Ikan gabus dan ikan baung di Sungai Mahakam diduga telah tercemar mikroplastik. Dalam satu ikan, rata-rata ditemukan 9 partikel plastik dalam perut ikan gabus ataupun ikan baung.
BALIKPAPAN–Pencemaran mikroplastik diduga terjadi di Sungai Mahakam. Pencemaran mikroplastik tertinggi ditengarai berada di dekat Pelabuhan Samarinda, Jalan Gajah Mada, Kelurahan Pasar Pagi, Kecamatan Samarinda Kota. Dalam 100 liter air, ditemukan sebesar 324 partikel mikroplastik. Temuan tersebut disampaikan peneliti dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) berkolaborasi dengan Komunitas Mahasiswa Peduli Mahakam (KMPM) yang beranggotakan mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Mulawarwan (Unmul) Samarinda.
Penelitian dilaksanakan pada 20–24 September 2022 dengan melakukan uji kualitas air Sungai Mahakam dan pengukuran kadar mikroplastik di enam lokasi. Yakni, Muara Mumus, pertemuan Sungai Karang Mumus dengan Sungai Mahakam, lalu pangkalan Karang Mumus, pangkalan Gerakan Memunggut Sehelai Sampah, Sungai Mahakam di Jalan Gajah Mada, Sungai Mahakam di Loa Janan, Sungai Mahakam di Kutai Lama, dan kawasan pabrik tahu di Sungai Karang Mumus. Rata-rata kontaminasi mikroplastik yang diambil di lokasi tersebut sebesar 163 partikel mikroplastik dalam 100 liter.
“Dari keenam lokasi ini, kandungan mikroplastik paling banyak terdapat di Jalan Gajah Mada. Karena selain berarus kuat, sungainya lebar. Di kawasan ini banyak dijumpai sumber-sumber sampah plastik dari pasar, kegiatan pelabuhan dan sumber sampah plastik dari anak-anak sungai,” kata Prigi Arisandi dari Tim ESN melalui keterangan tertulisnya kemarin (27/9). Dia melanjutkan, mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran kurang dari 5 milimeter yang berasal dari hasil pemecahan sampah plastik. Seperti tas plastik, styrofoam, botol plastik, sedotan, alat penangkap ikan, popok, dan sampah plastik lainnya. Barang tersebut diduga dibuang di aliran Sungai Mahakam.
“Karena paparan sinar matahari dan pengaruh fisik pasang surut, sampah plastik ini akan rapuh dan terpecah menjadi remah-remah kecil,” ungkapnya. Dari temuan tersebut, lanjut dia, jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan di Sungai Mahakam adalah fiber. Fiber merupakan benang-benang plastik atau polyester berasal dari sumber limbah cair domestik dari proses laundry atau cuci pakaian sebesar 71,8 persen. Sedangkan jenis filamen sebesar 23,2 persen. Prigi mengatakan, mikroplastik tersebut sudah mencemari ikan gabus dan ikan baung di Samarinda. Dia pun merujuk pada penelitian Renny Septiana, mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unmul pada 2019 yang menemukan bahwa ikan gabus dan ikan baung telah tercemar mikroplastik dengan rata-rata ditemukan 9 partikel dalam satu ikan.
“Penelitian dengan Judul Analisis Kandungan Mikroplastik pada Ikan Gabus dan Ikan Baung di Samarinda itu dilakukan dengan membedah 28 ikan gabus di Pasar Segiri, Pasar Rahmat, Pasar Sungai Dama, Pasar Palaran, Pasar Wisma, Waduk Benanga, Sungai Mahakam daerah tepian dan daerah Samarinda Seberang. Selain itu, ada 11 ikan baung di Pasar Ijabah, Tepian Mahakam, daerah Samarinda Seberang, dan daerah Palaran,” jabarnya. Dari penelitian tersebut, secara umum peneliti tim ESN melihat ada tiga faktor penyebab pencemaran mikroplastik di Sungai Mahakam.
Yaitu minimnya layanan pengangkutan sampah dari rumah-rumah penduduk ke tempat pengumpulan sampah (TPS) sementara. Karena secara umum kabupaten/kota di Indonesia hanya mampu melayani kurang dari 40 persen penduduk. Sehingga 60 persen penduduk Indonesia tidak terlayani pengangkutan sampah. Kondisi itu membuat masyarakat pada umumnya membakar sampah, menimbun, dan membuangnya ke sungai. Dia menyampaikan, tiap tahun Indonesia membuang 3 juta ton sampah plastik ke laut melalui sungai dan menjadikan Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbesar kedua setelah Tiongkok.
“Di Samarinda, pemerintah hanya menangani sampah dari TPS ke TPA. Sedangkan penanganan sampah dari rumah ke TPS dilayani oleh pihak ketiga yang sulit divalidasi datanya,” terang dia. Selain itu, minimnya kesadaran memilah sampah dan membuang sampah pada tempatnya tergambar dari indeks kepedulian lingkungan penduduk Indonesia masih rendah, yaitu 0,56 dari skala 0–1. Rendahnya kepedulian inilah yang menyebabkan penduduk Indonesia membuang sampah seenaknya, termasuk membuang sampah ke sungai. Sementara faktor terakhir adalah masifnya penggunaan plastik sekali pakai.
“Seperti tas kresek, sedotan, styrofoam, popok, dan botol plastik masih masif digunakan di Samarinda. Sehingga perlu pengendalian penggunaan plastik sekali pakai,” tutur Prigi. Ahli pengelolaan sampah Teknik Lingkungan Unmul Juli Nurdiana menambahkan, ada tiga faktor yang mendorong banyaknya sampah yang menyebabkan munculnya mikroplastik di Sungai Mahakam. Seperti belum adanya TPA sanitary landfill. Adapun yang kondisi di TPA Bukit Pinang saat ini sudah overload. Sedangkan TPA Sambutan juga memiliki akses yang sulit. Faktor lainnya adalah minimnya aspek pengangkutan sampah yang tidak menjangkau semua penduduk Samarinda.
Juga belum tersedianya fasilitas sampah bagi masyarakat sehingga masih banyak dijumpai sampah yang dibuang ke Sungai Mahakam dan anak sungainya. “Karena itu, saya menyarankan agar melakukan pengurangan sampah dari sumber dan mengoptimalkan pengelolaan sampah,” pesan dosen Teknik Lingkungan Unmul itu. (riz/k8)
RIKIP AGUSTANI
[email protected]