Christa Wongsodikromo kini bisa bernapas lega. Setelah puluhan tahun terpisah, akhirnya dia bisa bertemu dengan keluarganya di Indonesia. Christa menemukan mereka di Desa Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
SEPTIAN NUR HADI, Surabaya
PERTEMUAN itu bermula dari informasi sang paman pada 2013. Tepat saat Christa berusia 20 tahun. Pamannya memberi tahu bahwa Christa masih memiliki saudara selain di Suriname dan Belanda. Mereka merupakan generasi pertama dari keluarganya tersebut. Yakni, buyut atau orang tua nenek dari ayah Christa.
Berdasar informasi, mereka berada di Indonesia. Namun, lokasi tepatnya belum dapat dipastikan. Masih sebatas kepingan-kepingan layaknya puzzle. ’’Jadi, harus dilengkapi agar menjadi informasi yang utuh,’’ kata Christa di Museum Sepuluh Nopember pada Minggu (4/9) pekan lalu.
Informasi tak lengkap itu pun didalami. Memanfaatkan jaringan aktivis sejarah kolonial Belanda-Suriname-Indonesia, Christa menanyakan informasi terkait keberadaan warga Suriname di Indonesia. Dia pun mendapat jawabannya sesuai yang diharapkan. Untuk memastikan, Christa terbang dari Belanda ke Jakarta.
Sesampai di Indonesia, dia langsung memulai pencarian. Ketika itu, Christa hanya memiliki dokumentasi foto buyutnya. Untuk memperoleh informasi lebih, Christa kerap mengunjungi museum-museum di Indonesia. Termasuk berkomunikasi dengan mahasiswa Suriname yang berkuliah di Indonesia.
Namun, usaha perdananya itu belum menuai hasil manis. Keberadaan keluarga tak juga ditemukan. Kewajiban terhadap pekerjaan mengharuskan dia kembali ke Belanda.
Meski terpisah jarak antara Belanda dan Indonesia, penelusuran informasi demi menemukan keluarga terus Christa lakukan. Beberapa fakta baru pun berhasil dia dapat. Pada pertengahan 2019, Christa mendapatkan informasi bahwa keluarga generasi pertamanya berada di Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri. Buyutnya bernama Wongsodikromo.
Christa pun kembali ke Indonesia dan menuju lokasi sesuai informasi. Dia datang dengan translator. Yakni, mahasiswa asal Suriname yang tengah belajar di Indonesia karena Christa tidak bisa berbahasa Indonesia.
’’Setelah lima tahun mencari, akhirnya aku bisa bertemu dengan mereka (keluarga di Indonesia). Walaupun buyut sudah meninggal. Yang tersisa hanya sanak saudara dari generasi pertama. Tapi, itu sudah lebih dari cukup,’’ kata perempuan kelahiran Belanda, 25 Desember 1993, tersebut.
Meski baru bertemu, Christa sudah merasa sangat dekat dengan keluarga di Indonesia. Perlakuan mereka membuatnya nyaman. Begitu pun para warga setempat. Mereka sangat ramah dan terbuka. Menerima dengan tangan terbuka. Tanpa melihat dan mempermasalahkan dari mana Christa berasal.
’’Masyarakatnya ramah-ramah. Baru ketemu, aku sudah diajak makan bersama. Makan makanan khas pecel lele dengan sambal yang cukup pedas,’’ ujar Christa, lantas tersenyum.
Meski merasa sangat betah, Christa tak bisa berlama-lama tinggal di rumah keluarga buyut. Dia harus segera kembali ke Belanda. Sebelum pulang, Christa menyempatkan waktu berziarah ke makam sang buyut. Sedikit tanah dari makam buyutnya diambil dan dibawa ke Suriname. Hal itu dilakukan atas permintaan keluarga besar di sana.
Sesampai di Suriname, tanah makam itu dicampurkan dengan tanah makam para leluhur lainnya. Sebelum meninggal, para leluhur di Suriname mempunyai keinginan untuk berkunjung ke tanah Jawa di Indonesia. Namun, keinginan itu tidak kesampaian. Percampuran tanah makam tersebut merupakan simbolis penyatuan keluarga.
’’Percampuran tanah untuk memenuhi keinginan almarhum serta mengobati rindu datang ke Indonesia waktu mereka masih hidup,’’ kata aktivis sejarah kolonial Belanda-Suriname dan Indonesia tersebut.
Sebagai tanda bagian dari keluarga Wongsodikromo, Christa menambahkan nama itu sebagai nama belakang. Namanya menjadi Christa Wongsodikromo. Sebenarnya Christa berencana kembali pulang kampung ke Indonesia pada 2020. Namun, pandemi Covid-19 membuat keinginannya itu tertunda.
Christa baru bisa kembali Agustus tahun ini. Hampir sebulan Christa tinggal di rumah sang buyut. Banyak momen berharga yang dirasakannya. Selain mencicipi berbagai kuliner khas Jawa Tengah, Christa mendapatkan kesempatan merasakan kemeriahan kemerdekaan Indonesia.
Beragam lomba perayaan kemerdekaan dilihatnya. Misalnya, lomba makan kerupuk, balap karung, dan panjat pinang. Semua peserta terlihat sangat bahagia. Selama menonton, Christa tak henti-hentinya tertawa. ’’Sangat seru dan lucu sekali. Selain semangat untuk memenangi permainan, peserta sangat kompak,’’ ucapnya.
Mereka juga tolong-menolong. Seperti halnya yang dilakukan warga dalam kehidupan sehari-hari. Berbagi satu sama lain. Bersikap ramah dan tidak melihat seseorang dari latar belakang. Itulah yang membuat Christa selalu rindu untuk datang ke Indonesia lagi dan lagi. (jpc)