Saking cintanya dengan pendakian, ada yang menjuluki Reyner Valiant Tumbelaka ’’dokter pendaki” dan ’’pendaki nyambi dokter”. Selain beragam bahasan di platform edukasinya, mulai cara merawat luka, bantuan hidup dasar, sampai transportasi korban, dia mengadakan kelas-kelas khusus secara gratis untuk para pencinta alam.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
PENDAKI yang kakinya patah itu lumayan ’’berbobot”. Hampir 100 kilogram berat badannya. Reyner Valiant Tumbelaka menjumpainya dalam perjalanan turun dari puncak Merbabu, gunung yang wilayahnya tersebar di tiga kabupaten di Jawa Tengah: Magelang, Boyolali, dan Semarang.
Dengan segera Reyner memberikan pertolongan. Dokter 32 tahun itu membantu memasang bidai dengan memanfaatkan ranting-ranting kayu. Lalu, memerban kaki pendaki itu dengan menggunakan elastic bandage dan memberikan obat nyeri. Sesudahnya, pendaki tersebut dievakuasi ke pos terdekat.
’’Saya setiap mendaki selalu membawa alat P3K lengkap. Jadi, ketika menjumpai pendaki yang butuh pertolongan, saya bisa membantu,” kata dokter spesialis ortopedi dan traumatologi yang berdinas di Rumah Sakit Mayapada Surabaya itu.
Ada teman-teman dan kolega yang memanggilnya ’’dokter pendaki”. Ada pula yang menjulukinya ’’dokter yang nyambi pendaki”. Sebagian lainnya menyebutnya ’’pendaki nyambi dokter”.
Mana saja tak masalah bagi Reyner. Sebab, dia memang mencintai dua dunia itu: kedokteran dan pendakian. Saat libur singkat pada Agustus lalu, misalnya, Reyner memanfaatkannya untuk mendaki Gunung Agung di Bali. Gunung setinggi 3.145 mdpl itu berhasil dia daki –naik dan turun– dalam sehari tanpa menginap atau berkemah.
Pertautan dua dunia itu dimulai dari ajakan seorang senior ketika Reyner masih menjalani pendidikan kedokteran sekitar 6–7 tahun lalu. Gunung pertama yang didaki putra pasangan Marsma TNI (pur) dr Benny Hosiana Tumbelaka SpOT SpKP MARS MHKes dan dr Mieke AHN Kembuan SpS (K) tersebut adalah Gunung Batur yang juga berlokasi di Pulau Dewata.
Pria kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara, itu langsung jatuh cinta pada pendakian begitu selesai menggapai puncak Batur setinggi 1.717 mdpl. ’’Setelah itu, mulailah sering mendaki gunung-gunung lain di Indonesia,” ujarnya.
Berbagai gunung di Jawa Timur telah dia daki. Juga, sebagian besar gunung di Jawa Tengah serta sejumlah gunung di berbagai provinsi di tanah air. Bagi dia, setiap gunung memiliki kekhasan tersendiri. Trek yang ekstrem menuju puncak adalah bonus surga alam.
’’Gunung Raung (di Banyuwangi) paling berkesan. Treknya sangat ekstrem,” kata laki-laki yang juga hobi bermain basket itu.
Reyner menyebut, mendaki bukanlah ambisi. Tidak ada target tertentu untuk bisa menggapai seluruh gunung yang ada di Indonesia. Mendaki semata bentuk kecintaannya terhadap alam dan kegiatan luar ruang.
Atau dalam bahasa Sanento Yuliman dalam puisi yang ditulisnya untuk Soe Hok Gie, mereka yang mendaki puncak-puncak gunung adalah ’’mereka yang mencintai udara bersih, yang mencintai terbang burung-burung, dan yang mencintai bumi”.
Pengalaman panjang pendakian itu pula, ditambah latar belakangnya sebagai dokter, yang membuat Reyner menaruh perhatian besar kepada para pendaki pemula yang minim pengetahuan mendaki. Apalagi, tingkat angka kecelakaan terkait mountaineering setahunya cukup tinggi. Termasuk yang dijumpainya di Merbabu pada 2019 tadi.
Di matanya, kecelakaan di gunung sejatinya tidak akan terjadi kalau para pendaki memiliki bekal pengetahuan yang tepat tentang berkegiatan di alam bebas. Itulah yang kemudian mendorong Reyner mengambil peran untuk mengedukasi tentang berbagai hal terkait kegiatan luar ruang.
Tentu sesuai dengan apa yang diketahuinya berdasar pengalaman dan keahliannya sebagai dokter. Edukasi tersebut diwujudkan dalam sebuah platform sosial media Instagram @Dokterpendaki.
’’Awalnya saya coba edukasi-edukasi kecil tentang kegiatan outdoor. Eh, banyak yang support dari banyak komunitas para pendaki, ada juga dari APGI (Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia) dan komunitas pencinta alam,” ucap alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya itu.
Platform edukasi tersebut digagas sejak Agustus 2020. Edukasi yang diberikan selalu berbasis ilmiah. Pembahasan mengenai kegiatan outdoor dikemas secara profesional dalam bahasa yang mudah dipahami khalayak.
’’Dengan latar belakang saya sebagai dokter spesialis ortopedi dan traumatologi, saya beri pengetahuan tentang pencegahan hingga penanganan korban ketika dalam pendakian,” katanya.
Edukasi dimulai dari hal-hal yang umum. Mulai perawatan luka, penanganan keram, luka bakar, bantuan hidup dasar, hingga spesifik acute mountain sickness, juga transportasi korban di tengah pendakian. Tidak hanya itu, Reyner juga berupaya memberikan pencerahan kepada para pendaki terkait dengan sejumlah mitos yang erat kaitannya di dalam pendakian.
Dia juga menggandeng para dokter spesialis yang kompeten dalam membahas mitos-mitos tersebut. ’’Contohnya tentang kesurupan, hipotermia, dan mengusir ular dengan garam. Semua itu bisa dijelaskan secara ilmiah,” jelas anak kedua di antara tiga bersaudara tersebut.
Reyner menggelar pula kelas-kelas khusus bagi pencinta alam. Semuanya tanpa memungut bayaran. Saat ini platform Dokter Pendaki di Instagram yang dikelolanya itu sudah berkembang pesat. Dalam kurun waktu dua tahun, pengikutnya mencapai lebih dari 16 ribu. ’’Dari sini, saya juga kerap diminta mengisi webinar atau seminar di kampus-kampus tentang outdoor medicine,” tutur dia.
Bahkan, Reyner juga kerap berkolaborasi dengan para pakar di dunia kesehatan maupun para pencinta alam untuk mengedukasi masyarakat. Sebulan lalu, misalnya, dia juga diajak akademisi Rocky Gerung menjadi pembicara sekaligus mendaki gunung bersama. Yang terbaru, dia diminta memberikan materi tentang outdoor medicine di STAN dan IKA UI yang berencana mendaki 7 gunung tertinggi di Indonesia dalam 77 hari.
Cita-cita lainnya, bisa mendaki tujuh puncak tertinggi di dunia alias seven summits. ’’Khususnya, Gunung Everest di Nepal,” ujarnya. (*/c7/ttg)