Diboyong sang suami pindah ke Kaltim, Eva mengaku tak bisa diam. Sambil mengurus sang buah hati, dia kembali berjualan pakaian yang dipasarkan lewat mulut ke mulut. Kebiasaan berdagang itu terus tumbuh hingga 2017. Dia melihat peluang di bidang kuliner. Kini dia pun semakin menyeriusi aneka usaha kulinernya.
PADA 2011 Eva hijrah dan tinggal di Saliki, Kutai Kartanegara. Di sana, dia sempat menjual pakaian yang dipasok dari Jawa. “Jadi karena lagi hamil, suami minta fokus untuk jangan kerja dulu. Tapi memang dasarnya enggak bisa diam, jadi coba lah jualan baju,” bebernya.
Sebelumnya sejak 2007 dia bekerja sebagai karyawan bank bagian marketing. Sehingga bisnis bukanlah hal asing baginya. Di Saliki, ada beberapa kelompok usaha yang memproduksi amplang bandeng termasuk tantenya.
“Dan saya rasa buatan tante itu yang paling enak lah ya. Jadi kayak sudah ada otak bisnisnya gitu untuk coba pasarkan. Karena memang sempat beberapa kali bolak-balik Samarinda. Dan sampai 2017 benar-benar pindah ke Samarinda, dari situ makin gencar promosikan lewat online,” kata perempuan kelahiran 1985 itu.
Beberapa pihak seperti dinas pun menggandeng dirinya untuk berpartisipasi dalam acara pameran atau bazaar. “Orang sudah tahu rasa atau kualitas. Motto kami itu seketika bicara rasa. Jadi amplang itu kan banyak ya, orang sudah pada tahu. Makanya kalau bazaar, saya berdiri dan tawarin untuk ayo coba dulu. Baru tahu,” bebernya alumnus Akuntansi STIE Malangkucecwara Malang itu.
Kini usaha yang dia beri nama Amplang Afizka itu sudah memiliki reseller yang tersebar di luar Kalimantan. Di antaranya yakni Blitar, Surabaya hingga Gorontalo. Produknya juga sudah mejeng di rak-rak minimarket serta beberapa toko di Samarinda.
“Ada yang memang terjadi karena kebetulan, kemudian ternyata memang harus masuk toko. Akhirnya saya tawarkan ke toko-toko. Jadi produksinya tetap di Saliki, dan saya yang pasarkan di Samarinda,” lanjutnya lalu tersenyum.
Kini selain amplang, dia juga mencoba peruntungan lewat jenis produk lain. Beberapa di antaranya snack crispy dengan lelehan topping bernama Yummy Nyams. Lagi-lagi Eva melihat peluang dan potensi bisnisnya.
Sebab dia melihat di Samarinda belum ada. Dia membeli bahan baku dari Bandung, kemudian dikemas kembali dan ternyata mendapat antusias tinggi dari masyarakat. “Justru snack begini yang doyan mahasiswa. Kadang beli sekali 15 toples, saya juga ada titip di salah satu gerai minuman di BIGmall dan alhamdulillah lumayan,” jelasnya.
Melihat peluang dan menggali potensi adalah kunci. Diakui Eva jika dirinya juga tak mau terpatri pada satu jenis produk saja. Selagi bisa dikembangkan dan memiliki kesempatan, tak ada salah untuk dicoba. (ndu)
RADEN RORO MIRA
@rdnrrmr