Sudah bertahun-tahun Kaltim menjadi pemroduksi kelapa sawit beserta produk turunannya. Namun, hingga sekarang, provinsi ini belum menikmati dana bagi hasil dari sektor itu.
SENTIMEN positif menyelimuti komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya. Sejak negara-negara di Uni Eropa mengalami krisis minyak nabati awal 2022, harga CPO dunia terbang tinggi. Bahkan Mei lalu, dalam sebulan, harga CPO dunia meroket 24,52 persen.
Itu adalah kenaikan bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Penyebabnya, selain karena perang Rusia-Ukraina yang kini masih berlangsung, juga akibat kebijakan larangan sementara ekspor CPO Indonesia oleh Presiden Joko Widodo kala itu.
Meski pada perjalanannya harga CPO dunia kembali fluktuatif bahkan cenderung turun pada akhir perdagangan, Kamis (13/10), akibat meningkatnya pasokan dan sentimen dari makro ekonomi, namun tren positif tetap menempel hingga akhir tahun mendatang. Minyak sawit masih menjadi primadona khususnya di Eropa dan India sebagai importir terbesar CPO dari Indonesia.
“Di Eropa sebelumnya setiap supermarket ada label ‘no palm oil’. Begitu pecah perang Rusia-Ukraina, label itu langsung dicabut,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Kemitraan Dalam Pelaksanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk Kesejahteraan Pekebun di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kamis (13/10).
Eddy menjelaskan faktor terbesar sulitnya minyak sawit masuk Eropa adalah murni faktor perang dagang, sehingga begitu negara pemasok terbesar minyak nabati seperti biji bunga matahari, yakni Ukraina terlibat perang dengan Rusia, yang berdampak pada ekspor, otomatis Eropa memerlukan minyak sawit yang dihasilkan negara tropis seperti Indonesia dan Malaysia.
“Sayangnya Indonesia masih memiliki banyak masalah terkait bagaimana meningkatkan produksi. Meningkatkan itu salah satunya dengan peremajaan. Sementara untuk itu ada tantangan kebijakan terkait kawasan hutan. Itu harus dicarikan solusi,” ucap Eddy.
Apalagi saat ini komoditas kelapa sawit memberikan sumbangan devisa terhadap negara sangat besar. Rata-rata per tahun USD 22-23 miliar atau sekitar Rp 450 triliun (kurs Rp 15.325/USD). Bahkan pada 2021, devisa yang dihasilkan dari ekspor komoditas kelapa sawit mencapai USD 30 miliar, rekor tertinggi selama ini. Dengan meningkatnya devisa negara, ekonomi Indonesia akan semakin kuat.
Namun, bagaimana nasib daerah penghasil? Tidak kurang dari 22 provinsi di Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit dan turunannya, termasuk di Kaltim. Eddy menyebut, saat ini pemerintah sedang menyusun aturan mengenai dana bagi hasil (DBH) untuk daerah penghasil kelapa sawit. Aturan itu merupakan turunan dari UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“DBH untuk daerah penghasil, Gapki sangat mendukung. Sangat bagus. Agar tidak kesan, kita yang menghasilkan kok tidak dapat bagian. Terkait persentase, kami tidak dilibatkan di dalamnya. Itu kebijakan pemerintah pusat. Tentu keinginan daerah seperti Kaltim seperti yang disampaikan gubernur (Gubernur Kaltim Isran Noor), ada keinginan daerah mendapat bagian yang lebih besar,” ucap Eddy.
Di lokasi yang sama, Ketua Gapki Kaltim Muhammadsjah Djafar menyebut, DBH sawit masih diperjuangkan para kepala daerah penghasil. Dan pemerintah pusat pun tengah menggodok aturannya. Sehingga hanya tinggal menunggu kebijakan itu bisa segera direalisasikan.
“Seyogianya DBH ini persentasenya lebih besar harus diberikan ke daerah penghasil. Namun ini ‘kan kebijakan pusat. Terkait bagaimana pembagiannya tentu harus berdasar asas keadilan. Kita ‘kan negara kesatuan. Bagaimana (daerah) yang kaya membantu (daerah) yang miskin,” ungkap Djafar.
Baginya, banyak yang bisa dilakukan daerah penghasil jika mendapatkan porsi yang besar dari DBH sawit. Utamanya dalam memperbaiki ekonomi masyarakat. Termasuk infrastruktur yang selama ini dikorbankan dalam proses produksi kelapa sawit. Karena diketahui, banyak jalan di Kaltim, baik di daerah penghasil atau bukan yang rusak akibat digunakan sebagai jalur hauling kelapa sawit.
“Karena kami pun terbentur aturan jalan umum tidak boleh digunakan angkutan sawit. Nah ini yang kami perjuangkan. Karena tidak semua perusahaan bisa buat jalan sendiri. Sementara aturan itu ada karena kelas jalan di Kaltim yang tidak sesuai,” ucapnya.
Dengan adanya DBH itu setidaknya pemerintah bisa meningkatkan kualitas jalan. “Seperti di Sumatra Utara itu, ratusan tahun tidak ada masalah. Karena jalannya memang kualitas jalan ditingkatkan. Pun akhirnya bisa mengatur soal kapasitas muatan di jalan, jadi tidak ada kendaraan odol (overdimension overloading),” imbuhnya.
PERJUANGAN KALTIM
Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim mencatat, di luar Bontang, Samarinda dan Balikpapan, perkebunan kelapa sawit di Kaltim mencapai luas 1,3 juta hektare. Dengan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang diolah pada 2021 sebanyak 17,8 juta ton. Selain itu, produksi CPO yang diperjualbelikan tahun lalu sebanyak 3,7 juta ton.
“Produksi CPO Kaltim tidak pernah di bawah 3,5 juta ton. Tetapi yang kembali ke Kaltim sangat kecil, bahkan cenderung tidak ada,” kata Kepala Disbun Kaltim Ujang Rachmad.
Dia menjelaskan, tahun lalu pihaknya sudah berhitung, berapa banyak kontribusi Kaltim pada pendapatan pungutan dana perkebunan atas ekspor CPO. Pada 2021 saja, dengan menggunakan harga rata-rata CPO sebesar USD 1.194/ton, dengan tarif pungutan ekspor USD 235/ton, maka kontribusi Kaltim mencapai USD 261,95 juta atau Rp 3,7 triliun.
Belum lagi nilai bea keluar CPO Kaltim sebanyak 1,1 juta ton dikali USD 166, maka kontribusinya mencapai USD 185 juta atau Rp 2,6 triliun. “Itu hanya contoh simulasi yang betul-betul kami perhitungkan dengan baik berdasarkan level nilai yang berlaku saat itu,” jelasnya.
Untuk memutuskan besaran dana bagi hasil sawit untuk Kaltim, Ujang pernah menyebut sebesar-besarnya. Meski pada keputusannya nanti adalah dari pemerintah pusat. “Itu ‘kan baru penyesuaian sejumlah regulasi setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Jadi kami masih tunggu peraturan pemerintahnya. Ini yang belum ada,” imbuhnya.
Bagi Ujang, dengan DBH sawit yang adil, Kaltim akan semakin mampu memajukan daerah. “Kalau kita punya uang yang banyak, maka kita punya program yang banyak. Sesuai kata Pak Gubernur, maka kita bisa berbuat lebih banyak untuk menyejahterakan masyarakat,” ucapnya.
Gubernur Kaltim Isran Noor yang ditemui Kaltim Post tidak banyak berkomentar terkait DBH sawit. Dirinya menyerahkan penjelasan tersebut ke Ujang. Namun, dalam wawancara sebelumnya, Isran berharap, sudah ada kepastian mengenai skema pembagian DBH sawit itu, sebelum tahun ini berakhir.
“Untuk PP itu urusan orang Jakarta. Tapi perlu pemikiran dan pandangan dari daerah. Karena uang yang dikelola dari Kemenkeu (Kementerian Keuangan) itu berasal dari daerah. Kecuali utang luar negeri. Makanya daerah harus dilibatkan dan kita usulkan pembagian DBH (sawit) itu,” ucapnya.
Diketahui, Kementerian Keuangan menginformasikan regulasi pemberian DBH sawit telah masuk arah kebijakan umum transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) tahun anggaran 2023.
Meski begitu, belum jelas angka yang akan diterima. Sementara Pemprov Kaltim memperjuangkan DBH sawit sebesar 90 persen untuk daerah penghasil dan 10 persen untuk pemerintah pusat. Besaran 90 persen untuk daerah penghasil itu terdiri dari 45 persen untuk kabupaten/kota penghasil sawit. Lalu sebesar 35 persen untuk provinsi, dan 10 persen lainnya untuk pemerataan kepada kabupaten/kota lain.
SUARA PEKEBUN
Di tengah sentimen positif harga CPO dunia dan perjuangan Kaltim untuk memperoleh persentase besar dari DBH sawit, nasib pekebun kelapa sawit justru terjepit. Seperti yang dialami Ahmad Zulkarnain, pekebun dari Kembang Janggut, Kutai Kartanegara (Kukar) yang saat ini secara swadaya mengelola 5 hektare kebun kelapa sawit dan 2 hektare hasil bantuan perusahaan kelapa sawit.
“Alhamdulillah produksinya bagus. Sekali panen dalam sebulan bisa 3 ton per hektare. Tetapi setelah berpuluh tahun kami berpatokan pada harga TBS yang ditetapkan Disbun, belakangan ini harga TBS yang dipatok mitra (perusahaan) itu harga komersil. Di mana nilainya rendah. Harga Disbun itu saat ini Rp 2.100-an per kg, sementara komersil Rp 1.830 per kg,” ungkap Ahmad kepada Kaltim Post.
Baginya selisih harga itu sangat memberatkan. Pasalnya sejak satu tahun terakhir lalu pekebun juga dibebankan pada semakin mahalnya harga pupuk dan racun tanaman. Apalagi program subsidi pupuk di bidang perkebunan yang dia dan pekebun di Kembang Janggut biasa terima per tahun sebanyak 100 ton, sejak Juli lalu dihentikan. Membuatnya dan pekebun lain harus mandiri membeli pupuk non-subsidi.
“Harga pupuk urea itu per karung (50 kg) Rp 550 ribu. Kalau NPK (pupuk) itu Rp 600 ribu per karung. Sementara 1 hektare minimal pakai empat karung. Dua kali pemupukan dalam setahun,” ujarnya. Soal kondisi ini, dia dan pekebun di Kukar sudah disampaikan ke pemkab dan DPRD Kaltim. Namun hingga kini belum ada tanggapan.
PROSEDUR PEREMAJAAN
Tiap tahun pemerintah melalui Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) punya target peremajaan sawit rakyat (PSR). Luasannya sekitar 180 ribu hektare per tahun. Tapi sayang, angka itu sulit dicapai.
Dari informasi yang dihimpun, sulitnya target itu dicapai akibat kendala di sejumlah syarat, regulasi, dan kebijakan di sejumlah kementerian. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Sehingga, rencana PSR di Indonesia termasuk di Kaltim terhambat.
Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS Anwar Sunari menjelaskan, pihaknya mendorong perusahaan-perusahaan inti kelapa sawit yang memiliki pekebun sebagai plasmanya untuk segera mengajukan proposal peremajaan ke BPDPKS.
Tentu dengan syarat yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian, dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Dalam Permentan itu ‘kan ada dua jalur. Jalur pertama melalui dinas yang memerlukan rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal Perkebunan yang diajukan ke BPDPKS. Kemudian jalur kemitraan melalui perusahaan. Itu yang kami dorong,” ungkap Sunari ditemui di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kamis (13/10).
Sunari mengakui, memang berat untuk mencapai target PSR seluas 180 ribu hektare per tahun. Untuk itu melalui FGD yang dilaksanakan kemarin, setiap stakeholder khususnya perusahaan dan pekebun kelapa sawit di Kaltim mampu memberikan pandangan dan persoalan untuk bisa dipecahkan bersama. Agar dalam pengajuan PSR, pekebun melalui jalur kemitraan bisa mudah mendapatkan program tersebut.
“Tantangan berupa kerangka regulasi yang masih mengikat persyaratan. Salah satunya yang paling utama adalah soal status lahan. Di mana lahan yang baik di kemitraan dan dinas itu tidak masuk kawasan lindung gambut. Juga tidak tumpang-tindih dengan kawasan HGU (hak guna usaha) di BPN (Badan Pertanahan Nasional),” ujarnya.
Untuk diketahui, sejak 2016-2021 total realisasi PSR seluas 242.537 hektare dengan jumlah pekebun 105.684 orang dan untuk dana tersalur mencapai Rp 6,59 triliun. Saat ini, sesuai keputusan pemerintah melalui komite pengarah besaran PSR adalah Rp 30 juta per hektare. Aceh, Riau, dan Sumatra Selatan merupakan provinsi yang mendapatkan pencairan dana terbanyak.
Untuk kondisi di Benua Etam, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad menjelaskan, hingga kini belum ada satu pun usulan PSR melalui jalur kemitraan yang diajukan ke BPDPKS. Karena seperti di Indonesia, PSR di Kaltim juga banyak menemui hambatan. Untuk itu, dengan keluarnya mekanisme baru melalui jalur kemitraan yang mengacu pada Permentan 3/2022, maka lambatnya penyaluran PSR bisa diatasi.
“FGD ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada perusahaan hingga membangun komitmen untuk mewujudkan kemitraan. Termasuk untuk pekebun. Sehingga, terjadi akselerasi untuk mempercepat PSR ini,” ucap Ujang.
Dari catatan Dinas Perkebunan Kaltim, Ujang menyebut, dari 1,3 juta hektare luas perkebunan kelapa sawit di Kaltim, di luar Balikpapan, Samarinda, dan Bontang, seluas 50,6 ribu hektare berpotensi untuk diremajakan. Sejak 2017 hingga kini, realisasi peremajaan sawit melalui jalur dinas baru seluas 6.965 hektare.
“Kan ini masih jauh. Padahal, target kami setiap tahun cukup besar. Seperti target kami tahun ini seluas 2.240 hektare, yakni 2.000 hektare di Paser dan 240 hektare di Kutai Kartanegara. Itu pun kami akan lihat realisasinya nanti. Selama ini, antara target dan realisasi tidak pernah tercapai akibat kendala-kendala yang sudah dipaparkan,” ungkapnya.
Kendala tersebut antara lain banyaknya kasus tumpang-tindih lahan khususnya milik pekebun. Baik itu lahan yang masuk kawasan HGU hingga kawasan kehutanan. Selain itu, kendala terkait prosedur yang terlampau panjang. Menurut Ujang, pekebun menyelesaikan prosedur bisa mencapai 2-3 tahun.
“Artinya, dari sisi prosedur hingga waktu pekebun menyiapkan syarat PSR menjadi kendala sendiri dalam mempercepat realisasi PSR. Maka, ke depan, kami akan membuat semacam surat usulan kepada pihak berwenang untuk bisa memperbaiki sejumlah prosedur dan syarat PSR jalur kemitraan. Pekebun mengeluhkan betapa mereka harus memenuhi hingga 38 syarat. Itu yang sama-sama harus kita cari solusinya,” bebernya. (rom/k16)
Peliput:
M RIDHUAN
[email protected]
NOFFIYATUL CHALIMAH
[email protected]