Abdul Gafur Mas`ud (AGM) menyanggah kesaksian para saksi mahkota dalam kasus suap dan gratifikasi yang membelitnya. Khususnya ihwal pemberian uang hasil pungutan fee proyek dan perizinan di lingkup Pemkab Penajam Paser Utara (PPU).
SAMARINDA-Menurut AGM, terdakwa yang tertangkap tangan KPK pada 13 Januari 2022 itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Kabupaten (Plt Sekkab) PPU Muliadi terlalu liar berpolitik meski berstatus ASN yang harusnya menjunjung netralitas. “Ternyata memimpin daerah itu enggak mudah. Kadang ada saja ASN yang salah, cukup lempar tanggung jawab ke kepala daerah. Padahal saya enggak pernah ngomong seperti itu,” ungkapnya dalam persidangan virtual di Pengadilan Tipikor Samarinda, (4/8).
Pernyataan itu dilontarkannya selepas mendengar kesaksian tiga saksi mahkota –terdakwa lain dalam kasus yang sama. Yakni Muliadi, Edi Hasmoro (kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang/DPUPR PPU), dan Jusman (kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga/Disdikpora PPU). Muliadi menerangkan, sistem pungutan fee dari perizinan di PPU sudah terjadi cukup lama, bahkan jauh sebelum dirinya ditunjuk menjadi plt sekkab medio April 2021. Perizinan yang dipatok fee pun terbatas pada lingkup perizinan tambang, batching plant, dan pelabuhan dengan nilai beragam, di kisaran Rp 200-500 juta.
Tiga jenis perizinan ini pun tak ditangani pelayanan terpadu satu pintu, melainkan lewat Bagian Ekonomi Sekretariat Kabupaten (Setkab) PPU. Muliadi juga menerangkan soal adanya pemberian langsung uang senilai Rp 1 miliar sebanyak dua kali ke AGM. “Pertama saya kasih langsung ke rumahnya yang di Balikpapan Regency, dan yang kedua ke Nur Afifah Balgis. Masing-masing Rp 500 juta, total Rp 1 miliar. Saat itu saya bareng Durajat (kabag Ekonomi Setkab PPU),” ungkapnya. Uang itu, lanjut dia, dipungut dari perbaruan izin perkebunan sawit yang ada di PPU. Keterangan ini sepenuhnya dibantah AGM dan Nur Afifah Balgis. Keduanya mengklaim tak pernah menerima uang tersebut.
Sanggahan juga dilontarkan AGM untuk keterangan Edi Hasmoro. Khususnya pernyataan kepala DPUPR PPU itu jika patokan fee proyek di PUPR sebesar 5-10 persen berasal dari AGM. Penetapan patokan nilai itu, sebut Edi, terjadi ketika dirinya dipanggil AGM ke kediamannya medio 2021. “Saat itu saya diminta Syamsudin alias Aco untuk menghadap ke bupati. Bertemu dan dibilang ada potongan sekitar 5-10 persen dari beberapa proyek tertentu. Untuk dinas atur saja,” ucap Edi menjelaskan. Di pertemuan itu pula, AGM, sambung Edi, menegaskan ke depannya permintaan serupa bisa muncul dari Asdarussalam alias Asdar. “Bupati bilang, nanti kalau Asdar minta berarti itu permintaan dia,” imbuhnya. Beberapa kali permintaan yang muncul dari Asdar diteruskannya ke masing-masing bidang yang ada di PUPR PPU.
Awal Januari 2022, sebelum operasi tangkap tangan (OTT) terjadi, Asdar sempat memberi tahu jika bupati memerlukan uang sebesar Rp 500 juta. Namun, Edi tak bisa memenuhi kebutuhan tersebut lantaran beberapa proyek di Pemkab PPU belum terbayar karena defisit. Untuk keterangan Jusman, AGM tak banyak menyoal lantaran dirinya tak begitu mengenal kabid Sarpas Disdikpora PPU itu. Jusman menerangkan, semua permintaan uang untuk bupati diketahuinya dari Syamsudin alias Aco. Jusman menyebut, Aco merupakan pengurus Demokrat PPU, sehingga dia berasumsi Aco merupakan orang terdekat bupati. “Tapi sepanjang 2021, permintaan uang itu tak pernah terjadi,” akunya.
Satu-satunya permintaan uang yang terealisasi di awal Januari 2022 sebesar Rp 250 juta yang diminta Aco untuk diberikan ke Supriadi alias Yusuf alias Ucup. “Hanya itu Pak. Enggak ada yang lain,” singkatnya. Di akhir persidangan, majelis hakim yang dipimpin Jemmy Tanjung Utama bersama Hariyanto dan Fauzi Ibrahim menjadwalkan ulang persidangan untuk kembali digelar pada 5 Agustus 2022 dengan agenda pemeriksaan AGM sebagai terdakwa. (riz/k16)
BAYU ROLES
[email protected]