Perjalanan ke Kota Singkawang, Kalimantan Barat, begitu berkesan bagi Johantan Alfando Wikanda Sucipta. Keindahan akulturasinya membuat akademisi Universitas Mulawarman ini sulit melupakan memori perjalanan ke Kota Seribu Kelenteng.
CATATAN PERJALANAN: JOHANTAN ALFANDO WIKANDA SUCIPTA
DI tengah padatnya agenda pengajaran di sana, saya menyempatkan menikmati lawatan ke Kota Singkawang. Hanya memiliki jeda waktu saat malam, saya berkesempatan menikmati momen berkunjung ke Pasar Hong Kong.
Dari namanya bisa tergambarkan kehidupan di dalamnya. Suasananya membuat kita seolah sedang berada Tiongkok. Bangunan berwarna merah cerah dengan deretan lampion senada. Porselen hingga aksesori di sana, semua bernada Tiongkok. Masyarakat yang beraktivitas di sana juga mayoritas keturunan Tionghoa.
Menurut cerita, masyarakat Tionghoa di sana berasal dari penduduk Singapura dan Malaysia yang menetap di sana. Ya, Malaysia sangat mudah dijangkau dari Kota Singkawang. Hanya tiga jam untuk ke Aruk, tempat di mana terdapat pos lintas batas negara (PLBN) Indonesia-Malaysia. Tersedia pula bus yang siap mengantar melintasi perbatasan ke negeri jiran.
Selama berkunjung ke Kota Singkawang, tidak lengkap rasanya bila tidak mencicipi kuliner khasnya. Tapi, dari sekian banyak pilihan, saya hanya sempat mencicipi kopinya yang khas. Dan salah satu minuman tradisionalnya. Minuman berkarbonasi berkemasan botol. Sepintas, rasanya seperti root beer.
Banyak hal mengesankan yang saya temui selama di sana. Dimulai dari perjalanan menuju Kota Singkawang yang lurus dan tak berelevasi. Saya katakan ke teman-teman pencinta road biker, itu adalah rute yang sangat menarik. Dari Pontianak, membutuhkan waktu setidaknya empat jam perjalanan ke Kota Singkawang.
Berada di daerah pesisir yang menghadap ke Kawasan Laut Natuna, pemerintah di sana menatanya dengan baik. Untuk mencegah kerusakan alam, hutan bakau alias mangrove dibiarkan berkembang biak di bibir pantai. Dikelilingi pula oleh perbukitan karst, mereka melarang adanya eksploitasi kawasan tersebut.
Hal menarik berikutnya adalah soal akulturasi budayanya. Arsitektur khas Tiongkok itu kemudian melebur dengan agama lain di sana. Masjid pun tidak lepas dari sentuhan Tiongkok. Mengingatkan Masjid Laksamana Cheng Ho di Samarinda.
Selain Tionghoa, terdapat kawasan tersebut dihuni oleh masyarakat Melayu dan Dayak. Bahkan hingga muncul istilah Cindayu, akronim dari Cina, Dayak, Melayu. Sekarang sudah jadi Tidayu, yang berarti Tionghoa, Dayak, Melayu.
Yang menjadi salah satu magnet terbesar di Kota Singkawang yakni event seperti Tahun Baru Tiongkok atau Cap Go Meh yang digelar beriringan. Setiap event tersebut, Kota Singkawang selalu penuh dengan orang yang merayakannya. Pusat peribadatan terbesar dan tertua di sana, Bernama Vihara Tri Dharma Bumi Raya, jadi episentrum lokasi pelaksanaannya.
Salah satu tujuan masyarakat adalah melempar koin di jembatan. Aktivitas lempar koin itu disertai harapan agar segala doa-doanya tercapai. Ingin sekali kelak ketika event tersebut terlaksana, saya bisa di sana, untuk turut menikmati keseruan selama di sana.
Sebelum ke Kota Singkawang, saya juga sempat menyambangi Tugu Khatulistiwa di tengah perjalanan dari Pontianak. Tugu barunya. Karena pergeseran sumbu bumi membuat titik tengah ekuator bergeser. Membuat pemerintah membuat tugu baru. Di garis ekuator, telur yang diberdirikan tidak akan terjatuh. Itu sudah tidak berlaku lagi di tugu lama. Hanya bisa dilakukan di sekitar tugu baru. (ndy/k8)