JAKARTA – Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus panjang. Hingga bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang surplus 27 bulan beruntun. ’’Kita mencatat nilai ekspor lebih besar daripada impor sejak Mei 2020,’’ ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam konferensi pers (15/8).
Dia memerinci, surplus Juli mencapai USD 4,23 miliar. Angka itu disebabkan nilai ekspor USD 25,57 miliar lebih tinggi daripada impor yang mencapai USD 21,35 miliar. Dari sisi ekspor, jika dibandingkan dengan sebulan sebelumnya, terjadi penurunan 2,20 persen. Namun, jika dibandingkan Juli 2021, naik 32,03 persen. ’’Bila dilihat menurut sektor, industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yakni hingga 68,21 persen,’’ tuturnya.
Ekspor nonmigas pada Juli terhadap Juni 2022 (MtM) tercatat anjlok 11,24 persen. Sementara itu, ekspor nonmigas turun tipis 1,64 persen jika dibandingkan dengan Juli 2021. Penurunan terbesar terjadi pada komoditas besi dan baja sebesar USD 257,4 juta atau 11,51 persen. ’’Negara tujuan terbesar untuk nonmigas adalah Tiongkok sebesar USD 5,03 miliar, disusul Amerika Serikat USD 2,51 miliar, dan India USD 2,26 miliar,’’ katanya.
Dari sisi impor, jika dibandingkan Juli 2021, terjadi kenaikan 39,86 persen. Impor migas bulan lalu senilai USD 4,46 miliar. Angka itu naik 21,3 persen jika dibandingkan pada Juni 2022 atau terkerek 148,38 persen dibandingkan Juli 2021. Sementara itu, nilai impor nonmigas tercatat USD 16,89 miliar, turun 2,53 persen dibandingkan Juni 2022 atau naik 25,41 persen dibandingkan Juli 2021.
’’Impor komoditas migas ini peningkatannya cukup tajam, yakni sebesar 148,38 persen dari USD 1,79 miliar menjadi USD 4,46 miliar,’’ ucapnya.
Setianto juga menambahkan, adanya konflik geopolitik global juga harus dimitigasi. Sebab, ketegangan tersebut dapat memengaruhi sektor perdagangan. ’’Perkembangan ini perlu kita waspadai karena Tiongkok dan Taiwan juga penting dalam perdagangan internasional Indonesia,’’ jelasnya.
Sementara itu, Kepala BPS Jawa Timur Dadang Hardiwan menyatakan, defisit neraca perdagangan masih terjadi di Jatim. Pada Juli lalu, provinsi tersebut masih mencetak defisit sebanyak USD 1,13 miliar. Hanya turun sedikit jika dibandingkan pada Juni sebanyak USD 1,16 miliar.
’’Angka Juli menjadi defisit terbesar kedua dalam tiga tahun belakangan. Ini adalah defisit kedua dengan angka menembus USD 1 miliar selama periode tersebut,’’ ungkapnya.
Ekspor Jatim tercatat USD 2 miliar. Sementara itu, impornya mencapai USD 3,13 miliar. ’’Komoditas penyumbang ekspor terbesar adalah lemak hewan yang meningkat USD 117 juta. Disusul tembaga yang naik USD 28,65 juta dan tembakau yang naik USD 25,41 juta,’’ paparnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim Eddy Widjanarko menyatakan, kinerja ekspor-impor Jatim memang berbeda dengan wilayah lain. Pasalnya, 74,26 persen dari impor provinsi merupakan bahan baku dan penolong dari industri manufaktur. ’’Tidak berarti neraca perdagangan kita benar-benar defisit. Tapi, barang tersebut kami olah, lalu kami ekspor kembali,’’ ungkapnya.
Bukan hanya ekspor ke luar negeri, produksi Jatim juga diekspor ke wilayah lain. Selama semester I, neraca perdagangan internasional mencapai Rp 56,21 triliun. Namun, perdagangan antarprovinsi mencapai surplus Rp 151,37 triliun. Dengan demikian, total neraca perdagangan Jatim masih surplus Rp 95,16 triliun. (bil/c12/dio)
Neraca Perdagangan Juli 2022
-Surplus: USD 4,23 miliar
-Nonmigas surplus: USD 7,31 miliar
-Migas defisit: USD 3,08 miliar
Sumber: BPS