Oleh: Shanti Agustiani
Hampir larut malam, Amar belum juga mengantuk. Asyik saja dia lanjutkan chat dengan Angelica Syahputra, gadis bermata soft lens biru yang alisnya seperti barisan semut hitam melengkung seiring senyumnya yang seperti ombak kecil yang menggelitik jantung, lesung pipinya pusaran air yang membuat hati tersesat parah, rambutnya hitam panjang bergelombang.
“Tuh lihat tuh Angel cantik ‘kan,” pamernya kepada Sutinah, cleaning service di tempatnya bekerja selama sepuluh tahun.
“Cantik sih cantik tapi gak bisa dipegang, coba aku … seksi … semok … rajin, bisa dijawil juga,” ujar Sutinah melenggangkan pinggulnya di depan Amar yang acuh tak acuh sembari mengibaskan tangannya.
“Jauh-jauh sana ke laut, orang lagi asyik pacaran. Ganggu aja.”
Sutinah cekikikan dan membereskan peralatan pelnya ke gudang.
“Maaf ya tadi ada iklan lewat.”
“Nah…nah…siapa? Bang Amar jangan nakal ya.”
“Gak lah. Angel gak ada duanya buat Abang.”
“Angel…angel…urip kok digae angel ae mas.”
Dari gudang Sutinah masih berteriak mengusili Amar.
***
Demikianlah hari demi hari hubungan Amar dan Angel semakin erat meskipun terpisahkan jarak. Angel nun jauh di Balikpapan dan Amar di Pekanbaru, Riau.
“Jadi gimana, Bang Amar? Kita tinggal urus akad nikah dan resepsi di Balikpapan ‘kan? Cepatlah Bang Amar ke sini, cepat juga transfer uang mahar dua puluh lima juta Abang.”
“Iya sebentar Abang transfer. Maaf ya cuma segitu Abang mampu.”
“Gapapa Abang, sebenarnya total satu miliar untuk biaya pernikahan kita. Tapi tenang aja, udah di-back up papi.”
“Iya, Dik Angel.”
Amar terngiang kembali suara papi Angel yang bariton dan berdialek asing. Kata Angel, papinya blasteran Australia, wajarlah anaknya secantik Angelica. Amar merasa sangat beruntung gadis secantik Angel mau menikah dengannya yang hanya bekerja sebagai OB sekaligus admin di Guest House Pekanbaru. Amar akhirnya merelakan uang yang ditabungnya selama bertahun-tahun untuk mengirimi Angel sekadar membantu persiapan biaya pernikahan mereka.
“Papi kan temannya elite, tamunya harus dijamu secara istimewa.” Begitu kilah Angel ketika Amar mengusulkan sebuah pesta pernikahan yang sederhana.
“Oh iya ya.”
“Iya lah. Lagian nanti kan Abang diberikan jabatan di perusahaan papi.”
Amar kembali mengiakan. Ia lantas pamitan cuti seminggu kepada bosnya untuk melamar Angel sekaligus menggelar pesta pernikahan di Balikpapan. Sedangkan untuk pindah kerja seperti yang dijanjikan papi Angel, Amar masih harus memastikan dulu segala sesuatunya menyangkut pengabdiaannya di Guest House yang mesti diselesaikan dengan baik-baik.
Di pesawat kelas ekonomi dia terus memikirkan Angel, membayangkan senyum nyata gadis itu yang pastinya lebih indah daripada melalui VC dan chat WhatsApp selama dua bulan ini.
Amar telah menyemprotkan parfum beraroma woody ke seluruh tubuhnya. Rambutnya yang kemerahan telah pula klimis, kumis dicukur tipis-tipis, ketika ia becermin di kaca jendela pesawat cukuplah sudah gagahnya untuk menguatkan percaya diri menemui keluarga besar Angel.
Dag dig dug serr… jantung Amar makin berdegup kencang ketika pesawat telah landing di Bandara Sepinggan. Angel pastilah sudah menunggunya di area penjemputan. Amar segera menyalakan handphone dan menelepon pujaan hatinya itu.
“Tuuuut…tuuut …”
Tidak ada jawaban. Tak lama terdengar suara operator yang mengatakan bahwa nomor telepon Angel sudah tidak aktif. Amar bingung, WA-nya pun tidak aktif, Amar mengecek Facebook dan Instagram, profil Angel menghilang. Amar berkeringat, kepalanya mendadak pusing. Sambil menunggu bagasi oleh-olehnya lewat, ia menelepon papi Angel. Sama, Papi Angel, Surya Syahputra, juga tidak bisa dihubungi, nomornya tidak aktif, bahkan foto profilnya di WhatsApp menghilang.
Setelah mengambil satu kotak oleh-oleh berisi empek-empek, Amar bergegas meminta taksi biru membawanya ke alamat yang pernah diberikan Angel, yakni perumahan elite Monach Park. Di sana ia bertemu satpam perumahan yang terus memandangnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Gak ada tuh rumah Nomor 29 E, ada di sini Nomor 29, tapi saya yakin bukan rumah itu yang Anda maksud.”
“Saya bel dulu ya. Siapa tahu ini memang rumah Angel.”
Satpam mempersilakan, sementara hati Amar kobat-kabit tak keruan karena rindu dan penasaran tentang apa yang terjadi sebenarnya.
Keluarlah seseorang berbadan tegap memakai kaus abu-abu.
“Tidak ada orang di rumah ini yang bernama Angel. Ini rumah Pak Dalyana.”
“Bukan rumah Pak Surya Syahputra?”
“Bukan.”
Amar masygul, buncahan rindu dan niat baiknya seperti terlempar oleh bongkahan batu besar yang turun dari arah tak terduga. Semua khayalan dan rencana buyar menjadi hamparan abu. Air mata lelaki kurus itu tak terelakkan jatuh satu-satu. Mukanya memerah merasa dipermainkan dan dipermalukan.
Amar lantas meminta taksi membawanya entah ke mana, memutari Balikpapan tanpa tujuan jelas. Ia menghentikan taksi di sebuah masjid di Gunung Sari Ilir, Masjid Kauman. Ia berwudu sambil menumpahkan sisa air mata pada aliran air wudu yang jernih dan deras. Usai salat, Amar tertunduk lama, seketika menengadah ketika ada tangan keriput menyentuh bahunya. Tangan itu milik Pak Haji Edi, sesepuh dan penjaga Masjid Kauman.
“Ada apa, Nak?” Pak Haji Edi menghadapkan diri pada Amar dengan menyilakan kedua kaki dan membenahi sarung tenun Samarinda yang dikenakannya.
Amar merasa tak dapat membendung lagi gumpalan batin yang menyesakkan dadanya. Ia ceritakan dari A sampai Z awal perjanjian pernikahannya dengan Angelica Syahputra.
Pak Haji Edi mendengarkan dengan sabar sekaligus memberi petuah lembut kepada Amar. “Itu sudah skenario Allah, Nak. Hadapi dengan jantan dan sikap ksatria. Laporkan kejahatan yang menimpamu kepada polisi. Tetapi maafkanlah segala sesuatu yang telah terjadi dengan ikhlas.”
Pak Haji Edi juga menelepon rekannya yang seorang polisi. Polisi rekan Pak Haji Edi menanyai Amar dan menjelaskan bahwa Angel dan papinya itu scammer cinta. Apabila nomor telepon mereka tidak aktif akan susah melacaknya.
“Kau hati-hati jangan terjebak foto cantik,” polisi itu berbicara tegas pada Amar.
“Tapi waktu VC memang dia, perempuan cantik yang saya lihat di foto itu.”
“Itu teknik dua kamera,” ujar polisi itu kemudian menyuruh Amar membuat laporan kronologis kejadian ke kantor polisi setempat. “Nanti biar dijelaskan oleh petugas di sana ya.”
Amar lemas, ia ditipu dan merasa sangat bodoh. Tetapi nasi telah menjadi bubur.
“Yang penting bukan kamu yang menipu, Nak,” ujar Pak Haji Edi sambil mengajak Amar makan nasi bungkus.
Tak lama ada telepon dari Pak Rivaldy, Bos Amar. Ia menanyakan mengapa Amar tidak video call saat jadi pengantin. Amar menceritakan semuanya kepada pemilik guest house itu.
“Ya sudah Le, cepat pulang dan nikahi saja Sutinah,” Pak Rivaldi menjawab dengan santai di ujung telepon. (dwi/k8)
SHANTI AGUSTIANI, guru penulis, sosialisator program literasi nasional dan pencinta seni. Beraktivitas sebagai Koordinator Bimbingan dan Konseling, Pembina PIKR dan Pembina Literasi di Madrasah Aliyah Negeri 2 Kutai Kartanegara.
