Purwanto
Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama– Bapas Kelas II Balikpapan
Kekerasan terhadap anak kerap menjadi permasalahan di negeri ini, tak terkecuali di Kota Balikpapan. Saat ini kasus kekerasan pada anak mengalami peningkatan di Kota Balikpapan. Berdasarkan laporan Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan tercatat hingga Juni 2022 sudah ada 34 kasus. Di antaranya, 20 kasus anak usia antara 0–18 tahun, di atas 18 tahun ada 10 kasus. Sementara kasus kekerasan fisik sejumlah 11 kasus, pelecehan 21 kasus, psikis 1 kasus, dan 1 kasus lainnya.
Hal tersebut tentu agak riskan dalam memenuhi indikator untuk menjadi kota layak anak mengingat kekerasan terhadap anak merupakan klaster perlindungan khusus di antara 24 indikator lainnya yang harus dipenuhi. Merebaknya kasus kekerasan anak ini lantaran dipicu oleh semakin banyaknya anak yang berada di rumah dan aktivitas work from home (WFH).
Kondisi yang terlalu lama melakukan aktivitas di rumah tanpa pendampingan yang baik dari orangtua dapat menimbulkan dampak lain bagi anak. Penggunaan gawai yang semakin sering dimainkan oleh anak di rumah tanpa pendampingan juga memicu terjadinya peningkatan kekerasan pada anak. Anak dapat mengakses informasi yang secara sengaja ataupun tidak, dapat disisipi kekerasan melalui internet. Hal ini berdampak bagi anak antara lain adalah anak cenderung lebih emosional dan sulit diarahkan.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap anak membutuhkan perlindungan yang menjamin hak-haknya dalam tumbuh kembang selanjutnya. Mengingat rentannya kondisi anak, sangat perlu menjamin perlindungan anak. Hal ini diperlukan untuk menjamin anak dapat berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tersebut juga menegaskan perlindungan anak bertujuan melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi. Mengingat, faktanya banyak anak yang terlibat dalam hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pada Pasal 59 menyebutkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Negara lain berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
Salah satu bentuk perlindungan khusus kepada anak adalah perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum dan hal ini sejalan dengan indikator dalam penilaian kota layak anak. Dalam penilaian tersebut juga ditanyakan tentang korban kekerasan, eksploitasi, korban pornografi, kemudian anak berhadapan hukum dan stigmatisasi.
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjelaskan, perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dapat dilakukan melalui pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum. Salah satu aparat yang bersentuhan langsung dengan perlindungan anak ini adalah pembimbing kemasyarakatan (PK). Pembimbing kemasyarakatan merupakan pejabat fungsional yang bekerja pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pemasyarakatan (Bapas) di setiap kota atau kabupaten seluruh Indonesia.
Sebagai pembimbing kemasyarakatan dalam pelaksanaan tugasnya dihadapkan pada masalah yang terjadi pada anak-anak. Apalagi anak-anak yang sudah berhadapan dengan hukum (ABH), kita tidak bisa menutup mata bahwa kita tidak bisa sendiri dalam menangani kasus anak ini. Peran vital pada orangtua dalam mendidik dan membimbing anak sesuai usia dan kebutuhannya sangat diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran hak-hak anak.
Pembimbing kemasyarakatan dalam kontribusinya membantu mewujudkan kota layak anak adalah dengan memberikan tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif yang telah dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan adalah memberikan sosialisasi tentang pengetahuan hukum kepada anak.
Salah satunya, pembimbing kemasyarakatan dapat bekerja sama dengan sekolah-sekolah. Hal ini telah dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Balikpapan yang bekerja sama dengan beberapa sekolah di Balikpapan dalam memberikan edukasi tentang perilaku yang dapat menimbulkan tindakan yang melawan hukum. Sosialisasi tersebut telah dilaksanakan baik dengan sistem online ataupun offline demi menekan angka kasus kekerasan pada anak ataupun anak yang berhadapan dengan hukum.
Tindakan represif dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Balikpapan sejak Januari–Juni 2022 yakni telah melaksanakan sebanyak 126 penelitian kemasyarakatan (litmas). Tujuan penelitian kemasyarakatan ini adalah menggali informasi, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk kepentingan pelayanan tahanan atau anak, pembinaan narapidana atau anak binaan, serta sebagai pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam penyelesaian perkara.
Berdasarkan laporan terakhir yang ditangani oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Balikpapan sendiri sejak Januari–Juni 2022, sebanyak 44 permintaan penelitian kemasyarakatan (limas) terkait anak berhadapan dengan hukum (ABH) pada tingkat kepolisian, kejaksaan negeri, dan pengadilan negeri. Hasil penelitian kemasyarakatan ini menunjukkan, pembimbing kemasyarakatan aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya serta aktif dalam proses pendampingan dan pengawasan klien anak.
Setelah dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan, klien anak yang nantinya mendapatkan bimbingan lanjutan dapat kembali kepada masyarakat dan keluarganya akan mengurangi bahkan menghilangkan stigma negatif di masyarakat. Klien anak juga selalu masih membutuhkan peran orang terdekat dan pengawasan dari orangtua dan kerabatnya.
Pemerintah telah menetapkan undang-undang yang berkaitan dengan penanganan anak saat anak telah berkonflik dengan hukum. Melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak atau biasa disingkat SPPA ini merupakan satu dari banyak produk undang-undang yang berkaitan dengan anak. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Nomor 11 Tahun 2012, Pasal 1 Ayat 2 menjelaskan, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sementara anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam mewujudkan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, pembimbing kemasyarakatan yang merupakan pejabat fungsional penegak hukum bertugas melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses pengadilan. Keterlibatan Pembimbing Kemasyarakatan pada kasus anak telah dimulai pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Pada kasus anak, biasa dilakukan proses diversi yaitu melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orangtua/wali, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 merupakan rujukan peranan pembimbing kemasyarakatan dalam penanganan kasus kekerasan pada anak. Dalam Pasal 21 Ayat 1 menjelaskan, dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial dapat mengambil keputusan untuk menyerahkannya kembali kepada orangtua/wali dan mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS atau di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial.
Tindak pidana kekerasan yang terjadi pada anak harus dikendalikan dengan pendekatan keadilan restoratif di mana penyelesaian yang dilakukan dengan menjadikan hukuman pemenjaraan menjadi solusi akhir dari tindak pidana atas anak. Anak yang menjadi pelaku dan korban kekerasan membutuhkan pendampingan yang intens untuk dapat kembali hidup normal demi masa depan yang terbaik.
Mewujudkan kota menjadi KLA tidaklah semudah membalik telapak tangan, namun hal tersebut akan terwujud jika kerja sama seluruh bagian berjalan dengan maksimal, baik dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga sebagai lembaga terkecil dalam melakukan pengawasan nilai dan norma perkembangan anak.
Peringatan Hari Anak Nasional jangan hanya dijadikan seremonial dan lewat tanpa upaya perbaikan dalam penanganan anak yang mengalami kekerasan dan diskriminasi. Mari kita bersama-sama berupaya mencegah kekerasan pada anak sehingga anak mendapatkan hak-haknya dan kebutuhan secara proporsional dengan baik bagi tumbuh kembang dan masa depannya. (luc/k8)