SAMARINDA–Lima terdakwa penerima suap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap bupati Penajam Paser Utara (PPU), Januari lalu, dinilai tidak berterus terang atas penerimaan gratifikasi atau suap dari fee perizinan dan proyek infrastruktur. Penyangkalan itu jadi pertimbangan yang membuat lima terdakwa, dituntut JPU KPK dengan besaran pidana penjara di atas empat tahun.
“Para terdakwa bahkan banyak menyangkal meski fakta-fakta yang terungkap di persidangan menyatakan pungutan fee dari perizinan dan suap di Pemkab PPU sepanjang 2020-2021 benar terjadi,” ungkap JPU KPK Ferdian Adi Nugraha membaca tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Senin (22/8).Terdakwa Abdul Gafur Mas’ud (bupati nonaktif PUU) misalnya. Dia mengelak pernah menerima sejumlah fulus dari beberapa pihak hasil pungutan fee perizinan dan proyek di PPU.
Setidaknya, dari keterangan saksi dan 447 barang bukti yang terungkap di persidangan, lanjut dia, ada sekitar Rp 4,1 miliar yang diterima AGM sepanjang 2020-2021. Uang tersebut berasal dari Muliadi (mantan Plt Sekkab PPU), Asdarussalam alias Asdar (orang dekat AGM), Edi Hasmoro (mantan kepala Dinas PUPR PPU), dan Jusman (mantan kepala Bidang Sarana dan Prasarana Disdikpora PPU). Salah satunya, penerimaan sebesar Rp 500 juta dari Asdarussalam pada 2020. Uang itu merupakan fee proyek lanskap di depan kantor Bupati PPU dari Ahmad Zuhdi, penyuap dalam kasus ini yang telah diadili dengan vonis selama 2 tahun 3 bulan pidana penjara.
“Padahal dalam persidangan, baik Asdar mau pun Ahmad Zuhdi membenarkan adanya pemberian tersebut,” lanjutnya membaca berkas tuntutan setebal 989 halaman.
AGM hanya mengakui adanya penerimaan uang sekitar Rp 1,95 miliar sepanjang Desember 2021-Januari 2022. Rp 1 miliar diterimanya dari Asdarussalam medio Desember 2021. Ketika AGM mengikuti Musda Demokrat Kaltim di Samarinda. Itu pun diklaim AGM merupakan pinjaman dari kenalan Asdar. AGM baru mengetahui uang itu berasal dari Zuhdi yang dicomot dari rekening Korpri PPU.
Untuk cuan Rp 950 juta yang diterima AGM dan menjadi bukti ketika tertangkap tangan di Plaza Senayan, Jakarta pada 13 Januari 2022, diketahuinya merupakan bantuan dari para pejabat untuk dirinya dalam suksesi ketua DPD Demokrat Kaltim. Yakni dari Muliadi, Edi Hasmoro, dan Syamsuddin alias Aco, bendahara Demokrat PPU.
Sementara di persidangan ketika pemeriksaan saksi mahkota, Muliadi dan Edi Hasmoro kompak membantah hal tersebut. Uang itu bukanlah bantuan, melainkan kebutuhan dana operasional bupati yang diminta Asdarussalam.
Muliadi menyetor Rp 200 juta dari fee perizinan prinsip, pertambangan, dan pelabuhan se-PPU. Edi Hasmoro memberi sebesar Rp 500 juta yang dipungutnya dari beberapa rekanan yang mendapat proyek di Dinas PUPR PPU. “Hanya terdakwa Jusman yang membenarkan jika dirinya tak pernah berkomunikasi langsung dengan AGM. Uang Rp 250 juta yang diberikannya merupakan permintaan Syamsudin alias Aco yang diketahuinya merupakan salah satu orang dekat bupati,” ulasnya. Semua pemberian itu memang tak langsung diterima AGM, melainkan masuk ke dua rekening pribadi terdakwa Nur Afifah Balgis.
Namun, hal ini juga dibantah Afifah. Padahal fakta yang terungkap, setiap setoran ke AGM masuk ke rekening Afifah, selalu ada pemberitahuan dari pihak tertentu, baik dari Asdar atau Muliadi. Bahkan ada pemberian uang tunai sebesar Rp 500 juta dari Muliadi yang juga dibantah Afifah. AGM juga membantah jika dirinyalah yang memerintahkan untuk memungut sejumlah fee sebesar 5-10 persen dari proyek infrastruktur dan fee perizinan. Dengan begitu, JPU KPK menilai penyangkalan ini menjadi hal memberatkan untuk keduanya.
“JPU meminta majelis hakim untuk memutus perkara ini dengan memberikan pidana penjara selama 8 tahun untuk terdakwa AGM dan pidana penjara selama 5 tahun 6 bulan untuk terdakwa Afifah,” jelasnya. Untuk tiga ASN yang terseret dalam kasus ini, JPU meminta majelis hakim untuk menjatuhkan 6 tahun pidana penjara untuk Muliadi dan Edi Hasmoro. Sementara Jusman selama 5 tahun. (selengkapnya baca info grafis). Ulah kelimanya yang bersama-sama mengatur dan menikmati sejumlah uang dari rekanan atau investor yang hendak mengurus izin di PPU, dinilai JPU tak mendukung kebijakan pemerintah yang bersih dari KKN.
Perbuatan itu pula sesuai dengan dakwaan kesatu yang diajukan JPU pada 8 Juni 2022, yakni Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dalam UU 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1KUHP. Kelimanya juga dikenai denda Rp 500 juta subsider 6 bulan pidana kurungan. “Untuk terdakwa AGM, kami meminta majelis hakim untuk mencabut hak politik terdakwa selama 5 tahun sejak pidana dijalankannya ketika inkrah,” tukasnya. Selepas tuntutan dibacakan, kelima terdakwa beserta kuasa hukumnya meminta waktu dua pekan untuk mengajukan pledoi atau pembelaan. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Jemmy Tanjung Utama bersama Hariyanto dan Fauzi Ibrahim mengabulkan permintaan tersebut dan mengagendakan persidangan kembali digelar pada 5 September 2022. (riz/k16)
ROOBAYU
[email protected]
Mereka yang dituntut KPK dalam pusaran korupsi di Pemkab PPU
Abdul Gafur Mas’ud (bupati nonaktif PPU)
Dituntut: 8 tahun pidana penjara
Denda: Rp 300 juta subsider 6 bulan pidana kurungan
Uang pengganti: Rp 4,179 miliar subsider 3 tahun pidana penjara
Nur Afifah Balgis (Bendahara DPP Demokrat Balikpapan)
Dituntut: 5 tahun 6 bulan pidana penjara
Denda: Rp 300 juta subsider 6 bulan pidana kurungan
Muliadi (mantan Plt Sekkab PPU)
Dituntut: 6 tahun pidana penjara
Denda: Rp 300 juta subsider 6 bulan pidana kurungan
Uang pengganti: Rp 410 juta subsider 3 tahun pidana penjara
Edi Hasmoro (mantan Kepala Dinas PUPR PPU)
Dituntut: 6 tahun pidana penjara
Denda: Rp 300 juta subsider 6 bulan pidana kurungan
Uang pengganti: Rp 557 juta subsider 3 tahun pidana penjara
Jusman (mantan kepala Bidang Sarana dan Prasarana Disdikpora PPU)
Dituntut: 5 tahun pidana penjara
Denda: Rp 300 juta subsider 6 bulan pidana kurungan
Uang pengganti: Rp 53 juta subsider 1 tahun pidana penjara
Sumber: Tuntutan JPU KPK di Pengadilan Tipikor Samarinda, Senin (22/8).