Rumah ibadah bisa menjadi tempat yang ramah dan nyaman untuk anak-anak. Itulah yang terus dikampanyekan Gereja Kristen Sumba (GKS) Manubara. Mereka ingin menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak.
FERLYNDA PUTRI, Sumba Timur
KABUPATEN Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada 2021, jumlah penduduk Sumba Timur sebanyak 250.788 jiwa. Sekitar 87 persen dari jumlah penduduk menganut agama Kristen. Dengan jumlah sebesar itu, sangat wajar jika gereja menjadi tempat yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Peran itu pula yang ditunjukkan GKS Manubara. Melalui gereja, hati jemaat diketuk untuk memedulikan hak-hak anak.
”Sebelum ada gereja ramah anak, begitu banyak anak yang ditelantarkan orang tua atau mendapatkan kekerasan,” kata Aulia kepada Jawa Pos Kamis (13/10) pekan lalu. Remaja 14 tahun itu merupakan anggota forum anak Manubara binaan Wahana Visi Indonesia (WVI). Di masa lalu, Aulia sering sedih ketika melihat teman sebayanya mendapat tindakan kekerasan. Namun, dia tak mengerti harus bagaimana.
”Tapi, setelah ada gereja ramah anak, begitu banyak anak yang sudah tidak mendapat kekerasan lagi dari orang tua. Tidak ada lagi anak yang ditelantarkan atau disuruh bekerja,” ujarnya.
GKS Manubara mendeklarasikan menjadi gereja ramah anak pada 2018. Waktu itu gereja tersebut baru dua tahun berdiri. Aulia ingat, pada awal pembentukan gereja ramah anak, belum banyak kegiatan yang dilakukan. Namun, seiring perjalanan waktu, kegiatan terus berkembang. Misalnya, ada komunitas sel (komsel) anak yang mengajak diskusi tentang berbagai hal. ”Kami belajar banyak hal. Kami diajarkan hal-hal yang tidak kami ketahui,” ujarnya.
Beberapa bulan lalu, GKS Manubara mengadakan pendalaman iman yang terkait dengan forum anak. ”Dengan adanya gereja ramah anak, kami semakin mengerti apa yang harus kami lakukan sebagai anak,” terangnya.
Pendeta jemaat GKS Manubara, Sumba Timur, Pdt Aprianus Meta Djangga Uma juga ingat masa-masa sebelum gereja ramah anak berdiri. Saat itu banyak sekali persoalan terkait dengan anak-anak. Banyak anak yang kehilangan sosok ayah. Sebab, banyak anak yang lahir di luar pernikahan. Mereka ditinggalkan dan ditelantarkan orang tuanya. Angka kehamilan anak-anak juga cukup tinggi. ”Tingkat kekerasan pada anak juga cukup tinggi. Memaki, memukul itu sudah biasa pada masa itu,” ujarnya.
Tidak sedikit pula anak-anak yang membantu orang tuanya bekerja. Pekerjaan itu harus mereka lakukan saat jam sekolah. Sebab, kala itu angka kemiskinan begitu tinggi. Kondisi tersebut mengetuk hati Aprianus. ”Kami terpanggil untuk melayani mereka,” ucapnya.
Langkah pertama setelah memutuskan menjadi gereja ramah anak pada 9 Juni 2018 adalah melakukan pendataan. GKS Manubara mendata jumlah anak, jenis kelamin, dan permasalahan-permasalahan yang sering dihadapi. ”Kami juga mengajarkan pengasuhan dan menanamkan rasa percaya diri bagi ibu single parent,” tuturnya.
Aksi itu tidak berhenti di lingkup keluarga. Sekolah-sekolah di sekitar GKS Manubara juga diajak bekerja sama. Terutama sekolah yang siswanya menjadi jemaat GKS Manubara. Aprianus ingin misi untuk menjunjung hak anak juga didukung lingkungan sekitar. ”Ini untuk membangun kesadaran berpikir,” ucapnya.
Anak-anak diberi pengetahuan terkait dengan hak dan kewajibannya. Mereka diajari bagaimana mengadvokasi dan membangun kesadaran peduli kepada teman sebaya. Dengan begitu, mereka mampu mengkritisi jika terjadi kekerasan terhadap anak di lingkungannya. ”Mereka diberi ruang di gereja. Saat Hari Anak, kami bikin spanduk yang isinya mengingatkan hak anak. Spanduk itu dibentangkan di gereja,” terang Aprianus.
Anak-anak juga dilatih untuk mengenal diri sendiri. Pendidikan seks pun diajarkan. Mereka diberi kesempatan untuk mengungkapkan kegelisahan dan pendapat di gereja. ”Kami bentuk parenting support group di setiap komsel,” tuturnya. Hingga kini ada 238 keluarga yang dibagi dalam 18 komsel. Itu berguna untuk mengimplementasikan pengasuhan penuh cinta dalam grup tersebut. Seminggu sekali mereka berkumpul untuk membicarakan pengasuhan di setiap keluarga.
”Ada juga program gizi untuk anak. Ini untuk tambahan makanan,” imbuh Aprianus. Keluarga diajari menabung untuk memberikan makanan yang penuh gizi. Mereka menabung di botol plastik. Lalu, pada waktu yang disepakati, tabungan itu diambil untuk program makanan tambahan. ”Daripada saya ngomong di mimbar agar setiap jemaat nyumbang Rp 100 ribu, lebih mudah dengan cara ini,” selorohnya, lantas tertawa.
Majelis gereja juga mendampingi pembuatan akta lahir. Akta lahir itu penting bagi anak. Sebab, dokumen tersebut merupakan identitas yang diakui secara hukum dan berguna untuk masa depan anak. Karena itu, anak-anak dari jemaat GKS Manubara dipastikan punya akta lahir.
Ada momen yang sangat dikenang Aprianus. Itu terjadi ketika kali pertama mengajak jemaatnya membentuk gereja ramah anak. Waktu itu dia baru saja mendapat pelatihan dari Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB). ”Mereka (jemaat) tidak antusias. Yang datang hanya beberapa,” kenangnya. Tapi, Aprianus tak menyerah. Dia lalu melakukan pendekatan kepada setiap komsel. Perwakilan komsel dipanggil satu per satu. Dia juga mendatangi setiap ada acara di komsel. ”Awalnya tidak semua datang. Tapi, empat atau lima keluarga saja yang datang, saya sudah senang,” ujarnya.
Karena jumlah komsel yang tidak sedikit, Aprianus harus sering mengulang-ulang penjelasan tentang pentingnya memperhatikan hak anak. Dari satu komsel ke komsel lain. ”Di setiap momen seperti Natal, Agustusan, dan hari besar lain temanya soal anak. Ini untuk sosialisasi,” imbuhnya.
Meski demikian, dia mengakui bahwa gereja belum sempurna. GKS Manubara akan terus menyuarakan hak anak dan hal-hal yang menunjang tumbuh kembang anak. ”Tinggal fasilitas yang ditingkatkan. Tapi, untuk orang tua, tidak ada lagi yang merasa program ramah anak sebagai beban. Mereka sudah menyadari dan menerapkan program tersebut,” tutur Aprianus. (*/c19/oni)