Seiring naiknya Citayam Fashion Week, ruang publik di daerah asal para pentolannya di sekitar Jakarta juga ikut disorot. Kata ibunda Bonge, sang anak sudah mengalokasikan apa yang dia dapat sekarang untuk melanjutkan pendidikan.
FEBRY FERDIAN, Kabupaten Bogor-LAILATUL FITRIANI, Surabaya
DARI kawasan jantung ibu kota, sorotan besar Citayam Fashion Week (CFW) itu akhirnya juga mengarah ke kawasan tempat asal para remaja pengusung fashion jalanan tersebut. Di Depok, juga di pelosok Kabupaten Bogor, keduanya di provinsi tetangga Jakarta, Jawa Barat.
Muhamad Jamaludin, sekretaris camat (Sekcam) Sukaraja, wilayah di mana Bonge –pentolan CFS– tinggal bersama keluarga, mengakui bahwa fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) wilayahnya kini jadi perhatian. Sebab, memang tak sedikit yang bertanya, kenapa para remaja itu ’’lari’’ ke Jakarta untuk memamerkan ekspresi fashion mereka? Apakah tak cukup ruang publik di tempat mereka berasal?
’’Wilayah kami memang jauh dari pusat kota, tapi ruang publik tetap ada. Taman atau ruang publik di berbagai perumahan, misalnya, menggunakan fasos dan fasum yang ada. Taman di Perumahan Griya Soka Sukaraja dan Perum Bougenville Pasirlaja, contohnya, merupakan perpaduan dengan KRL (kelompok ramah lingkungan),’’ paparnya.
Untuk mendapat gambaran bagaimana para remaja itu menginvasi Jakarta dan menularkan virus fashion jalanan ke berbagai kota di tanah air, Jawa Pos dua pekan lalu bertandang ke rumah Bonge di Kampung Bojong Sempu, Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Bila berkendara dengan sepeda motor dari Kota Depok, dibutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk tiba di lokasi.
Perjalanan akan lebih mudah jika menggunakan kereta. Cukup turun di Stasiun Cilebut dan naik ojek pangkalan menuju arah Kampung Bojong Sempu. Sesampai di kampung itu, orang-orang mengenal Bonge dengan sebutan Eka. Sesuai nama aslinya, Eka Satria Saputra.
Eka atau Bonge sedang tak ada di rumah siang itu. Agendanya memang sangat padat sejak melambung bersama CFW. Ada Erni Ermawati, sang ibu, yang juga menyebut Jawa Pos beruntung bisa bertemu dirinya hari itu. ’’Ini saya juga mau pergi dan esoknya diundang oleh salah satu stasiun televisi dari pagi hari,’’ terangnya.
Erni bersyukur karena sejak anaknya menjadi viral, dirinya beberapa kali diundang untuk mengisi acara. Selain itu, rumahnya jadi lebih sering disambangi warga atau penggemar Bonge.
Sambil merapikan mainan adik Bonge, Erni mengaku baru setahun tinggal di rumah tersebut. ’’Sebelumnya tinggal di Bojonggede, lalu nggak jauh (pindah), ngontrak, terus baru pindah ke sini sekitar setahun lalu dibikinin sama mertua (rumah),’’ jelasnya.
Eka anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak kecil, menurut Erni, anak tertuanya itu sudah mandiri. Tak seperti kebanyakan anak lain, buyung yang 21 Agustus ini berusia 17 tahun itu termasuk yang tidak beruntung karena putus sekolah saat kelas III SD.
Karena kondisi tersebut, Bonge mulai hidup di jalan. ’’Keluar sekolah langsung cari uang. Sama teman-temannya ngikut, baru dia jalan sendiri,’’ katanya.
Bonge mencari uang dengan cara mengamen dari kendaraan umum ke kendaraan lain. Biasanya dia bekerja di wilayah sekitar rumah hingga Bojonggede. Erni malah tak mengetahui jika Bonge sampai ke Jakarta untuk bermain. ’’Sebelum viral, dia itu mengamen. Kalau ke Jakarta jarang, paling ke Bojonggede, Cilebut, (Kota) Bogor,’’ tutur Erni.
Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suryanto melihat CFW sebagai gerakan kultural yang muncul dari kelompok anak muda marginal. Jika selama ini konsep fashion yang berkembang cenderung bersifat mewah, remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) datang dengan outfit sederhana khas mereka. ’’Bentuk perlawanan budayanya sama dengan harajuku di Jepang. Harujuku itu kan melawan konsep matching, dia memadu-padankan warna yang bertabrakan,’’ tambahnya.
Elisabet Stefanny, mahasiswi fashion product design and business sebuah universitas di Surabaya, berharap Bonge dkk bisa memberi impact positif di bidang fashion. ’’Selagi mereka viral-viralnya, bisa lah bikin Citayam Fashion Week menjadi wadah yang positif dan jadi contoh yang baik. Misal, bikin konten-konten tentang fashion yang mengedukasi masyarakat sekitar,’’ ujarnya.
Yang pasti, semangat fashion jalanan dari kawasan Sudirman, Jakarta, itu memang menyebar ke berbagai kota, besar dan kecil, di tanah air. Meski memang lampu sorot tidak seterang yang diarahkan ke Sudirman.
Dari sekelompok remaja di pinggiran Jakarta, kini CFW juga dijejali kalangan lebih luas, yang datang untuk beragam tujuan. Mulai sekadar nongkrong, berburu konten, sampai yang berharap bisa numpang tenar.
Bagi Gaby Natalie, anak muda di Surabaya yang punya ketertarikan dan menggeluti fashion, salah satu efek CFW adalah makin banyak yang mulai berani show up gaya berbusananya. Menurutnya, itu ekspresi diri yang positif.
’’Yang jadi konsiderasiku, kan Citayam Fashion Week ini tidak ada struktur atau aturan apa pun. Jadi, bisa yuk kasih influence positif, baik dari segi penampilan maupun tingkah laku. Apalagi sering diliput media dan tersebar luas di media sosial,’’ ucapnya.
Jamaludin mengakui, CFW sedikit banyak turut mengangkat nama Kecamatan Sukaraja. Meski begitu, pemerintah daerah setempat belum berencana memberikan dukungan kepada ’’delegasi’’ mereka di kawasan Sudirman. ’’Kami justru berharap pembangunan dan perhatian pemerintah kepada daerah kami bisa terus diberikan,’’ ungkapnya.
Meski Jamaludin menyebut cukup, Dariana, salah seorang warga Cilebut, menilai fasilitas publik di kawasan tempat tinggalnya masih minim. Taman yang biasa digunakan warga malah banyak berada di daerah kecamatan lain, seperti Cibinong, dan Bojonggede.
Bagi keluarga Bonge, efek CFW sudah demikian terasa dari sisi perekonomian. ’’Sudah sebulan viral, Bonge udah bisa beli dua motor, sama handphone dan beli perhiasan mamanya. Separuh uangnya ditabung,’’ papar Erni.
Bonge juga berencana membuatkan warung kelontong untuk ibunya. Saat ini, kata Erni, uang milik anaknya itu terus ditabung. Tak hanya mencukupi kebutuhan keluarga, Erni menyebut Bonge punya keinginan khusus untuk melanjutkan sekolahnya yang terputus.
’’Separuh uangnya ditabung, ada tawaran untuk sekolah lagi. Dia mau sih, kan dia ada niat sekolah lagi. Untuk tawaran beasiswa, sekarang belum ada lagi. Mungkin nanti, karena saat ini masih banyak untuk fashion show, ada juga bintang tamu ke stasiun televisi,’’ kata Erni.
Bonge dan kawan-kawannya sesama penggerak CFW memang harus pintar-pintar menabung. Sebab, bisa jadi tren CFW dan fashion jalanan itu tidak akan berumur lama.
Menurut Bagong, usia mode memang tidak panjang. ’’Mode itu bagian dari gerakan sosial yang paling cepat berubah. Kalau di Jakarta sudah habis, di kota-kota lain juga akan hilang. Saya yakin tidak sampai hitungan bulan, unsur kejutannya sudah hilang,’’ imbuhnya.
Karena itu, bisa jadi CFW adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Gaby berharap Bonge cs bisa memanfaatkan kepopuleran yang didapat untuk hal-hal positif. ’’Mereka layak mendapatkannya. Stay humble dan beri contoh positif buat orang lain,’’ ujarnya. (*/c18/ttg)