Seiring waktu, petani karet di Kutai Kartanegara (Kukar) mulai beralih tanam. Kopi yang semula jadi selingan, kini primadona. Omzetnya pun menggiurkan.
ULIL MU’AWANAH, Marang Kayu
[email protected]
RINDONI menuangkan air panas dari ketel ke kertas filter yang diletakkan di dripper. Ketika diseduh bubuk kopi liberika yang telah dihaluskan tersebut, menghasilkan aroma manis alami. Aroma yang keluar memang berbeda dan menambah cita rasa kopi pada umumnya. Tak hanya aroma, cita rasanya membuat orang jatuh cinta.
Transmigran asal Lamongan, Jawa Timur itu adalah Ketua Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru (Kapak Prabu) di Kecamatan Marang Kayu, Kukar. Kelompok tani itu beranggotakan 34 orang. Mulanya, Rindoni memiliki profesi yang sama seperti masyarakat sekitar pada umumnya. Yakni menjadi petani karet.
Setelah menyadap karet ataupun sebelum memulai aktivitas di pagi hari, Rindoni terbiasa memiliki ritual meminum kopi. Kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Lantas suatu hari, pada 1997, dia mendapat bibit kopi kiriman koleganya dari Pulau Jawa. Dia pun tak menyangka, bibit tanaman kopi liberika yang ditanam itu berhasil tumbuh.
“Kopi liberika itu dikirim dari Banyuwangi. Jenis ini ternyata cocok dengan lingkungan di Kaltim. Dulu, banyak orang tak menyangka bahwa kopi ini bisa tumbuh. Tapi, sekarang kami mampu membuktikan dan berhasil memproduksinya,” ujar pria yang merantau ke Desa Prangat Baru pada 1989 itu, pada awak media, Kamis (29/9).
Selain aroma dan cita rasa. Proses pengolahan kopi liberika itu banyak menarik peminat kopi. Tamu terus ramai bertandang untuk melihat proses pemetikan hingga sekadar melihat luwak yang hidup di sekitar kebun kopi tersebut. Awalnya, Rindoni juga tak menyadari bahwa mamalia bernama ilmiah Paradoxurus hermaphroditus tersebut bisa ditemukan di Kukar yang notabene didominasi pertambangan.
Setelah dipelajari, ternyata dia menyadari biji kopi dari kotoran luwak bernilai sangat tinggi. Hewan yang sempat dikira hama itu pun tidak hanya memberikan rasa nikmat pada kopi, tapi juga membantu petani menebarkan benih yang lebih berkualitas. Biji kopi yang dikonsumsi luwak itu bukan pula sembarangan, melainkan pilihan. Lalu dari situlah, ia mulai fokus mengembangkan tanaman kopi dan menjelajahi kebun untuk mencari kotoran luwak.
“Kami ingin mempertahankan ekosistem luwak di sekitar kebun dan membudidayakannya. Sehingga ke depan, luwak bisa lebih jinak dan tidak takut dengan keberadaan manusia. Tamu pun bisa berinteraksi langsung,” tutur Rindoni, mitra binaan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) tersebut. Agar kebun kopi dan lingkungan luwak saling terjaga, sekaligus jadi tempat wisata edukasi menarik di Kaltim.
Biji kopi luwak diolah secara tradisional. Setelah dikumpulkan, biji kopi dicuci, dijemur, dan dipisahkan dari cangkangnya. Kemudian, biji kopi disangrai menggunakan wajan tradisional. Barulah biji kopi dihaluskan dan bisa diseduh untuk dinikmati. Biji kopi utuh juga diperjualbelikan. Prosesnya memang panjang, tetapi hasilnya pun menggiurkan.
Dari 2 hektare kebun miliknya, Rindoni berhasil mengumpulkan 10-15 kilogram biji kopi luwak. Saban kali panen, omzet yang diraih mencapai Rp 45-50 juta. Satu kilogram biji kopi mampu dijual Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Juga tersedia kemasan dari 100 gram yang dijual mulai harga Rp 425 ribu. Rindoni mengaku banyak pula menerima pesanan online dari luar Kalimantan.
Bersama anggotanya, Kelompok Tani Kapak Prabu itu berniat mengembangkan 60 hektare kebun kopi. Bila diakumulasi, potensi panennya menembus 450 kilogram. Yang diperkirakan bisa mencapai omzet sekitar Rp 1 miliar.
“Tidak hanya budi daya luwak, kami berniat mengembangkan tempat tongkrongan outdoor. Agar tamu bisa mencicipi sembari menikmati pemandangan. Adapun tamu yang datang kemari untuk mencicipi kopi masih belum dipatok harga, alias gratis,” bebernya.
Melalui kegiatan Corporate Social Innovation (CSI) Biogreening, Santan Terminal PHKT telah mampu mengolah limbah organik dari mitra perusahaan katering menjadi pupuk kompos Santan Terminal. Pupuk kompos itulah yang dimanfaatkan Kelompok Tani Kapak Prabu. PHKT Daerah Operasi Bagian Utara (Dobu) merupakan bagian dari Zona 10 Pertamina Subholding Upstream Regional 3 Kalimantan.
Program Kapak Prabu itu berhasil menyumbangkan proper emas bagi PHKT pada 2021. Proper emas tersebut pertama kali diraih bagi PHKT di Dobu. Itu adalah program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Rindoni menjelaskan, PHKT datang menawarkan pendampingan dan bimbingan. Sejumlah pelatihan dilakukan, mulai tata cara pembibitan, menjaga agar kopi berbuah dengan baik, cara panen yang benar, tata cara pengolahan dan penyajian kopi, hingga membuat kemasan yang menarik. Sebelumnya, kelompok tani diajak pula mengunjungi Malabar Mountain Café di Pengalengan, Jawa Barat untuk belajar.
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan itu, PHKT membangun fasilitas untuk pembibitan atau nursery, penjemuran biji kopi luwak, dan pengadaan bibit kopi liberika. Yang mana, dampak positif bukan hanya dirasakan masyarakat di desa tersebut, tapi secara lingkungan membantu penyerapan karbon dioksida sebesar 125 ton. Dan bisa menghasilkan atau melepas oksigen ke udara sebesar 80 ton. “Tidak hanya untuk peningkatan ekonomi warga, namun juga bisa memberikan dampak yang positif terhadap alam dan lingkungan,” jelasnya.
Kepala Desa Prangat Baru Fitriati menambahkan, memberdayakan masyarakat daerah, keberadaan kopi luwak menjadi kearifan lokal yang mampu mengangkat perekonomian dan kehidupan masyarakat, serta mengentaskan kemiskinan.
Petani dan masyarakat semakin pula tampak solid. Semakin banyak penikmat kopi luwak yang datang ke sana. Potensi yang luar biasa, membuat orang tak ragu membeli dan memesan meski dari luar pulau.
“Pengelola Pantai Pandawa, Bali saja sudah bikin kerja sama dengan kami. Mereka meminta agar bisa dikirimi biji kopi luwak,” tutur Fitriati. Dirinya menyebut, selain bertani kopi, mayoritas warga di Desa Prangat Baru adalah petani karet dan petani sawit. Berjumlah sekitar 1.196 jiwa dengan 365 kepala keluarga. “Hampir 30 persen memilih menjadi petani kopi,” sambungnya.
Dia mengatakan, curah hujan di Kalimantan tidak menentu dan cenderung tinggi. Yang berdampak pada usaha kebun karet milik warga karena tidak maksimal menghasilkan pemasukan sebab tidak bisa disadap. Maka, banyak petani karet dan sawit yang kini mulai beralih menjadi petani kopi. Apalagi setelah mendapat dukungan dari PHKT.
Sementara itu, Bupati Kukar Edi Damansyah menyebut, karena sudah menjadi potensi daerahnya, upaya pengembangan kebun kopi terus dilakukan. Bersama semua pihak yang ikut terlibat berusaha memastikan Kampung Kopi Luwak berkembang dengan baik. Upaya mendorong perkebunan itu supaya produk kopi di Kukar bisa menjadi besar dan masyarakat yang terlibat juga banyak.
Sebagai bentuk dukungan pemerintah, dilakukan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara Dinas Perkebunan (Disbun) Kukar dengan Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak Prangat Baru pada Januari 2022 lalu. Pemerintah pun memfasilitasi pembentukan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA).
Keberadaan KTPA diharapkan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca seiring tidak adanya pembakaran lahan hingga penanganan saat terjadi kebakaran lahan. “Dampak keberadaan Kampung Kopi Luwak di Kukar sangat besar. Bahkan menjadi ikon daerah, yang diharapkan bisa membuat nama daerah semakin dikenal,” pungkasnya. (rom/k15)