Oleh: Miftah Faried Hadinatha
Pengajar Fakultas Syariah UINSI Samarinda
Selain kasus korupsi hakim agung, masalah lain yang mengemuka di sekitar kekuasaan kehakiman, akhir-akhir ini, ialah diberhentikannya hakim konstitusi usulan DPR, Aswanto.
PEMBERHENTIAN itu telah nyata terjadi, yaitu sejak dilantiknya Guntur Hamzah oleh Presiden Joko Widodo Rabu 23 November 2022. Pelantikan Guntur Hamzah adalah konfirmasi, bahwa kursi hakim konstitusi tidak lagi diduduki Aswanto.
Pergantian kursi hakim konstitusi di atas dinilai tidak mengikuti kaidah hukum semestinya. Akibatnya, wajar banyak pihak memberikan catatan baik kepada DPR, maupun presiden sebagai pihak yang memberi stempel. Kritikan, misalnya, datang dari constitutional and administrative law society yang menguraikan bahwa, pemberhentian dan pergantian hakim konstitusi dimaksud merupakan bentuk runtuhnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Pertanyaan elementer yang bisa diajukan, bagaimana menjelaskan peristiwa pemberhentian dan pergantian komposisi hakim konstitusi, terutama dari sudut hukum? Apakah kejadian tersebut menjadi tanda menguatnya perilaku otokrasi yang belakangan mendapat banyak perhatian bagi banyak ahli?
Konstruksi Yuridis
Apabila dilakukan pelacakan di sekitar dasar hukum, sukar menemukan apa legitimasi yang dapat membenarkan pemberhentian hakim Aswanto, lalu digantikan Guntur Hamzah. Secara konstitusional, pengisian jabatan hakim konstitusi memang melibatkan tiga lembaga negara. Dalam hal ini Pasal 24C Ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Dalam batas penalaran wajar, untuk menjadi hakim konstitusi, tidak bisa tidak harus melewati proses seleksi tiga cabang kekuasaan negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketika sedang menjalani tugasnya, hakim konstitusi akan diberhentikan jika telah memenuhi persyaratan. Merujuk dasar hukum yang baru, yaitu Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, salah satu kriteria seorang tidak lagi dapat menjadi hakim konstitusi saat berusia 70 tahun. Sebagai tambahan, menurut ketentuan Pasal 87 UU dimaksud, hakim konstitusi yang masih menjabat secara otomatis berakhir masa tugasnya sampai usia 70 tahun, dan selama tidak melebihi 15 tahun. Hakim Aswanto yang berasal dari DPR baru berusia 58 tahun, dan jika ditotal belum bekerja selama maksimal 15 tahun sejak dilantik. Artinya, pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi cacat hukum. Kecuali ditemukan persyaratan lain, seperti, meninggal, mengundurkan diri, sakit tiga bulan berturut-turut, melakukan tindak pidana, melanggar sumpah, dan seterusnya.
Tidak hanya pemberhentian, proses penggantian hakim Aswanto juga sulit dicarikan dasar pembenarannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, pengisian jabatan hakim konstitusi harus dilaksanakan transparan, partisipatif, melibatkan panel ahli, dan harus ada calon minimal tiga orang. Merujuk bentangan empirik, persyaratan yang disebutkan nyaris tidak diketahui jejaknya. Artinya, pergantian hakim konstitusi usulan DPR dari Aswanto ke Guntur Hamzah juga tidak dapat dilacak apa alasan legitimasinya.
Serangan ke Jantung
Tiadanya alasan hukum yang dapat dijadikan pijakan ihwal pemberhentian dan pergantian hakim konstitusi, merupakan usaha serangan terhadap jantung kekuasaan kehakiman. Titik sentral keberadaan kekuasaan kehakiman setidaknya ada tiga: independensi, akuntabilitas, dan imparsial. Independensi berarti, kekuasaan kehakiman harus bebas dari campur tangan politik, baik secara personal maupun kelembagaan. Singkatnya, harus ada putus hubungan antara peradilan dengan urusan politik, apalagi saat menyelesaikan sengketa.
Tidak cukup dengan independen, semata-mata agar lembaga ini tidak sewenang-wenang, maka akuntabilitas, berupa pengawasan terhadap hakim. Hakim adalah manusia yang berpotensi melakukan tindakan yang berseberangan dengan hukum dan etis. Dalam posisi demikian, harus ada pembatasan yang proporsional untuk mencegah tirani yudisial.
Begitu juga dengan entitas yang lain, imparsial. Personal hakim dilarang keras memihak pada kepentingan tertentu. Konsep ini erat juga kaitannya dengan independensi personal. Hakim hanya akan memutus sesuai fakta hukum, tidak berdasar “kenyamanan”. Itu sebabnya, kehilangan atau sengaja menghilangkan imparsialitas, berarti neraka bagi pencari keadilan.
Merujuk alasan DPR, memberhentikan hakim Aswanto karena tidak dapat menjalankan komitmen sebagai hakim usulan DPR. Maksud “tidak komitmen” ini, bagi DPR, karena Aswanto sering membatalkan undang-undang buatan DPR. Karenanya harus diganti dengan orang lain yang, dianggap memiliki “komitmen” dengan DPR.
Alasan yang dikemukakan DPR tersebut, tentu saja, berusaha mengganggu independensi dan sikap imparsialitas seorang hakim. Jika logika demikian dipakai, ke depan agar tercipta suatu pemahaman, bahwa karena seorang calon hakim diajukan oleh lembaga tertentu, maka segala sengketa yang diajukan harus selalu memuaskan hasrat pengusul. Jika tidak, ancaman pencopotan akan semakin terang. Cara pandang demikian selain merusak makna independensi dan imparsialitas seorang hakim, juga mengandung pengertian bahwa boleh lembaga di luar kekuasaan kehakiman diurusi oleh lembaga politik. Padahal, secara konsep, campur tangan lembaga lain hanya ada saat proses pengisian calon hakim (itu pun seharusnya tendensi politiknya mesti diperkecil), bukan pada waktu orang itu telah menjadi hakim. Artinya, mengganggu orang yang ditunjuk menduduki posisi yudikatif, sama saja – secara pelan-pelan – merusak detak jantung lembaga pencari keadilan.
Orkestrasi Otokrasi
Alih-alih menolak, presiden sebagai pihak yang mengangkat pengganti Aswanto justru menerima. Buktinya, Presiden telah melantik hakim konstitusi baru, Guntur Hamzah. Hal ini menyebabkan, makin sempurna “aransemen orkestrasi” untuk merusak kekuasaan kehakiman.
Mengungkap kejadian ini, mengonfirmasi apa yang disebut Kim Lane (2018) sebagai autocratic legalism. Istilah itu diartikan, suatu tindakan kepentingan diri sendiri untuk menghasilkan sesuatu yang sebetulnya tidak sejalan dengan hukum, akan tetapi dalam melakukan tindakannya berlindung di balik atas nama hukum. Singkatnya, mereka menggunakan hukum untuk mengesampingkan hal-hal yang telah disepakati, atau memakai hukum untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya melanggar prinsip-prinsip umum.
Kim Lane menunjukkan bagaimana tanda-tanda untuk mengetahui bekerjanya autocratic legalism, yaitu dengan sengaja melakukan serangan terhadap institusi yang kelak akan mengawasi dirinya. Bahkan, secara spesifik, Zainal Arifin Mochtar (2022) mengemukakan, mengetahui munculnya autocratic legalism caranya dengan memerhatikan apa yang disebut sebagai the undermined judicial independence (independensi peradilan yang dirusak).
Apa yang dikatakan kedua pakar di atas, sebetulnya, dapat kita lihat dari kejadian pemberhentian dan pergantian hakim konstitusi di atas. Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan lembaga pengawas DPR dan presiden diganggu independensinya. Padahal, muruah peradilan terdapat di dalam kata independensi. Jika dirusak, dipastikan otokrasi legal makin “merdu” nyanyiannya. Peradilan, setidaknya dalam peristiwa ini, menipis kemerdekaannya dari intervensi politik.
Menariknya, sebagai lembaga yang menjadi korban, tidak terlihat gelagat penolakan dari MK. Mestinya, dari internal MK sendiri ada respons untuk tidak membiarkan pemberhentian dan pergantian sepihak hakim konstitusi. Tiadanya respons, ada anggapan pembiaran otokrasi legal. Padahal, semestinya lembaga penjaga konstitusi ini mesti menolak bekerjanya otokrasi legal. Jika tidak, prinsip kekuasaan kehakiman akhirnya hanya menjadi bualan. Suatu hal yang sama sekali tidak diharapkan. Maka, bilamana tidak satu pun usaha untuk menggerus otokrasi legal, terutama dari korbannya sendiri, di mana lagi harapan itu ditujukan, atau di mana lagi pencari keadilan dapat menuai harapannya, jika kekuasaan kehakiman tidak bebas lagi dari politik. (rdh/far/k15)