SECARA psikologi tidak ada anak punya kecenderungan berbuat jahat. Apalagi sampai di luar batas yang berdampak hukum. Setiap anak terlahir dengan fitrah. Semuanya memiliki sifat kasih sayang. Itu sebabnya sejak kecil, anak suka dibelai, didekap, dan sangat takut kehilangan kasih sayang orangtuanya.
Hal itu diungkapkan Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Kaltim Dwita Salverry. Bahkan, kata dia, semua sifat tersebut juga melekat pada anak yang memiliki attention defisit hyperactive disorder (ADHD). Yang kemudian perilakunya jika tidak dintervensi dengan baik bisa berkembang menjadi ODD (oppositional defiant disorder/perilaku mengganggu) atau lebih parah menjadi CD (conduct disorder) dengan perilaku-perilaku yang mengarah ke kriminal.
“Itu semua bukanlah keinginan anak. Namun, pemahaman orangtua dan guru atau orang dewasa yang mendidiknyalah yang harusnya bisa memberikan anak bimbingan dan arahan yang tepat sesuai dengan profil anak, karena tidak ada anak yang sama,” ucap Dwita, Jumat (22/7).
Dia melanjutkan, apalagi jika bicara hukum. Maka otak anak belum berpikir ke arah itu. Anak cenderung mengikuti perasaan. Dikatakan bahwa remaja akan rentan berisiko tinggi jika kepribadiannya rapuh, kecerdasan emosi rendah, dan kecerdasan sosial rendah. “Nah ketiga aspek ini harus dibangun bukan cuma dengan kepintaran akademik semata ataupun IQ (kecerdasan intelektual),” lanjutnya.
Psikolog di Klinik Psikologi Anak dan Keluarga (Yayasan Psikologi Clarinta) Balikpapan tersebut kembali menegaskan, tidak ada anak yang terlahir “jahat” sekalipun ayah dan ibunya penjahat.
Namun, potensi itu, ucap dia, ada dalam proses tumbuh kembang anak. Apalagi di fase-fase kritisnya pada usia 0-2 tahun (1.000 hari pertama kehidupan), 2-4 tahun, 4-8 tahun, 8-12/14 tahun dan 14 -18 tahun, akan sangat berpengaruh pada perkembangan potensi-potensi luar biasa tadi menjadi “kompetensi”.
“Ibarat bibit-bibit potensi tadi apakah menjadi tanaman subur yang tumbuh dan berbunga dan berbuah baik? Tentu tidak lepas dari ditanam di mana? Diberi pupuk yang sesuai atau tidak? Dijaga dari hama atau dibiarkan? Rajin disiram dan disayangi atau tidak?” beber Dwita.
Bagi Dwita, jika anak tersangkut kasus kejahatan karena pengaruh luar pun tidak lepas dari peran pola asuh orangtua yang membentuk karakter anak. Anak akan mencari jati diri dan kenyamanan di luar rumah saat itu tidak didapatkan di rumah.
Bersama teman-teman peer-group (sebayanya) yang dirasakan nyaman, aman dan menyenangkan, terlepas apakah itu baik atau buruk, bahaya atau tidak. Maka itu membuat anak akan gampang terikut saat bersama-sama melakukan suatu kegiatan atau perilaku yang buruk sekalipun.
“Hal-hal luar itu hanyalah pemicu saja dari karakter anak yang terbentuk tidak baik. Apalagi saat anak mulai remaja dan merasa dia bisa berpikir dan memutuskan sendiri suatu tindakan sementara belum siap dengan risiko dan tanggung jawab perbuatannya,” katanya
Menurutnya, banyak value atau nilai yang menjadi bias. Diajarkan jaga lingkungan sementara pembakaran hutan, perusakan lahan di depan mata terjadi oleh orang-orang yang punya kuasa, baik karena jabatan ataupun uang. Berbagai faktor ini membuat anak-anak sekarang tumbuh dengan mindset kesuksesan itu hasil uang/material dan bukan value dalam prosesnya.
“Anak-anak jadi generasi instan yang terlihat cepat sukses namun lembek mentalnya. Sehingga ibarat pohon tumbuh tinggi tapi akan tidak kuat, tidak dalam dan tidak mencengkeram, sehingga sedikit angin saja akan roboh,” tuturnya.
Semua itu, menurut Dwita, menjadi landasan bagaimana pentingnya peran orangtua terhadap perilaku anak. Dirinya mengaku sangat prihatin dengan kondisi yang ada saat ini. Secara umum yang dia melihat peran orangtua di satu sisi terlalu ingin “baik” yang akhirnya memaksa anak dengan semua keinginan baiknya itu. Jadi over-protektif. Atau sebaliknya, ingin menggampangkan alias tidak mau susah berusaha dan belajar untuk pola asuh yang tepat pada anaknya, dan tentu ada juga orangtua yang sadar akan pentingnya belajar menjadi orangtua agar bisa menerapkan pola asuh yang tepat pada anak-anaknya.
Terkait penanganan pada kasus kejahatan anak, Dwita menjelaskan, hingga kini banyak yang masih harus dibenahi. Baginya semua orang yang terlibat dalam penanganan kasus kejahatan anak dari hulu sampai hilir semua harus paham hak anak untuk melindungi anak-anak, baik fisik maupun psikis.
Sederhana saja mudahnya media sosial (medsos) menyebarkan foto atau video kekerasan pada anak ini saja sudah melanggar hak anak. Anak itu mau pelaku atau korban maka dipastikan keduanya korban, karena anak jadi pelaku karena menjadi korban pola asuh orangtua yang tidak bertanggung jawab padanya.
“Kalau anak dibesarkan dengan pola yang baik, tidak mungkin anak rencana jadi penjahat. Pemeriksaan di kepolisian misalnya anak harus didampingi orang dewasa dan psikolog jika kondisi psikisnya memerlukan. Jangan sampai anak malah semakin tertekan dan trauma bukan dari kasusnya namun dari proses pemeriksaannya, yang jujur sering terjadi akhirnya korban menyerah tidak melanjutkan proses hukum karena lelah lahir batin dengan prosesnya,” jelasnya.
Upaya yang paling tepat untuk menyembuhkan anak yang telanjur dianggap “penjahat” dan yang menjadi korban kejahatan tak lepas dari pelabelan. Semua datang dari luar yang tidak memahami betapa bahayanya pelabelan. Bahkan anak yang sebetulnya ingin cari perhatian orangtua dengan perilaku yang dilakukannya dan orangtua sering melabelnya dengan nakal akhirnya menjadi nakal betulan. Apa yang sering didengarnya, disimpan dirasanya maka akhirnya menjadi perilaku sebenarnya.
“Anak yang terlanjur dicap penjahat harus diintervensi baik dengan psikoedukatif pada anak dan orang-orang dewasa di sekitarnya terutama orangtua, guru atau yang berpengaruh padanya, diberikan psikoterapi dengan berbagai metode sesuai profil psikologi anak (lewat asesmen dulu), serta diberikan jalan untuk dia mengembangkan bakat minatnya, sehingga bisa menunjukkan nyata bahwa dia berharga dan bukanlah “penjahat”,” bebernya. (rom/k16)