Oleh; Eko Listiyanto*
Wakil Direktur Indonesia for Development of Economics Finance
Tren pergerakan inflasi memang diperkirakan akan lebih meningkat hingga akhir tahun ini. Peningkatan itu lebih tinggi jika dibandingkan tren-tren tahun lalu. Alasannya, pertama karena ada kenaikan harga BBM yang berdampak pada inflasi.
Kedua, walaupun harga pangan sudah tidak pada peak-nya, tapi memang cukup tinggi, apalagi kalau dibandingkan posisi tahun lalu. Faktor-faktor itu yang membuat inflasi hingga akhir tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo juga menyentil lima kabupaten/kota dengan inflasi tinggi di atas 7 persen. Kondisi itu pun membuat pemerintah mendorong daerah-daerah menekan inflasi hingga di bawah 5 persen. Menurut saya, harapan inflasi di bawah 5 persen itu sulit terwujud di tahun ini.
Memang ada kompensasi yang diberikan pemerintah, baik itu bansos ataupun dana insentif bagi daerah yang bisa menanggulangi inflasi. Tapi dampak kenaikan harga BBM itu memang signifikan. Untuk menurunkan kembali inflasi tentu tidak bisa langsung seketika. Perlu waktu beberapa bulan. Efeknya baru netral biasanya baru sekitar tiga atau empat bulan dari sekarang. Jadi, ya, sampai akhir tahun ya masih tinggi.
Dari kondisi itu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi sepanjang tahun ada di kisaran 5,2 persen. Kalau dugaan saya justru bisa lebih tinggi dari itu. Bisa tembus 6 persen. First row-nya bisa di September ini tembus 7 persen, lalu Oktober second row masih ada kenaikan harga pangan.
Berikutnya, ketika efek dari BBM sudah melandai, di saat yang bersamaan kita akan ketemu dengan libur Natal dan tahun baru. Nah, biasanya Nataru di Desember itu lebih tinggi dari November. Jadi inflasinya akan terkerek lagi.
Jadi itulah gambarannya, sehingga kalau target pemerintah inflasi di bawah 5 persen akan sangat sulit tercapai.
Bagaimana dengan tahun depan? Nah ini agak berbeda. Kalau melihat situasi global pada 2023, kemungkinan ada negara-negara yang resesi. World Bank pun sudah memperkirakan hal itu. Sehingga, kalau ada resesi di eksternal, RI akan terpengaruh.
Nah RI justru inflasinya akan lebih rendah pada 2023. Memang sampai Desember 2022 inflasi tinggi. Tapi 2023 kalau ekonomi global lebih suram, pasti permintaan akan turun. Bukan inflasi yang akan terjadi, tapi justru deflasi. Itu (deflasi) juga yang didorong global kan, tapi saya sendiri menduga tidak sampai deflasi, masih inflasi meski tidak setinggi 2022.
Kondisi inflasi tinggi yang terjadi saat ini membuat pemerintah dan regulator terus bekerja keras menurunkan inflasi, terutama melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Kalau dilihat secara kelembagaan, TPID ini cukup strategis. Karena anggotanya lintas kementerian dan lembaga. Ini organisasi dalam konteks kelembagaannya powerful dalam mengendalikan harga.
Tapi, kadang problem di daerah itu lebih banyak terjadi karena supply and demand tidak imbang. Ada daerah-daerah tertentu yang defisit pada produk-produk tertentu, meski ada TPID yang secara kelembagaan bagus dan berjalan, tapi kan ujung dari problem di daerah itu sebetulnya tentang kecukupan produk terkait. Hal ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan koordinasi melalui TPID.
Adanya problem seperti itu biasanya hanya bisa diselesaikan dengan mendatangkan pedagang atau produsen yang bisa mensuplai secara cukup. Sementara itu, sejauh ini kan mekanisme TPID hanya kepada hal-hal yang bisa dikendalikan pemerintah, sehingga peran pedagang atau pelaku usaha minim. Menurut saya saat ini tantangan TPID ada di situ. (dee/jpg/dwi/k8)
*)Disarikan dari wawancara dengan Jawa Pos