi tujuan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional dalam bidang hukum. Menjadikan Pancasila sebagai acuan, sumber hukum di negara Indonesia sesuai dengan sila pertama hingga kelima pancasila.
Maka dari itu cara mengatasi masalah ini menurut saya ada ditangan kita sebagai genarasi muda penerus bangsa. Bangsa yang sesuai UUD tahun 1945 merupakan negara hukum. Yaitu semua hal atau kasus yang terjadi di Indonesia harus melewati proses hukum yang berlaku. Terutama bagi anak-anak bangsa yang sedang menempuh Pendidikan dibidang hukum. Mereka harus mempunyai pikiran terbuka dan Kembali meningkatkan penegakan hukum di Indonesia, juga dapat menjalankan pemikiran sesuai dengan sila-sila yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Semoga proses penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik kedepannya. (**)