Gaya hidup bisa jadi penentu seseorang terhindar dari penyakit diabetes. Kini bukan lagi karena faktor keturunan.
PADA usianya yang senja, Aminah tidak menyangka harus divonis menderita diabetes. Perempuan yang tinggal di RT 14, Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat, itu mengaku sampai harus dirawat seminggu di rumah sakit ketika pertama kali diserang “nenek moyangnya penyakit” itu pada 2019 lalu.
“Saya lupa tepatnya, tiba-tiba saya muntah darah. Banyak sekali darahnya. Saya tadah di tangan penuh. Langsung dibawa menantu ke rumah sakit,” ungkap Aminah yang kini berumur 72 tahun, (12/11).
Diagnosis dokter menyebut, Aminah sudah terkena komplikasi parah. Kadar gula darahnya saat itu disebut mencapai hingga 1.000 mg/dL. Meski sempat ditolak di sejumlah rumah sakit, beruntung nyawanya saat itu bisa diselamatkan. Namun, dampaknya masih dirasakan hingga kini.
“Kalau sudah kambuh, tulang di badan ini rasanya mau lepas semua. Dokter bilang kalau kambuh saya tidak boleh diam dan harus gerak. Pokoknya saya harus gerak kalau tidak darah saya tambah beku kata dokter,” ucapnya.
Selain bergerak, Aminah diberi saran oleh dokter untuk minum teh panas manis jika merasa badan tidak enak. Selain itu, pada awal-awal, untuk mengontrol gula darah, dirinya rutin mengonsumsi obat dan suntik insulin.
Setiap pekan juga rajin datang kontrol ke dokter. Namun, dua bulan terakhir, dirinya sudah jarang kontrol. Selain lokasi rumah sakit yang jauh, juga dirinya telah mendapatkan obat yang cocok untuk meredakan penyakitnya jika kambuh. “Ada obatnya yang cocok. Beli di apotek Rp 80 ribuan. Kalau di RS ya gratis, soalnya saya pakai BPJS Kesehatan,” ungkapnya.
Selain obat, rupanya Aminah rutin mengonsumsi herbal berupa daun-daunan. Meski tidak tahu namanya, namun resepnya dia dapat dari kenalan menantunya yang orang Dayak. Daun tersebut direbus, dan air rebusannya diminum.
Disebut, setiap minum obat dan herbal, kandungan gula darahnya yang biasa 500 mg/dL menjadi 200 mg/dL. Membantunya meringankan rasa sakit di badannya. “Pokoknya kalau kambuh, aduh, sudah kayak lepas semua tulang. Tulang panas, tapi kulit ini dingin kayak mayat,” ujarnya.
Belakangan dampak diabetes menyerang matanya. Sudah tiga bulan, Aminah kehilangan penglihatannya di sebelah kanan. Sementara mata kirinya mengalami kabur hingga sulit mengenali wajah orang lain. Keinginannya untuk bisa melihat normal pupus, ketika sejumlah dokter didatangi, namun menyebut penglihatannya tidak bisa disembuhkan. “Ini akibat diabetes jadi tidak bisa sembuh. Ya sudah,” katanya.
Aminah mengaku tidak tahu alasan dirinya terkena diabetes. Pola makannya pun biasa saja. Dan di antara keluarganya, juga tidak diketahui apakah menderita diabetes. Yang dia tahu, semua saudaranya meninggal karena sakit. “Saya anak ke-4 dari 6 saudara. Semua saudara saya meninggal, ya sakit atau tiba-tiba pas sedang mengobrol langsung ambruk, meninggal,” ucapnya.
CEGAH GENERASI DIABETES
Penelitian menyebut, risiko tinggi terkena diabetes kini tidak lagi berdasarkan faktor genetik atau keturunan, melainkan faktor gaya hidup dan pola makan seseorang yang berakibat meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. Dalam perkembangannya pula, diabetes tak lagi mengenal usia. Yang muda pun kini disebut banyak menderita diabetes.
Koordinator Klinik Diabetes Terpadu Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Rudy Mokodompit menyebut, sejak membuka klinik diabetes terpadu pada 2017, pasiennya semakin bertambah. Dari yang awalnya 50–100 pasien per bulan, lalu pada 2019, jumlahnya meningkat hingga 200 pasien per bulan. Dan terkini, rata-rata klinik diabetes terpadu RSPB menerima 500 pasien per bulan.
“Kunjungan semakin meningkat. Bahkan, data Dinas Kesehatan Balikpapan, dari 750 ribu penduduk Balikpapan itu, 1/4 nya memiliki diabetes. Itu pun baru yang sudah terekam medis atau yang pernah datang ke fasilitas kesehatan. Bisa jadi angka itu bisa bertambah,” ucap spesialis penyakit dalam itu kepada Kaltim Post, Rabu (9/11).
Kebanyakan pasien yang datang ke dirinya kini tidak lagi mereka yang punya faktor risiko keturunan. Melainkan didominasi akibat gaya hidup dan pola makan. Mengingat pada zaman yang makin modern, masyarakat semakin malas bergerak dan olahraga. Asupan pun mengonsumsi junk food alias makanan tidak sehat.
“Sekarang mau belanja saja tinggal lewat handphone. Sehingga kurang gerak. Belum lagi makan-makannya yang tinggi gula. Semua penyakit metabolik saat ini bermunculan akibat gaya hidup ini, seperti diabetes, hipertensi, obesitas, dan kolesterol. Dan ini belum semua. Masih banyak yang belum terdeteksi," ucapnya.
Usia penderita pun semakin muda. Kini kebanyakan pasiennya berada di usia produktif. Tidak lagi seperti dulu, ketika diabetes hanya diidap pada orangtua, kini di usia 30 tahun pun tanpa ada risiko keturunan, sudah terserang diabetes. Sehingga dalam peringatan Hari Diabetes tahun ini, membangun kesadaran generasi muda terkait pentingnya mencegah diabetes jadi tema yang diusung.
“Dokter dan rumah sakit kerap bekerja sama meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya generasi muda untuk bisa mengantisipasi diabetes. Itu concern kami saat ini. Bagaimana membangun pola hidup sehat dan konsumsi makan-makanan yang sehat pula. Karena begitu kena (diabetes), maka pengobatannya seumur hidup,” terangnya.
Dari sisi perkembangan pengobatan, Rudy menyebut semakin berkembang. Kini sudah ada jenis obat yang memiliki kinerja seperti insulin. Cukup dikonsumsi seminggu sekali untuk mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Namun, jenis obat itu disebutnya masih mahal.
“Dulu, terapi obat pada pasien di awal terkena diabetes bisa sampai empat kali dalam sehari konsumsi obat untuk mengendalikan gula darah. Insulin pun kini sudah berkembang dan semakin efektif. Tetapi sekali lagi, bagaimana pun efektifnya obat, kepatuhan pasien adalah yang paling utama,” imbuhnya.
Semakin sedikit obat yang dikonsumsi, dan semakin panjang rentang waktu konsumsinya, maka tingkat kepatuhan juga tinggi. Karena bagi penderita, apalagi yang sudah lama, pengobatan dengan suntik insulin bisa jadi melelahkan secara mental. Belum lagi secara fisik beberapa pasien timbul rasa tidak menyenangkan dan jenuh. Belum lagi bagi penderita yang usianya senja, terkadang lupa minum obat menjadi faktor kadar gula tidak terkontrol.
“Rata-rata pasien diabetes sudah sadar dengan kondisi tubuhnya. Sehingga edukasi dan penguatan terhadap faktor-faktor yang mengakibatkan gula darah tidak terkontrol yang paling penting. Dan kebanyakan pasien diabetes itu sulit mengontrol pola makan,” katanya.
Rudy menambahkan, untuk pengobatan diabetes secara fitofarmaka alias herbal hingga kini belum mendapat persetujuan dan rekomendasi dari dunia kedokteran. Dan dalam sejumlah kasus yang ditemukannya, banyak pasien yang sebenarnya dari sisi pengendalian gula darah sudah terkontrol. Tetapi karena ada kejenuhan menggunakan suntik insulin atau obat yang diberikan dokter, pada akhirnya mencoba menggunakan herbal.
“Manusiawi ya ketika mereka jenuh dengan pengobatan yang ada dan ingin sembuh lewat terapi lain. Kebanyakan kasus pasien saya yang berobat sebulan sekali itu tiba-tiba menghilang, datang lagi beberapa bulan kemudian dengan kondisi parah. Ternyata setelah ditanya, mereka coba-coba konsumsi obat jenis fitofarmaka,” ucapnya.
KOMPLIKASI
Puluhan ribu warga di Kaltim sudah terdeteksi mengidap diabetes. Penyakit yang ditandai dengan kadar gula dalam darah yang tinggi, sudah karib jadi penyakit tidak menular yang diderita masyarakat. Padahal, ketika seseorang sudah didiagnosis mengidap diabetes, risiko dia mengidap penyakit lain juga makin tinggi. Sebab, diabetes berkaitan dengan kondisi darah di tubuh manusia.
Data Pemprov Kaltim pada 2019 merilis angka pengidap diabetes di Kaltim mencapai 26 ribu orang, lalu data 2021 dari Dinas Kesehatan Kaltim, pengidap diabetes mencapai 51 ribu orang.
Angka itu berdasarkan masyarakat yang mengakses layanan kesehatan. Bisa jadi, ada pengidap diabetes yang tidak mengakses layanan kesehatan. Apalagi, berdasarkan kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes), permasalahan yang ada saat ini adalah sebagian besar atau sekitar 3 dari 4 orang penderita diabetes, tidak menyadari dirinya menderita penyakit tersebut. Di sisi lain, penyakit itu memerlukan kontrol berkala. Namun, kesadaran pasien untuk kontrol juga tak tinggi.
Tingginya risiko penyakit diabetes menjadi salah satu alasan RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda menandatangani nota kesepahaman untuk pengampuan rumah sakit (RS) jejaring layanan kardiovaskular unonefpro, strok terpadu, dan kanker terpadu dengan RS Jantung Harapan Kita, RS Kanker Dharmais, RS Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo, dan RS Pusat Otak Nasional.
Direktur RSUD AWS dr David Hariadi Masjhoer mengatakan, pelaksanaan kegiatan itu merupakan komitmen memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Itu merupakan amanah dari Kemenkes untuk mengembangkan empat layanan yaitu kardiovaskular unonefpro, strok terpadu, dan kanker terpadu.
“Karena kami ketahui bersama bahwa empat layanan itulah salah satu mengonsumsi dana BPJS Kesehatan paling besar, kenapa Kemenkes betul-betul ingin mengembangkan keempat layanan tersebut. RSUD AWS salah satu rumah sakit yang ditunjuk untuk mengampu keempat layanan itu di Kaltim, Kalsel, dan Kaltara,” ucapnya. (rom/k8)