Mengembangkan perkebunan kelapa sawit bukan perkara muda. Fakta di lapangan, syarat yang dipenuhi begitu panjang.
BALIKPAPAN-Tiap tahun, pemerintah melalui Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) punya target peremajaan sawit rakyat (PSR). Luasannya sekitar 180 ribu hektare per tahun. Tapi sayang, angka itu sulit dicapai.
Dari informasi yang dihimpun, sulitnya target itu dicapai akibat kendala di sejumlah syarat, regulasi, dan kebijakan di sejumlah kementerian. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Sehingga, rencana PSR di Indonesia termasuk di Kaltim terhambat.
Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS Anwar Sunari menjelaskan, pihaknya mendorong perusahaan-perusahaan inti kelapa sawit yang memiliki pekebun sebagai plasmanya untuk segera mengajukan proposal peremajaan ke BPDPKS.
Tentu dengan syarat yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian, dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Dalam permentan itu ‘kan ada dua jalur. Jalur pertama melalui dinas yang memerlukan rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal Perkebunan yang diajukan ke BPDPKS. Kemudian jalur kemitraan melalui perusahaan. Itu yang kami dorong,” ungkap Sunari ditemui di sela pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Kemitraan dalam Pelaksanaan PSR untuk Kesejahteraan Pekebun di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kamis (13/10).
Sunari mengakui, memang berat untuk mencapai target PSR seluas 180 ribu hektare per tahun. Untuk itu melalui FGD yang dilaksanakan kemarin, setiap stakeholder khususnya perusahaan dan pekebun kelapa sawit di Kaltim mampu memberikan pandangan dan persoalan untuk bisa dipecahkan bersama. Agar dalam pengajuan PSR, pekebun melalui jalur kemitraan bisa mudah mendapatkan program tersebut.
“Tantangan berupa kerangka regulasi yang masih mengikat persyaratan. Salah satunya yang paling utama adalah soal status lahan. Di mana lahan yang baik di kemitraan dan dinas itu tidak masuk kawasan lindung gambut. Juga tidak tumpang -tindih dengan kawasan HGU (hak guna usaha) di BPN (Badan Pertanahan Nasional),” ujarnya.
Untuk diketahui, sejak 2016-2021 total realisasi PSR seluas 242.537 hektare dengan jumlah pekebun sebanyak 105.684 orang dan untuk dana tersalur mencapai Rp 6,59 triliun. Saat ini, sesuai keputusan pemerintah melalui komite pengarah besaran PSR adalah Rp 30 juta per hektare. Aceh, Riau, dan Sumatra Selatan merupakan provinsi yang mendapatkan pencairan dana terbanyak.
Untuk kondisi di Benua Etam, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad menjelaskan, hingga kini belum ada satu pun usulan PSR melalui jalur kemitraan yang diajukan ke BPDPKS. Karena seperti di Indonesia, PSR di Kaltim juga banyak menemui hambatan. Untuk itu, dengan keluarnya mekanisme baru melalui jalur kemitraan yang mengacu pada Permentan 3/2022, maka lambatnya penyaluran PSR bisa diatasi.
“FGD ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada perusahaan hingga membangun komitmen untuk mewujudkan kemitraan. Termasuk untuk pekebun. Sehingga, terjadi akselerasi untuk mempercepat PSR ini,” ucap Ujang yang juga menjadi moderator dalam FGD tersebut.
Dari catatan Dinas Perkebunan Kaltim, Ujang menyebut dari 1,3 juta hektare luas perkebunan kelapa sawit di Kaltim, di luar Balikpapan, Samarinda, dan Bontang, seluas 50,6 ribu hektare berpotensi untuk diremajakan. Di mana sejak 2017 lalu hingga kini, realisasi peremajaan sawit melalui jalur dinas baru seluas 6.965 hektare.
“Kan ini masih jauh. Padahal, target kami setiap tahun cukup besar. Seperti target kami tahun ini seluas 2.240 hektare, yakni 2.000 hektare di Paser dan 240 hektare di Kutai Kartanegara. Itu pun kami akan lihat realisasinya nanti. Selama ini, antara target dan realisasi tidak pernah tercapai akibat kendala-kendala yang sudah dipaparkan,” ungkapnya.
Kendala tersebut antara lain masih banyaknya kasus tumpang-tindih lahan khususnya milik pekebun. Baik itu lahan yang masuk kawasan HGU hingga kawasan kehutanan. Selain itu, kendala terkait prosedur yang terlampau panjang. Menurut Ujang, pekebun untuk menyelesaikan prosedur bisa mencapai 2-3 tahun.
“Artinya, dari sisi prosedur hingga waktu pekebun menyiapkan syarat PSR menjadi kendala sendiri dalam mempercepat realisasi PSR. Maka, ke depan, kami akan membuat semacam surat usulan kepada pihak berwenang untuk bisa memperbaiki sejumlah prosedur dan syarat PSR jalur kemitraan. Pekebun mengeluhkan betapa mereka harus memenuhi hingga 38 syarat. Itu yang sama-sama harus kita cari solusinya,” bebernya. (rom/k15)
M RIDHUAN
[email protected]