KIEV - Presiden Rusia Vladimir Putin (5/10) secara resmi mencaplok empat wilayah Ukraina. Dia menandatangani dekrit untuk menyerap Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia dan Kherson sebagai wilayah Rusia. Pekan lalu, parlemen negeri Beruang Merah sudah memberikan lampu hijau atas langkah Putin.
Empat wilayah tersebut menggelar referendum 2 pekan lalu untuk memutuskan ikut Rusia atau tetap bersama Ukraina. Hasilnya, mayoritas memilih ikut Rusia. Namun referendum tersebut tidak diakui oleh Ukraina dan internasional. Itu karena saat voting, penduduk didatangi dari rumah ke rumah oleh petugas referendum yang ditemani tentara bersenjata.
’’Penduduk wilayah yang dicaplok akan segera diakui sebagai warga negara Rusia, Masa transisi akan berlangsung hingga 2026,’’ bunyi laporan kantor berita Rusia, Tass.
Belum diketahui di mana batas-batas wilayah yang diakusisi oleh Rusia tersebut. Sebab, saat ini pasukan Ukraina membuat kemajuan pesat di wilayah Selatan dan Timur. Mereka berhasil merebut kembali desa-desa yang sebelumnya dikuasai oleh Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengungkapkan bahwa pasukannya telah membuat kemajuan yang cepat dan kuat. Sudah ada belasan wilayah yang berhasil direbut kembali. Termasuk area di Kherson yang diklaim Rusia. ’’Delapan pemukiman kecil di daerah utara Sungai Dnieper telah dibebaskan oleh pasukan Ukraina,’’ ujar Zelensky.
Kementerian Pertahanan Rusia belum secara resmi berkomentar. Namun wakil kepala pemerintahan regional yang dilantik Rusia Kirill Stremousov secara tidak langsung mengakui pasukannya telah kehilangan wilayah di selatan. Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov di lain pihak menegaskan bahwa mundurnya pasukan Rusia dari beberapa wilayah yang sudah dicaplok tersebut tidak berarti apa-apa.
’’Mereka akan bersama Rusia selamanya dan mereka akan dikembalikan lagi,’’ tegasnya.
Salah satu yang mendorong kemajuan serangan Ukraina adalah bantuan persenjataan bertubi-tubi dari negara-negara Barat. AS kemarin mengumumkan tambahan bantuan militer ke ke Ukraina senilai USD 625 juta atau setara dengan Rp 9,5 triliun. Bantuan tersebut berupa persenjataan untuk perang. Empat di antaranya adalah peluncur roket HIMARS. Jika dihitung sejak awal invasi, AS telah mengucurkan total bantuan senilai USD 17 miliar atau Rp 258,48 triliun untuk Ukraina.
Bantuan terbaru AS itu membuat Rusia berang. Terlebih posisi Rusia kini terpojok. Duta besar Rusia untuk AS Anatoly Antonov menegaskan bahwa keputusan AS untuk terus memompa rezim Kiev dengan senjata berat hanya mengamankan status Washington sebagai peserta konflik. Dia menambahkan bahwa ini akan mengakibatkan pertumpahan darah yang berkepanjangan dan korban baru.
’’Kami menyerukan Washington untuk menghentikan tindakan provokatifnya yang dapat menyebabkan konsekuensi paling serius,’’ ujarnya seperti dikutip BBC.
Terpisah Majelis Umum PBB (UNGA) rencananya akan mengadakan pertemuan mendesak Senin (10/10). Mereka akan membahas pencaplokan yang dilakukan Rusia. Pada pertemuan tersebut, 193 negara anggota akan mempertimbangkan resolusi yang draf-nya sekarang sedang dipersiapkan.
’’Pertemuan ini atas permintaan Ukraina dan Albania,’’ ujar juru bicara Majelis Umum PBB Paulina Kubiak seperti dikutip Agence France-Presse.
Pekan lalu Dewan Keamanan (DK) PBB bertemu untuk membahas perkembangan referendum dan klaim Rusia. Namun Rusia memveto resolusi yang digagas oleh AS-Albania tersebut. Di dalamnya disebutkan bahwa referendum itu ilegal dan mendesak semua negara untuk menolak mengakui tanah yang disita. Resolusi itu juga meminta Rusia untuk segera menarik pasukan dari Ukraina.
Pasca veto Rusia, AS mengatakan akan membawa masalah ini ke Majelis Umum. Berbeda dengan DK PBB, di Majelis Umum setiap negara memiliki satu suara dan tidak ada yang memiliki hak veto. Sumber-sumber diplomatik mengatakan sebuah resolusi sedang disusun oleh Uni Eropa (UE) bersama dengan Ukraina dan negara-negara lain. Jika resolusi UNGA tersebut disetujui, itu akan memperjelas tingkat isolasi Moskow di panggung global. (sha/bay)