Nama-nama anggota Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih Polri teridentifikasi dalam sejumlah kasus ’’kontroversial’’ yang menyasar aktivis hak asasi manusia (HAM) dan tokoh vokal di Indonesia dalam rentang waktu 2019–2021. Berikut laporan hasil kolaborasi Jawa Pos dengan Tirto.id, Project Multatuli, dan deduktif.id.
”SETELAH penangkapan itu, yang paling terpukul adalah keluarga. Terutama, ibu saya yang sudah sepuh,” ungkap Dandhy Dwi Laksono. Dia tidak akan pernah melupakan peristiwa 26 September 2019 itu. Harinya pun dia masih ingat. Kamis. Tepatnya, Kamis malam.
Saat itu, Dandhy baru saja pulang dari kantor Watchdoc Documentary di Jalan Cempaka Dalam, kawasan Pondokgede, Bekasi. Seharian penuh dia mengerjakan editing video bersama sejumlah rekan. Jenuh. Penat.
Sesampai di rumahnya di kompleks Jatiwaringin Asri, juga di Bekasi, pria 46 tahun tersebut hanya ingin secepatnya istirahat. Tapi, sekitar pukul 22.45 WIB, empat pria berbadan tegap menggedor pintu pagar. Mengaku polisi, mereka menyodorkan surat perintah penangkapan.
Di tengah kekalutannya, Dandhy tak kehilangan akal sehat. ”Apa perkaranya?” tanya jurnalis senior itu kepada empat polisi yang bersikeras menangkapnya. Tak ada jawaban.
Dandhy lantas pelan-pelan membaca surat yang tadi disodorkan. Dalam surat itu ada nama Fathurrozi. Lengkap dengan gelar dan jabatannya. Inspektur Dua (Ipda) Fathurrozi Sarjana Hukum (SH).
Si empunya nama menjabat di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya. Tertulis pula nama Ipda Huntal D.M.T. Sibarani SH dalam surat itu. Dia juga berasal dari kesatuan yang sama dengan Fathurrozi.
Proses penangkapan begitu cepat. Hanya dalam waktu sekitar 15 menit setelah menggedor pintu pagar, empat petugas berpakaian preman itu mengeler Dandhy. Tentang duduk perkara, mereka menyebut akan menjelaskannya di kantor polisi.
”Mereka hanya bilang masalah posting-an di Twitter tentang Papua,” terang lelaki kelahiran Lumajang, Jawa Timur, itu.
Dandhy yang sudah letih pun lantas ’’menyerah”. Tiba di gedung Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, dia langsung menjalani pemeriksaan.
Petugas mencecarnya soal unggahan tertanggal 23 September 2019 di akun Twitter-nya. Ketika itu, dia mengunggah utas peristiwa di Papua. Yakni, dugaan aksi represif aparat terhadap mahasiswa dan pelajar di Jayapura dan Wamena.
Dari lima cuitan yang menjadi utas Dandhy, polisi fokus pada poin yang diunggah pukul 13.26 WIB. Ada dua foto di sana. Foto pertama adalah peristiwa di Jayapura. Cuitan Dandhy berbunyi: Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.
Foto kedua adalah peristiwa di Wamena. Bunyi cuitan Dandhy adalah: Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.
Sepanjang pemeriksaan, petugas bergantian meminta keterangan darinya. Namun, dia tidak ingat siapa saja nama-nama petugas tersebut.
Dalam pemeriksaan itu, Dandhy menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan unggahannya. Sebaliknya, penyidik menganggap Dandhy mengunggah hal yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Bahkan, mengandung ujaran kebencian dan isu SARA. Maka, Dandhy dianggap melanggar pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45 A ayat (2) UU Nomor 8/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dhandy bersikukuh bahwa utas tersebut bukan kabar bohong. Dia punya referensi data yang kuat tentang utasnya. Bahkan, dia juga menyertakan tautan berita online yang mengabarkan soal peristiwa tersebut.
”Tapi mereka (penyidik, Red) malah membentak saya dan bilang, ’Kita ini sudah kerja berhari-hari’,” ujar Dandhy menirukan ucapan penyidik.
Tak hanya membentak, petugas juga bermaksud menyita ponsel Dandhy sebagai barang bukti. Namun, Dandhy menolak keras. Apalagi, ketika itu, dia belum didampingi pengacara.
”Lagi pula Twitter saya kan tidak digembok. Cuitan itu bisa dilihat tanpa harus menyita HP saya. Twit saya tidak pernah saya hapus,” ungkapnya.
Di luar gedung Ditreskrimsus, satu per satu sahabat, rekan sesama jurnalis serta aktivis, mahasiswa, dan banyak kalangan lain yang tergerak memberikan dukungan moral kepada Dandhy.
Budiman Sudjatmiko, politikus PDI Perjuangan, termasuk yang lantang meminta Dandhy dibebaskan. Beberapa hari sebelumnya, dia berhadapan dengan Dandhy dalam forum #DebatKeren Nationalism and Separatism: Questions on Papua yang disiarkan di kanal YouTube.
Budiman bersama para kolega dan sahabat ikut begadang menunggui Dandhy yang menjalani pemeriksaan. Penantian berakhir pada sekitar pukul 04.00 WIB. Jumat dini hari itu Dandhy dilepas. Tapi, dia menyandang status tersangka.
Tiga tahun telah berlalu sejak peristiwa penangkapan itu, statusnya pun belum berubah. Tetap tersangka. Selama itu pula, Dandhy tidak pernah sekali pun mendapat surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) dari kepolisian.
Tahun berganti, tapi rentetan pertanyaan di kepala Dandhy tak pernah pergi: apa yang membuat polisi sebegitu semangatnya menjemput dia selarut itu? ”Dari awal memang saya merasa ada yang janggal,” tuturnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyebut penangkapan Dandhy sebagai upaya pembungkaman. Aktivis yang juga jurnalis spesialis film dokumenter sekaligus pendiri Watchdoc itu memang vokal. Dia lantang menyuarakan dugaan pelanggaran HAM di sejumlah daerah. Terutama di Papua.
AJI dan LBH Pers tidak asal saat menyebut apa yang Dandhy alami itu sebagai pembungkaman. Sebab, polisi terang-terangan melanggar prosedur administrasi. Itu mengacu pasal 112 ayat (2) juncto pasal 227 ayat (1) KUHAP.
Dalam aturan itu, sebelum melakukan penangkapan, aparat penegak hukum lebih dulu harus memanggil yang bersangkutan. Itu pun harus melalui prosedur yang patut. Yakni, selambat-lambatnya disampaikan tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan. Bukan langsung melakukan penangkapan seperti yang dialami Dandhy.
Jejak Satgassus Merah Putih
Dokumen dengan kode Sprin/681/III/HUK.6.6./2019, Sprin/1246/V/HUK.6.6./2020, dan Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022 itu berisi ratusan nama polisi. Nomor registrasi pokok (NRP) dan pangkat mendampingi masing-masing nama yang terpampang di sana. Ada perwira tinggi (pati), perwira menengah (pamen), perwira pertama (pama), bintara, dan tamtama.
Ratusan polisi itu tergabung dalam Satgassus Polri. Tugas mereka adalah menyelidik dan menyidik tindak pidana yang menjadi atensi pimpinan di dalam dan luar wilayah Indonesia. Satgassus itu merupakan salah satu satuan nonstruktural dalam tubuh Polri yang rangkaian tugas-tugasnya dibiayai dari anggaran dinas.
Sejak 2019, eksistensi satgassus yang dikenal dengan sebutan Satgassus Merah Putih (MP) itu diperpanjang tiap tahun. Namun, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan satgassus tersebut pada 11 Agustus lalu. Itu seiring posisi Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai kepala satgassus. Sambo terjerat kasus dugaan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Kini dia telah resmi dipecat dan tinggal menunggu proses pidana.
Sambo menjadi pemimpin Satgassus MP sejak 2020. Landasan hukumnya adalah Sprin/1246/V/HUK.6.6./2020 dan Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Sebelum dibubarkan Listyo, Satgassus MP diperkuat oleh 421 polisi aktif lintas pangkat dan jabatan. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyebut Satgassus MP sebagai kelompok polisi elite yang direkrut atas dasar ’’kedekatan”.
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra bahkan menjuluki Satgassus MP sebagai ’’Geng Mabes’’ di Polri. Pernyataan anggota Komisi III DPR Benny K. Harman lebih menohok lagi. Dia menyebut Satgassus MP dibentuk untuk menyukseskan calon presiden (capres) tertentu pada pemilihan presiden (pilpres). Hanya, dia tidak menyebut siapa capres yang dimaksud dan pilpres tahun berapa.
Menghimpun informasi dari berbagai sumber, tim menemukan fakta bahwa Satgassus MP kali pertama dibentuk pada era Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada 2016. Tujuan awal pembentukannya adalah menangani perkara-perkara lintas direktorat di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Namun, dalam perjalanannya, kewenangan satgassus semakin luas.
Merujuk Sprin Satgassus 2019, 2020, hingga 2022, setidaknya ada empat tindak pidana yang menjadi fokus penyelidikan dan penyidikan satgassus. Yakni, tindak pidana peredaran psikotropika-narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), pemberantasan korupsi, serta pelanggaran informasi dan transaksi elektronik (ITE).
Saat dipimpin Sambo, Satgassus MP pernah membongkar kasus penyelundupan sabu-sabu seberat 821 kilogram. Operasi sukses di Serang, Banten, itu berlangsung pada Mei 2020.
Sebulan kemudian, tepatnya pada 4 Juni 2020, kelompok polisi elite itu kembali mengungkap peredaran narkotika jenis sabu-sabu di Sukabumi, Jawa Barat. Beratnya 402 kilogram. Pelakunya ditengarai terafiliasi dengan jaringan Iran.
Pada April 2021, tim gabungan Satgassus MP kembali berhasil menggagalkan penyelundupan sabu-sabu seberat 2,5 ton yang masuk ke Indonesia melalui Aceh. Penyelundupan tersebut ditengarai terafiliasi dengan jaringan Timur Tengah-Malaysia-Indonesia.
Salah satu sumber di kepolisian menyatakan bahwa satgassus dibentuk Tito dengan niat yang baik. Salah satunya adalah mempersingkat proses administrasi dan birokrasi di kepolisian saat menangani berbagai masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.
Satgassus juga dibentuk untuk mendinginkan suhu keamanan yang panas akibat terpolarisasinya masyarakat setelah pilkada DKI Jakarta pada 2017. Ketika itu, kubu pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok begitu berseberangan dengan pihak pendukung Anies Baswedan.
Namun, seiring berjalannya waktu dan membesarnya kewenangan, sumber tersebut melanjutkan, peran Satgassus MP justru melenceng dari tujuan awal. ”Karena tidak ada pengawasan (terhadap Satgassus MP, Red), akibatnya rentan terjadi penyalahgunaan,” ujar sumber yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut.
Tim lantas menelusuri dokumen Sprin Satgassus MP. Ada tiga polisi yang menjadi penyidik dalam perkara Dandhy dan juga anggota Satgassus MP pada 2019 dan 2020.
Yang pertama adalah AKBP Roberto G.M. Pasaribu. Dalam Sprin Satgassus Polri tertanggal 6 Maret 2019, dia menjabat kepala tim (Katim) Sidik I-1. Dalam Sprin Satgassus 2020 atau ketika jabatan Kapolri beralih dari Tito Karnavian ke Idham Azis, nama Roberto kembali masuk dengan jabatan Katim Sidik III.
Ketika itu, pimpinan satgassus adalah Sambo. Jabatannya kala itu adalah direktur tindak pidana umum Bareskrim. Kemudian, di satgassus 2022, Roberto yang sudah berpangkat Kombespol menjadi bagian tim asistensi wilayah.
Kompol Adri Desas Furyanto, penyidik lain dalam kasus Dandhy, juga tercatat sebagai anggota Satgassus MP 2019. Nama Adri tercantum dalam surat perintah penangkapan nomor SP.Kap/461/xxxx/2019/Ditreskrimsus yang menjadi landasan hukum penangkapan Dandhy. Secara struktural, Adri berada di bawah naungan Tim Sidik I-1 atau anak buah Roberto kala itu.
Bukan hanya itu, Ipda Huntal yang ikut dalam penangkapan Dandhy juga anggota Satgassus MP 2020. Huntal anggota Tim Sidik III, di bawah Roberto. Huntal juga tercatat dalam Sprin Satgassus 2022 sebagai anggota Tim Sidik III, dengan pangkat iptu.
”Ini jelas ngawur sekali, karena apa yang terjadi pada saya itu ngawur,” ujar Dandhy ketika tim memaparkan hasil temuan berdasar riset dokumen.
Satu lagi pertanyaan menggelayut di benaknya. Apa relevansi Satgassus MP dengan kasusnya pada September 2019?
Bukan hanya kasus penangkapan Dandhy. Tim juga menemukan jejak Satgassus MP dalam kasus-kasus lain. Pertama, kasus dugaan korupsi dana Kemah dan Apel Pemuda Islam Indonesia 2017. Dalam kasus itu, Ahmad Fanani menjadi tersangka pada Juni 2019 lalu.
Fanani merupakan eks bendahara Pemuda Muhammadiyah yang punya kedekatan personal dengan Koordinator Jubir Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 Dahnil Anzar Simanjuntak. Dia juga tercatat sebagai calon ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PPPM) dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVII di Jogjakarta pada November 2018.
Seperti Dandhy, penyidikan kasus Fanani pun terkatung-katung sampai sekarang. Sampai lebih dari tiga tahun kemudian, statusnya pun masih tersangka. Tidak ada kejelasan dari pihak kepolisian, baik itu berupa SP2HP maupun dokumen pemberitahuan lain. ”Ini tentu masalah serius buat Polri,” ungkap Fanani.
Mendapati kasus Dandhy dan Fanani yang berkaitan dengan Satgassus MP, tim melanjutkan investigasi. Tim menemukan tiga nama anggota Satgassus MP yang identik dengan nama penyidik kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Penyelidikan dan penyidikan itu bergulir pada 2019–2020.
Semua itu semakin menajamkan pertanyaan, apa relevansi Satgassus Merah Putih dengan indikasi rekayasa kasus dan kriminalisasi aktivis dan tokoh-tokoh vokal?
Tim telah mencoba meminta konfirmasi Tito Karnavian (Kapolri periode Juli 2016 hingga Oktober 2019), Idham Azis (Kapolri periode 1 November 2019 hingga 27 Januari 2021), dan Divisi Humas Polri untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, hasilnya nihil.
Tito, yang saat ini menjabat menteri dalam negeri (Mendagri), belum memberikan respons atas surat permohonan wawancara yang tim sampaikan. Upaya yang sama juga tim lakukan untuk mendapatkan jawaban dari Idham Azis. Namun, juga belum mendapat jawaban. Sementara Divhumas Polri yang tim datangi pada Rabu (21/9) lalu belum mau memberikan jawaban apa pun.
Kabag Penum Kombespol Nurul Azizah yang menerima kedatangan tim mengatakan, pihaknya perlu berkoordinasi dengan atasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait satgassus tersebut. Namun, hingga berita ini diturunkan, Nurul belum memberikan kabar kepada tim tentang hasil koordinasi yang dimaksud.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur mengatakan, pertanyaan-pertanyaan lain yang harus dijawab adalah terkait pendanaan satgassus selama ini. Menurut dia, setiap operasi penanganan perkara membutuhkan biaya yang tidak sedikit. ”Operasi itu (penyelidikan dan penyidikan, Red) kan mahal. Dari mana biayanya?” ujarnya. (*/tyo/c17/ttg)