Para perantara komunikasi menangkap informasi lewat energi yang disalurkan hewan dan metode penerimaannya beragam. Pesan yang tertangkap kemudian diterjemahkan dalam bentuk verbal maupun tulisan.
LAILATUL FITRIANI, Surabaya
INGKAN Paramitha awalnya tidak tahu ada profesi sejenis perantara komunikasi dengan binatang. Apalagi, dia bukan tipikal orang yang percaya pada hal-hal berbau klenik.
”Waktu itu aku lagi belajar cara menggunakan gelombang otak untuk penyembuhan. Ada salah satu materinya tentang menyembuhkan hewan,” ujar Ingkan.
Dia pun mencoba mempraktikkannya pada kucing peliharaannya yang sedang sakit. Tak disangka betulan manjur. Dari sana dia mulai meng-explore lebih jauh hingga menemukan apa yang dikenal sebagai animal communicator (ancom).
”Aku jadi happy banget bisa bantu menyelesaikan masalah anabul (anak bulu/sebutan umum untuk binatang kucing dan anjing). Bukan hanya masalah fisik atau perilaku, tapi psikologisnya juga bisa digali. Dan, aku menjadi jembatan komunikasi antara manusia dan hewan,” ungkapnya.
Tentu Ingkan menerima imbalan untuk jasa yang ditawarkan yang tidak banyak dikuasai orang itu. Besarannya bergantung jenis komunikasi yang dibutuhkan.
Sebelum menceburkan diri lebih jauh, perempuan asal Jakarta itu mencari dasar ilmiah ilmu animal communicator (ancom). Para ancom tidak serta-merta berbicara dengan hewan. Mereka menangkap informasi lewat energi yang disalurkan hewan.
Setiap ancom memiliki metode penerimaan informasi energi yang berbeda. Bergantung sense mana yang lebih tajam. Ada yang melalui gambar, suara, aroma, sensasi tubuh, hingga emosi. Pesan yang tertangkap kemudian diterjemahkan dalam bentuk verbal maupun tulisan.
”Ini tentang penggunaan gelombang otak (terutama otak kanan). Manusia kan memiliki empat jenis gelombang otak, yakni beta, alfa, delta, dan teta. Kebanyakan kita hanya memakai satu jenis saja (beta) atau kadang dua gelombang otak (beta dan alfa),” jelas Ingkan.
Ancom, lanjut dia, mempelajari minimal dua gelombang otak. Bahkan, keempatnya bisa dipakai. Ingkan mengungkapkan, semua makhluk hidup sebenarnya terhubung di gelombang otak yang sama. Namun, untuk bisa terhubung, perlu mengakses gelombang yang lebih rendah: alfa, delta, dan teta.
”Kalau aku biasanya dalam bentuk gambar, emosi, sensasi tubuh, aroma, dan rasa di lidah,” katanya.
Awal perjalanannya menjadi ancom bisa dibilang cukup emosional. Dobby, kucing kesayangan keponakannya, sudah satu minggu menghilang. Meski dirasa terlambat, Ingkan mencoba linking. Dari sana dia mendapati nasib tragis yang menimpa Dobby di akhir hidupnya.
”Dobby bilang lagi main di jalan, tiba-tiba ada motor yang mendekat dan ia dibawa. Ia kasih gambaran bak sampah besar. Ia juga kasih beberapa gambaran apa yang terjadi dengannya,” paparnya. Yang terjadi dengan Dobby itu sangat brutal. ”Aku shock. Darah di mana-mana,” ceritanya.
Kini, sudah banyak kursus menjadi ancom. Ingkan mempelajari kemampuan ancom sejak empat tahun silam. Ketika itu dia belajar dari orang luar negeri karena di Indonesia belum marak.
Dia menyebut, siapa pun sebenarnya bisa menjadi ancom. Sebab, kemampuan nonverbal itu terinstal sejak lahir. ”Contohnya, koneksi ibu dan bayi atau insting ibu. Jadi, bukan hanya pada hewan dan tumbuhan, manusia ke manusia pun bisa. Tapi, semakin kita dewasa, semakin tidak terpakai karena kita mengandalkan bahasa verbal untuk komunikasi,” terang dia.
Kursus ancom itu juga menarik perhatian Tiara Indra yang dasarnya memang penyayang binatang. Dia mulai intens mencoba berkomunikasi dengan hewan. Dimulai dari kucing-kucing peliharaannya.
”Tadinya tidak ada niat untuk menjadi ancom. Bantu kalangan terbatas saja seputar peliharaan teman-teman,” tutur Tiara yang juga tinggal di Jakarta.
Bantuan skala kecil itu mulai meluas. Atas desakan kawan-kawannya, Tiara memberanikan diri membuka jasa ancom di Instagram. Dia tidak menduga ternyata banyak yang membutuhkan jasa ancom.
”Teman saya mereferensikan saya ke temannya yang kehilangan kucing. Saya bantu dan kebetulan kucingnya ketemu sesuai titik lokasi hasil komunikasi dengan kucing tersebut. Dari situ, orang mulai menghubungi saya,” paparnya.
Bukan hanya kucing dan anjing, Tiara beberapa kali juga diminta berkomunikasi dengan burung, landak, hamster, hingga ular. Kemampuan ancom memang tidak terbatas pada hewan tertentu saja, bahkan yang sudah mati sekalipun. Mereka juga tidak perlu melihat hewannya secara langsung.
”Cara komunikasinya sama saja. Untuk hewan yang sudah mati, saya biasanya membatasi masa kematian hewan tersebut maksimal satu tahun,” jelas Tiara.
Menjadi ancom meninggalkan kesan tersendiri bagi Tiara. Dari yang menggelitik perut sampai ikut terlarut dalam kesedihan. Saat dia terkoneksi dengan hewan, tidak sedikit yang membongkar kelakuan induk semangnya.
”Pernah dapat kasus anjing milik ibu pemulung yang akhirnya mati tidak lama setelah melahirkan,” kenangnya. Pesan dari anjing itu, lanjutnya, serta bagaimana si ibu menangis meraung dan memeluk kuburan anjingnya membuatnya tidak kuasa menahan tangis. ”Terharu melihat ketulusannya,” katanya.
Ketulusan serupa yang sempat membuat Ingkan kerap menangis di awal perjalanannya menjadi ancom. ”Hati hewan dan tumbuhan itu bersih sekali. Mereka jauh lebih bijaksana. Kebanyakan bikin aku terharu karena mereka cerita betapa mereka sayang sama guardian mereka (manusia). Jadi, sayangi peliharaan kalian,” pesannya.
Andining Eka Putri Fierdausz yang merasa terhubung secara emosional dengan kucingnya termasuk yang penasaran memanfaatkan jasa ancom. Dia ingin tahu perasaan Osaka, kucing peliharaan pertamanya, terhadapnya.
”Aku pengin nanya Osaka di rumah senang apa nggak, terus sayang aku nggak. Aku juga nanya ia mau disteril atau nggak,” ungkap perempuan 22 tahun itu.
Rasa penasaran itu mendorongnya untuk menyewa jasa ancom. Apalagi, ketika Osaka tidak nafsu makan. Dia mengajukan tujuh pertanyaan dan menerima hasilnya empat minggu kemudian.
”It was worth it! Jawabannya benar, lho. Aku kan nggak pernah bilang bisa bahasa isyarat. Nah, ancom-nya kasih tahu bahwa Osaka bilang aku berkomunikasi melalui jari,” ujar Ore, sapaan akrab Andining Eka Putri Fierdausz.
Melalui perantara ancom, Osaka mengungkapkan bahwa Ore sering pergi dan capek. Begitu pulang, tangan pemiliknya itu sibuk memegang ponsel. Jadi, ia memilih meringkuk di kaki Ore.
”Ternyata Osaka seperhatian itu. Ia tahu aku suka pakai aksesori. Ia tahu aku capek pulang kerja, bahkan sadar aku sampai rumah masih coba main dengannya, terus tiduran dan main HP,” tuturnya.
Ore juga tergelak saat mengetahui kenapa mainan yang dibelikannya tidak pernah dimainkan atau aksesori collar-nya selalu dilepas. Kucingnya itu mengatakan lebih menantang menggaruk sofa. Ia meminta dibelikan mainan yang lebih besar dan keren.
Ore juga merasa heran mengetahui kucingnya tidak suka didekati anak kecil karena energinya ingar-bingar. ”Ternyata, ia bilang lebih suka keadaan yang tenang dan nyaman,” katanya. (*/c14/ttg/jpg/dwi/k15)