Mahalnya tiket pesawat saat ini dikeluhkan berbagai kalangan. Dampaknya pun beragam. Salah satunya sektor pariwisata yang dirugikan.
BALIKPAPAN-Terbitnya Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 142 Tahun 2022 tentang Besaran Biaya Tambahan yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri membuat pelaku industri perjalanan dan wisata meradang. Dengan restu pemerintah tersebut, maka kenaikan harga tiket pesawat bakal tidak terbendung. Padahal, belakangan harga tiket sudah mahal.
Ketua DPD Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kaltim Syarifudin Tangalindo SP menyebut langkah pemerintah tersebut semakin memperburuk kondisi pariwisata khususnya di Kaltim.
Meski Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam penjelasannya penetapan biaya tambahan bersifat pilihan atau tidak mandatory (wajib) bagi maskapai, bahkan meminta maskapai tetap menyediakan tiket yang terjangkau, tetapi dia menyebut penjelasan tersebut sekadar basa-basi.
“Itu basa-basi saja. Tetap direstui juga harga tiket naik. Sekarang, siapa yang bisa menjamin maskapai tidak semakin menaikkan harga tiket. Dan dengan kondisi harga tiket saat ini saja, orang sudah berpikir 70 ribu kali untuk berpariwisata,” ucap Udin, biasa disapa kemarin (11/8).
Padahal, kata dia, saat awal-awal pandemi Covid-19, sektor pariwisata yang paling terpukul. Belakangan pariwisata mulai menggeliat. Sejumlah daerah mulai membuka destinasi. Di tengah upaya itu, justru tiket pesawat kini naik. Tentu sangat memukul para pengguna pesawat dan pelaku pariwisata.
Soal imbauan pemerintah kepada maskapai untuk alokasi tiket murah pun, menurutnya juga tidak akan membawa efek berarti. Pasalnya secara kuantitas, penyediaan tiket murah sangat sedikit. Dan jika diperhatikan, sejak maskapai perlahan menaikkan harga tiket, belum pernah diketahuinya ada disediakan tiket murah.
“Misal pun ada 221 seat, paling tiket murahnya hanya 10 seat. Itu pun lebih cepat terjual. Jadi apa efeknya secara luas tidak ada. Dan ini sangat tidak berpihak kepada industri pariwisata,” kata ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Kaltim itu.
Baginya, efek semakin mahalnya tiket pesawat adalah tempat-tempat wisata di Kaltim bakal sepi. Karena selain tiket pesawat, tentu pelaku wisata juga menyiapkan dana untuk keperluan lain, seperti tempat menginap, oleh-oleh, dan akomodasi lainnya. Dan secara langsung “membunuh” sektor-sektor yang ada di dalam industri pariwisata.
“Karena biaya perjalanan itu menjadi komponen utama pengeluaran terbesar dalam industri pariwisata. Jadi kalau seperti itu kebijakan pemerintah, maka saat ini tinggal kita tunggu dan nikmati kematian industri pariwisata,” tuturnya.
Apalagi salah satu destinasi wisata terkenal di Kaltim, yakni Berau, saat ini hanya memiliki satu maskapai penerbangan. Sehingga, semakin meningkatkan keengganan calon wisatawan dari dalam dan luar Kaltim untuk berkunjung ke Berau. “Tiket ke Berau saja dari Balikpapan sudah Rp 1,8 juta, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau akan semakin mengurangi minat berwisata ke Berau,” lanjutnya.
Udin menyinggung soal terbatasnya jumlah maskapai dan pesawat yang melayani rute-rute tertentu seperti Berau. Itu memunculkan dugaan adanya pengaturan pembagian wilayah-wilayah penerbangan. Sehingga menyulitkan intervensi terhadap harga tiket jika terjadi kondisi seperti saat ini.
“Jadi, seharusnya pemerintah yang punya peran turun langsung untuk menangani masalah ini. Itu ‘kan demi kepentingan masyarakat luas. Tidak hanya bagi pariwisata saja. Sementara ini tidak, padahal efek domino pariwisata sangat besar terhadap daerah khususnya masyarakat sekitar tempat wisata tersebut,” bebernya.
Kata Udin, yang bisa dilakukan pihaknya saat ini dengan mengimbau masyarakat untuk lebih memilih wisata lokal. Yang tidak memerlukan biaya penerbangan. Dan semakin gencar mempromosikan tempat wisata lokal yang disebut tidak kalah dengan destinasi terkenal lain di luar Kaltim.
“Karena yang kami rasakan, semakin sulit kami ini jualan. Yang saat ini kami berangkatkan lebih banyak pelaku perjalanan dari pemerintah, karena mereka tidak terpengaruh. Tetapi ‘kan kalangan pemerintah tidak selalu ada. Lebih banyak dari masyarakat,” sebutnya.
Sorotan juga datang dari anggota Komisi V DPR Irwan Fecho. Legislator Kaltim asal Kutim itu menyebut langkah pemerintah mengizinkan maskapai penerbangan menaikkan harga tiket pesawat adalah hal yang aneh. Karena Kemenhub sebagai regulator yang berperan melindungi kepentingan masyarakat justru pro terhadap maskapai.
“Di satu sisi hanya mengimbau maskapai untuk menyediakan tiket dengan harga terjangkau. Tetapi di sisi lain, justru memberikan kelonggaran untuk maskapai menetapkan tarif di luar tarif batas atas (TBA),” ungkap ketua Demokrat Kaltim itu, kemarin.
Baginya, pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan imbauan. Melainkan secara tegas mewajibkan maskapai taat terhadap TBA yang sudah ditentukan. Karena bila hanya mengimbau, dikhawatirkan maskapai atau operator akan menentukan tarif dengan menyesuaikan faktor kenaikan bahan bakar dan komponen lainnya.
“Kalau seperti ini, sama saja pemerintah menyerahkan mekanisme harga pasar. Yang cenderung tidak berpihak pada kepentingan masyarakat pengguna transportasi udara,” imbuhnya.
Khusus di Kaltim, Irwan menyebut masyarakat bakal semakin kesulitan. Karena sebaran bandara di Benua Etam yang belum merata, membuat perjalanan dari satu kota ke kota lain masih bergantung pada dua bandara utama, yakni Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan Balikpapan dan Bandara APT Pranoto Samarinda. Pelaku perjalanan harus mengeluarkan dana tiket ekstra bila ingin menuju daerah lain. “Bagaimana pelaku perjalanan wisata misalnya mau ke Berau, pasti turunnya di Balikpapan dulu. Dan harga tiketnya pun mahal,” ujarnya.
Irwan melihat penumpang saat ini tidak terlayani dengan baik. Dengan pemulihan berdampak pada peningkatan jumlah penumpang. Namun sebelumnya akibat pandemi, telah terjadi penarikan pesawat sejumlah maskapai oleh lessor. Akibatnya, terjadi penumpukan pengguna pesawat udara. Selain itu, masih terdapat persoalan terkait pelayanan dan keamanan.
“Jumlah penumpang banyak, pesawatnya sedikit. Sehingga sering terjadi penumpukan dan penundaan penerbangan di sejumlah bandara,” ungkapnya.
Maka, Irwan meminta regulator seharusnya tetap tegas pada tarif batas atas. Sedangkan operator membatasi kenaikan tarif sebagaimana harapan pengguna transportasi udara. “Kemenhub selaku regulator seharusnya tegas soal batas atas tiket. Selesaikan persoalan kekurangan pesawat dan monopoli maskapai di daerah. Itu sebetulnya masalah yang perlu dicari solusinya, bukan pada tarif,” ucap Irwan.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 142 Tahun 2022 yang terbit 4 Agustus 2022, pemerintah mengizinkan maskapai memungut tarif tambahan pesawat jet dengan porsi maksimal 15 persen dari tarif batas atas. Sedangkan pesawat propeller maksimal 25 persen. (rom/k15)
M RIDHUAN
[email protected]