SECARA geografis, Kaltim memiliki lima kabupaten/kota dengan 43 kecamatan yang bersentuhan langsung dengan pesisir. Luasnya hingga 35.101,336 kilometer persegi. Dengan panjang garis pantai 3.592 kilometer, Kaltim merupakan daerah yang strategis karena berada di wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Di dalamnya terkandung kekayaan alam, salah satunya hutan mangrove.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim mencatat, berdasarkan analisis Citra Landsat 8 tahun 2017-2018, Badan Informasi Geospasial (BIG) 2016, dan survei lapangan pada 2013-2018, Kaltim memiliki 27 jenis mangrove seluas kurang lebih 220.337 hektare atau 6 persen dari total keseluruhan mangrove di Indonesia. Tersebar di tujuh kabupaten/kota.
Kepala DLH Kaltim EA Rafiddin Rizal menjelaskan, ekosistem habitat mangrove secara kuantitas paling tinggi berada di Delta Berau dengan habitat bekantan, Delta Mahakam di Kukar dengan habitat bekantan, Teluk Apar di Paser sebagai cagar alam, Teluk Adang di Paser sebagai cagar alam, Teluk Sangkulirang di Kutim dengan habitat bekantan, Teluk Balikpapan dengan habitat bekantan.
“Lainnya tersebar sepanjang garis pantai Kaltim termasuk sepanjang pesisir Penajam dan pesisir Bontang,” kata Rizal, Sabtu (30/7). Sementara untuk potensi sebaran dan simpanan karbon mangrove, Kaltim diperkirakan memiliki simpanan karbon sebesar 35,5 juta ton, dengan persentase Delta Berau (16 persen), Delta Mahakam (15 persen), Teluk Apar (13 persen), Teluk Adang (12 persen), Teluk Sangkulirang (7 persen), dan Teluk Balikpapan (6 persen), dan lainnya sepanjang garis pantai Kaltim (31 persen).
“Tentu di sini tidak lepas dari kondisi kerusakan mangrove. Belum lagi permasalahan rehabilitasi untuk mengurangi kerusakan tersebut,” lanjut Rizal.
DLH Kaltim menganalisis, kerusakan hutan bakau di Kaltim itu bisa terjadi karena pengambilan kayu untuk kayu bakar secara berlebihan, terjadinya sedimentasi lumpur, yang menggeser perkembangan mangrove ke arah laut. Sehingga ekosistem mangrove yang tumbuh akan berada di atas endapan lumpur yang labil.
Hal itu menyebabkan hilangnya jajaran bakau karena tersapu arus dan gelombang laut yang kuat, yang turut berdampak pada turunnya produksi berbagai spesies ikan laut dan akhirnya berakibat pada penurunan kesejahteraan masyarakat nelayan.
“Lebih lanjut akibat ketidaktaatan atau ketidaktahuan pelaku usaha tertentu atas kebijakan terhadap ekosistem mangrove yang berlaku di Kaltim, sehingga dalam melakukan kegiatan penyiapan lahan untuk pembangunan proyek menyebabkan terjadinya kerusakan pada ekosistem mangrove,” bebernya.
Kata Rizal, permasalahan rehabilitasi hutan bakau di Kaltim muncul karena permasalahan tenurial, yaitu adanya masalah tumpang tindih lahan atau lokasi penanaman yang berstatus tidak clear and clean.
Lalu permasalahan kebijakan dan sosial, yaitu adanya pola pikir para pemangku kepentingan yang berorientasi pada proyek, dan belum memiliki kesadaran untuk menanam mangrove serta masih rendahnya kesadaran terhadap pentingnya mangrove.
Kemudian ada permasalahan fisik, yaitu ketidaksesuaian tempat tumbuh untuk lokasi pesisir karena kurangnya pengetahuan para pemangku kepentingan terhadap cara menanam dan memelihara mangrove, dan diperlukan perlakuan khusus untuk lokasi tambak sebelum penanaman, baik dari segi hidrologi, habitat maupun pemilihan jenis yang tepat.
“Pemprov Kaltim sudah memiliki regulasi atau aturan dalam melestarikan keberadaan ekosistem mangrove,” sebutnya. Seperti Perda Kaltim Nomor 1/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di mana di dalamnya mengatur tentang upaya pengendalian, meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan mangrove, serta mengatur pemeliharaan ekosistem mangrove melalui upaya konservasi, pencadangan dan pelestarian fungsi ekosistem mangrove.
Kemudian Perda Kaltim Nomor 2/2020 tentang RPPLH, yang memuat rencana tentang pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan atau fungsi lingkungan hidup termasuk ekosistem mangrove, serta rencana adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim melalui rencana rehabilitasi ekosistem mangrove sebagai pelindung daratan dari abrasi.
Lalu Perda Kaltim Nomor 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kaltim Tahun 2021–2041, yang bertujuan mewujudkan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bersih dan aman, pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal, efisien dan bernilai tambah untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas SDM, dan merumuskan kebijakan tata kelola pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang partisipatif dan berkelanjutan.
“Gubernur juga sudah menerbitkan SK Gubernur Kaltim Nomor: 522.5/K.672/2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Penetapan Peta Indikatif Ekosistem Esensial Kaltim yang diharapkan menjadi rujukan bagi para pihak dalam mengambil kebijakan pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Di mana di dalamnya melingkupi atas empat lokasi indikatif KEE Mangrove dengan habitat bekantan seperti Delta Berau, Delta Mahakam, Teluk Sangkulirang, dan Teluk Balikpapan,” jelasnya.
Kata Rizal, Kaltim saat ini dalam fase implementasi program penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui skema FCPF-Carbon Fund, yang menargetkan penurunan emisi sebesar 25 persen dari baseline 28 juta ton CO2e.
Salah satu aksi mitigasi yang dilakukan adalah melindungi kawasan berhutan, termasuk mangrove di Kaltim. Di mana emisi tanah hutan bakau sebesar 2,5 persen baseline. Dari periode pelaksanaan pertama dari Juli 2019 hingga Desember 2020, diperoleh penurunan emisi GRK sebesar 25 juta ton CO2e, dan tidak terjadi pembukaan baru tambak di hutan mangrove pada periode ini.
“Sejak 2010 pun, penanaman mangrove telah dilakukan oleh Pemprov Kaltim melalui SKPD terkait. Dan pada 2018 menunjukkan luas ekosistem mangrove di Kaltim mencapai 244.437,22 hektare. Di mana mangrove dengan kondisi kerapatan rapat 171.683,21 hektare (70,24 persen), kerapatan sedang 39.431,36 hektare (16,13 persen), dan kerapatan jarang hanya 33.322,75 hektare (13,63 persen),” tuturnya.
Selain itu, pengaturan upaya pengelolaan dan pemantauan terhadap ekosistem mangrove di dalam persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh Pemprov Kaltim, terhadap para pelaku usaha/kegiatan yang akan melakukan kegiatan secara legal di lokasi kawasan yang terdapat ekosistem mangrove.
IKN MENGANCAM MANGROVE
Berdasarkan hasil kajian Pusat Pengembangan Infrastruktur Informasi Geospasial (PPIG) Unmul (2021) terhadap peta tutupan lahan dan citra satelit resolusi tinggi, maka di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak terdapat tanaman mangrove, baik primer maupun sekunder. Sementara di kawasan IKN hanya terdapat sedikit mangrove sekunder dengan potensi cadangan karbon 100.613 ton Co2.
“Jika kita bandingkan dengan potensi karbon ekosistem mangrove keseluruhan di Kaltim yang sebesar 35,5 juta ton Co2, tentu potensinya memang relatif sangat kecil,” ungkap Rizal.
Namun, Rizal menegaskan, Pemprov Kaltim tetap menyarankan kepada pemerintah pusat untuk komitmen dan konsisten melaksanakan pembangunan IKN yang rendah karbon, dengan mempertahankan kondisi tutupan lahan yang ada bahkan memulihkannya, serta mempertimbangkan wilayah area mana yang dapat dibangun dan mana yang harus dikonservasi.
Tentu sesuai rekomendasi beberapa dokumen KLHS yang telah disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Sehingga pembangunan di wilayah IKN tidak berdampak lingkungan terhadap keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan yang berada di hilir selatan pusat inti pemerintahan IKN, atau berdampak pada ekosistem mangrove di Delta Mahakam yang berada pada hilir timur laut kawasan IKN,” sebutnya.
Sementara itu, Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Ivan Yusfi Noor menyebut, terkait pembangunan IKN, pihaknya telah mendapat instruksi dari KLHK untuk membantu usaha pelestarian mangrove di Teluk Balikpapan. Tepatnya di sekitar Pulau Balang, ada dua pulau kecil yakni Pulau Benawa Besar, dan Pulau Benawa Kecil.
“Di sana sepanjang area menuju hulu Teluk Balikpapan, tutupan mangrovenya masih bagus. Dan itu termasuk wilayah IKN. Dan ini menjadi konsen kami untuk melakukan pelestarian. Kami sebut sebagai koridor satwa liar di wilayah IKN. Di sana kami ada bertanggung jawab untuk inventarisasi keanekaragaman hayatinya,” ucap Ivan, Jumat (30/7).
Secara umum Ivan memaparkan, berdasarkan pemetaan melalui citra satelit, dilihatnya kondisi kerusakan mangrove di Kaltim memang cukup besar. Termasuk di kawasan yang dikelola BKSDA Kaltim seperti di Cagar Alam Teluk Adang dan Cagar Alam Teluk Apar di Paser serta Suaka Margasatwa Pulau Semama di lepas pantai Berau, maka kerusakan terbesar mangrove lebih banyak akibat alih fungsi kawasan menjadi tambak. Itu merupakan kondisi warisan turun temurun sejak 20 tahun lalu.
“Kondisi ini yang menjadi masalah di cagar alam yang kami kelola. Kerusakan ini bisa dibilang sulit dilakukan restorasi. Karena sudah terjadi perubahan sistem hidrologi. Karena itu, selain mempertahankan mangrove yang masih ada, kami tengah berupaya, meski menimbulkan konflik dengan masyarakat, agar bisa mengembalikan kondisi di areal tambak tersebut agar bisa kembali ditanami mangrove,” ungkap Ivan.
Kata dia, konflik dengan masyarakat bisa diselesaikan secara bertahap. Baik dengan edukasi dan pendekatan. Karena disebutnya, upaya represif tidak akan menyelesaikan masalah, karena masyarakat sudah menggantungkan hidup mereka dari tambak selama puluhan tahun.
Karena itu, ada sistem silvofishery sebagai salah satu program alternatif untuk menjaga pelestarian hutan mangrove. Silvofishery adalah penghijauan sekaligus budidaya komoditas perikanan dengan nilai ekonomi tinggi yang dilakukan di kawasan mangrove, tanpa harus mengonversi, terlebih mengancam fungsi ekologi mangrove.
“Upaya lain dengan kerja sama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), kami sudah mulai program untuk memulihkan mangrove di cagar alam,” ujarnya. (rom/k16)