Oleh: Esty Pratiwi Lubarman
Di beberapa jalan yang kulalui, ada debar yang selalu tertinggal di sana. Gigil hujan membuat kesepian seolah tumbuh di dadaku. Aku tidak terlalu mengenal tubuh yang aku tinggali, selain nestapa dan kesunyian yang mengisi diriku sendiri. Jendela kamar berembun dan semua hal baik tertinggal di sana.
“Buka bajumu, Mar.”
Aku memaku. Dadaku gemetar dan waktu seolah meninggalkan angkanya. Ia membuka kancing bajunya dengan gerakan cepat. Napasnya memburu, keringatnya mulai turun satu demi satu dari pelipisnya. Ia menyentuh bibirku dengan tangannya yang gemetar.
Aku melihat jelas matanya, aku melihat beberapa hal di sana. Tapi gagal mengulangnya menjadi bahasa. Kulitnya bersih, bibirnya masih meninggalkan bau asap rokok. Dia ada di dalam diriku.
Bukankah hidup mengajarkan untuk tetap bertekuk lutut. Menyerahkan diri dengan doa yang panjang. Tapi ke mana perginya doa itu? Jika ditanya soal cinta, ya aku mencintainya! Tapi penuh dengan ego, nafsu, dan kebencian. Dia laki-laki dengan seribu bahasa yang bahkan aku sulit untuk mengerti.
Kepalanya kebakaran dan gemuruh hujan tidak mampu menenangkannya. Tatapan penuh cinta dan kesetiaan, itu bohong! Setiap hari aku harus memberikan tubuhku karena aku perempuan. Diberikan puisi-puisi cinta karena anggapan aku adalah gagasan romantisme.
“Apakah kamu menyukainya?”
Aku memalingkan wajahku, tubuhnya terus bergerak di atasku. Memasukkan beratus warna, entah apa. Tubuhnya bernama; kekuasaan! Aku tidak membenci menjadi perempuan, bukankah kita yang menghidangkan kehidupan? Karena lelaki meninggalkan benihnya dan pergi dengan pakaian berseragam. Aku menyesali kebodohanku dan harapan-harapan kosong yang terbenam di benakku sendiri. Hidup memperlakukanku tidak adil.
Adegan itu usai. Ia merapikan pakaiannya, duduk di samping kasur. Merapikan rambutnya. Matanya seolah lega. Ia mengambil sebatang rokok dan asapnya menelan isi kepalanya sendiri. Bukankah dia yang sudah kupilih atau justru sedari awal aku memang tidak memiliki pilihan.
“Kapan kamu akan melamarku?” ujarku hati-hati. Ia duduk memunggungiku. Aku membenci sebuah pernikahan, ia hanya mengikat hawa nafsu dan kasurku akan dilihat negara.
“Aku belum siap menikah, Mar. Lagi pula nanti kamu akan kukasih makan apa, gajiku belum cukup untuk menafkahimu.” Klise! Itu adalah kata yang muncul di kepalaku.
“Sampai kapan kamu merasa tidak siap. Aku merasa seolah menjual tubuhku kepada pasanganku sendiri.” Dia membalikkan badannya. Urat-urat di kepalanya terlihat kencang. Matanya penuh api.
“Bisa-bisanya kamu berpikir seperti itu, Mar. Lima tahun, Mar. Bukankah kita sudah saling melengkapi. Lagi pula, kamu menyukainya. Kau ingat pertama kali kita berciuman, kau sangat menikmatinya bukan?”
Angin membelai tengkukku. Bunyi jam seolah detak jantungku sendiri. Kesepian adalah kita yang tidak memiliki pilihan atas hidup. Kamar ini seolah mendengar semua desahan, tawa, dan keegoisan di antara kami. Aku sibuk dengan kata-kata di pikiranku sendiri.
“Terus kamu mau terus-menerus dengan hubungan yang seperti itu? Aku sudah kehilangan diriku sendiri. Buat apalagi. Ya, jika ditanya soal cinta, aku mencintaimu. Tapi bukan cinta yang seperti ini, penuh dengan nafsu dan ego saja.”
“Apa yang membuat aku percaya, sementara aku sendiri harus membiarkan tubuhku terus-menerus kau miliki. Hubungan seperti apa yang tidak memiliki muaranya. Aku ingin kita usai dan memiliki jalan masing-masing. Aku berhak atas pilihanku juga bukan?”
“Sudah gila kamu, sejauh ini kita berjalan dan seolah pernikahan mudah di kepalamu, Mar.” Dia berdiri, membuang puntung rokoknya di lantai kamar.
“Mar, apakah seolah cinta saja tidak cukup buatmu?”
“Ini bukan cinta, kau hanya menginginkan tubuhku.” Ia kemudian melayangkan sebuah tamparan ke pipiku dan meninggalkan aku.
Badanku memaku–menunduk. Air mata membasahi segala hal di sana. Aku menemukan kesunyian tersungkur tanpa ampun. Tubuhku gemetar. Tidak ada yang bisa kulakukan. Ia pergi meninggalkan rumah ini dan tidak hanya rumah, ia meninggalkan segala hal yang sudah kita bangun sejak awal. Tidak ada lagi cinta tapi hanya kuasa laki-laki.
Kesedihan memasuki segala ruang dalam tubuhku. Aku ini perempuan. Ya, dengan segala pandangan yang hadir. Aku membenci diriku yang lemah dan tidak berdaya. Aku tidak membenci peranku sebagai perempuan. Tapi, gagasan cinta merenggut semua hal dalam diriku. (dwi/k8)
Esty Pratiwi Lubarman, lahir di Samarinda 28 November 1999. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Pada 2019 melahirkan buku kumpulan puisi berjudul “Perempuan Dikekang Malam”.