Dari kapal yang membelah perairan di Delta Mahakam, aneka pohon bakau juga rimbunnya nipah mengepung Sungai Mahakam menuju muaranya. Tetapi, penampakan berbeda terlihat dari citra satelit atau pesawat. Rimbunnya pepohonan di sisi sungai, ternyata menyembunyikan sebab kerusakan kawasan itu.
CERITA Delta Mahakam jadi kawasan tambak primadona dimulai lebih dua dekade lalu. Ketika krisis moneter terjadi pada 1997-1998. Nilai tukar dolar tinggi saat itu membuat ekspor udang yang jadi komoditas utama kawasan tersebut semakin membuat kocek para pemiliknya tebal.
Kawasan Delta Mahakam pun makin menarik karena jadi tempat paling pas membuka tambak dengan pulau-pulau yang tersebar di wilayah seluas 150 ribu hektare, termasuk perairannya. Walaupun, gurihnya ekspor udang, tak berarti masyarakatnya didukung infrastruktur layak dan kesejahteraan yang diharapkan.
Salah satunya masyarakat di Muara Ulu, sebuah permukiman di Kelurahan Muara Kembang, Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kartanegara (Kukar). Kampung itu hanya dihuni 31 kepala keluarga. Salah satunya Hendra dan keluarganya. Sejak usia 3 tahun pada dekade 90-an, dia hidup di kampung yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar itu.
“Di sini kebanyakan penjaga tambak di dalam dan nelayan. Dahulu sebenarnya lebih ramai dari sekarang,” cerita sekretaris RT 12 Muara Ulu, Kelurahan Muara Kembang tersebut.
Listrik hanya mengandalkan genset, air bersih mengandalkan air hujan, jaringan internet yang minim, dan sekolah harus berperahu setengah jam ke Muara Pegah, Kukar dahulu, harus dijalani masyarakat Muara Ulu. Seminggu tiga kali, anak-anak yang jumlahnya hanya hitungan jari itu, diantarkan ke sekolah di Muara Pegah. Jika bukan hari berangkat, mereka belajar di kampungnya. “Istri saya yang kadang-kadang mengajar juga anak-anak di sini,” kata Hendra.
Soal upaya konservasi, Hendra termasuk yang menyadari tambak hijau penting untuk diterapkan. Tambak hijau adalah tambak ramah lingkungan dengan menerapkan silvofishery alias memadukan tanaman mangrove dan tambak, juga menggunakan pupuk dan pembasmi hama ramah lingkungan.
Sebab, hal itu juga berkaitan dengan produksi tambak. Tetapi tak mudah. Apalagi, jika masyarakat hanya berstatus sebagai pekerja. Bisa saja pekerjanya mau, tetapi pemilik tambaknya tak mau.
Para pegiat konservasi memang harus banyak putar otak untuk menemukan skema pas. Jadi, bisa menemukan titik temu kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Akhmad Wijaya, direktur eksekutif Yayasan Biosfer Manusia (Bioma) mengatakan, mangrove sebenarnya isu bagus terkait penyimpanan karbon tinggi.
Dari berbagai kawasan mangrove di Kaltim, kerusakan mangrove di Delta Mahakam yang cukup kritis. Dulu, Delta Mahakam dikenal sebagai delta terluas di Indonesia. “Hutan nipah terbesar di dunia sebelum rusak itu ya di Delta Mahakam. Sekarang ada dua di Kaltim, yaitu di Delta Mahakam dan Teluk Adang (Paser) yang rusak. Tapi daerah lain juga, Berau dengan pengembangan wisata masif, di Bengalon (Kutim) juga karena ada perusahaan,” beber Jaya.
Dia melanjutkan, kerusakan mangrove diperkirakan 40–50 persen. Sementara penguasaan lahan mencapai 80 persen. Penguasaan lahan itu bukan berarti penguasa yang legal. Sebab, Delta Mahakam masuk kawasan hutan, jadi tak bisa dikuasai secara legal. Namun, sudah dipetak-petak oleh sejumlah orang. Bisa untuk tambak, atau kepentingan lain. Nah, tutupan hutan yang tersisa sekitar 50 persen, itu karena bekas tambak ditinggal dan lokasi yang memang tak bisa dijadikan tambak. “Bisa karena airnya tawar. Juga posisinya rendah. Jadi jebol terus ketika pasang,” beber Jaya.
Dari masifnya tambak itu, selain berakibat pada degradasi hutan mangrove, juga berakibat pada kondisi lingkungan mangrove. Sebab, pengelolaan tambak masih banyak yang menggunakan bahan kimia. Efek dari zat kimia itu ada dua. Pertama, tanah yang tak produktif. Jadi, lima tahun saja bisa produktif dan harus pindah. Sebab, tanah menjadi keras.
Sementara, bila tanah keras dan sudah ditemukan tanah pirit, harus pindah. Sebab, tanah bersifat asam dan tidak bagus untuk tambak. Selain itu, penggunaan racun untuk hama akan berpengaruh pada perairan, tidak hanya di tambak. Tetapi juga di sekitarnya. Sementara, di Delta Mahakam, masyarakat tidak hanya menggantungkan hidup dari tambak. Tetapi juga menjadi nelayan.
Upaya restorasi pun banyak digalakkan sejumlah lembaga. Baik pemerintah, organisasi non-pemerintah, atau lainnya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bukan hanya proses menanamnya. Tetapi, juga keberlanjutan tanaman itu setelah ditanam.
Dari pengamatannya, sebagian tambak bila sudah tidak aktif atau produktif, nanti ditinggal. Dia pun memperkirakan 40–50 persen hutan mangrove sudah terbuka untuk tambak. Dalam Hari Mangrove Internasional pada 26 Juli 2022, pihaknya juga melakukan penanaman mangrove secara simbolis.
Namun, tujuan utamanya bukan membuat program menanam mangrove sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, untuk mengenalkan ke masyarakat dan berbagai pihak soal Delta Mahakam dan kondisinya. Jadi, penanaman hanyalah simbol karena ada target yang akan direstorasi.
Dia melanjutkan, ada beberapa tempat yang ditujukan untuk dilindungi. Seperti tempat untuk satwa bekantan, tempat berpijah udang dan ikan, tempat yang dianggap sakral, serta tempat yang memang dilindungi karena terkait objek vital nasional. Untuk di Kelurahan Muara Kembang, ada hampir 5 ribu hektare yang potensial untuk dilindungi.
Dari 2017, sebenarnya ada 100 hektare yang pihaknya tanami. Namun, penanaman tidak hanya pohon-pohon yang biasa di mangrove. Tetapi juga pohon buah dengan memanfaatkan planter bag. “Jadi, harapannya supaya kampung nelayan tidak kumuh dan mereka punya ikatan karena mereka yang menanamnya,” papar Jaya.
Memang, salah satu bentuk upaya penyelamatan mangrove adalah dengan silvofishery. Alias menanam di areal tambak. Tetapi, saat ini tidak hanya silvofishery. Tetapi pada tahap agrosilvofishery. Jadi, di sekitar tambak juga ditanam aneka sayur dan buah. Namun, meminta warga menanam saja tidak akan cukup. “Kami sekarang sama teman-teman Bioma polanya kami ubah,” sambungnya.
Mereka bakal melakukan uji coba di Muara Ulu, Muara Pegah, dan Muara Kembang Dalam. Pihaknya melihat, keperluan masyarakat adalah infrastruktur air, pangan, dan energi. Air bersih di kawasan tersebut sulit. Pangan harus didatangkan dari kawasan Handil. Mengambil air perlu transportasi kapal atau perahu sekitar dua jam.
Lalu listrik juga belum ada. Makanya nelayan di sana kesulitan es batu. Maka, mereka membantu pengembangan ekonomi seperti krupuk, petis, dan lainnya. Pihaknya juga mengonsep pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mini dengan kapasitas 1,65 kilowatt peak (kWp) untuk mini cold storage 165 liter dan bisa jadi pembangkit air bersih.
“Dari jual es batu dan air isi ulang, untungnya 10 persen masuk dana kas hijau. Misal nelayan tidak bisa bayar es batu, bisa juga barter juga dengan penanaman. Lokasinya kami identifikasi dulu. Muara Kembang Dalam juga sama. Pelaku penebang kayu nibung dan dungun, kami fasilitasi bikin keramba. Berapa kelompok, anggotanya diidentifikasi dengan tanaman buah yang ditanam,” jelasnya.
Diakui Camat Muara Jawa Fahmi, memang jadi ironi bagi pihaknya. Masyarakat di sana banyak bergantung pada sektor pertambakan, sementara tambak juga yang mendegradasi mangrove.
Solusinya sejauh ini memang tambak hijau. Diakuinya, salah satu kesulitan mendorong tambak hijau itu dari warga yang kurang kooperatif. Padahal, menurut dia, tidak ada ruginya. Tetapi selama ini sudah telanjur merasa enak di zona nyaman, jadi tidak mau diganggu untuk pengelolaan tambak. “Ini yang akan kami terus lakukan. Mensosialisasikan ke masyarakat pentingnya tentang tambak hijau,” ujar Fahmi.
Adapun bagi Sekretaris Komisi III DPRD Kaltim yang membidangi masalah lingkungan dan kehutanan, Sarkowi V Zahry menyebut urusan pelestarian Delta Mahakam itu, secara spesifik memang masuk peraturan daerah (perda) yang berhubungan dengan lingkungan.
“Jadi di Kaltim ada Perda Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Perda Perubahan Iklim. Saya ketua pansus (panitia khusus) kedua perda itu, termasuk perda terkait nelayan, saya ketua pansusnya juga. Itu regulasi daerah yang merupakan perpanjangan undang-undang untuk upaya pelestarian lingkungan,” beber dia.
Politikus Golkar itu melanjutkan, jangan lupa pelestarian alam itu dan aspek sosial harus ada titik temu. Bagaimana masyarakat bisa mendapat manfaat ekonomi dan lingkungan tapi juga menjaga lingkungan. Menurut dia, dari edukasi dan kerja sama itu, manfaatnya bisa besar. Diharapkan nanti timbul kesadaran untuk menjaga.
“Masyarakat jangan dimusuhi tetapi juga diajak terlibat untuk menanam. Kami edukasi, itu wilayah harus dilindungi dan mana yang tidak. Juga kami beri keyakinan bahwa bisa lho ada tambak hijau. Kalau itu bisa berjalan, bisa ada titik temu,” ungkapnya. (rom/k16)
Peliput:
M RIDHUAN
[email protected]
NOFFIYATUL CHALIMAH
[email protected]