Beragam kasus kriminal di Kaltim, banyak melibatkan anak. Apakah masa depannya hancur? Tentu itu jadi pekerjaan rumah pemerintah. Di samping yang paling penting, mereka tidak kembali berhadapan dengan hukum setelah bebas.
BERSERAGAM khas anak SMA sederajat, remaja itu tengah asyik menatap layar komputer. Sekali-kali, dia menghentikan aktivitasnya. Seperti berpikir serius, karena ada tugas dari guru yang harus dikerjakan.
Tetapi, dia tidak sama dengan kawannya yang lain. Dia tidak belajar di sekolah atau di rumah. Melainkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Samarinda. Tempatnya hidup hampir setahun belakangan. Lokasinya juga tidak di Kota Tepian. Melainkan di Tenggarong, Kutai Kartanegara. LPKA itu menempati gedung bekas RSUD AM Parikesit di Jalan Imam Bonjol.
Remaja itu adalah satu di antara 54 anak didik pemasyarakatan (andikpas) yang menghuni LPKA Kelas II Samarinda. Sebut saja namanya Andikpas A. Dia masuk ke LPKA ketika baru duduk di bangku kelas XI SMK. Ketika Kaltim Post datang ke LPKA pada Kamis (21/7), dia baru saja naik kelas XII di sekolah yang sama sebelum dia masuk ke LPKA. “Belajarnya online, jadi langsung sama guru. Kalau ada praktik, dibantu juga sama petugas di sini,” cerita Andikpas A.
Ketika ada tugas praktik harus ke sekolah, Andikpas A diantar ke sekolahnya. Tetapi, jika masih bisa dilakukan di LPKA, maka ada fasilitas komputer yang bisa dia gunakan. Hampir setahun Andikpas A tinggal di LPKA. Banyak hal baru yang dia pelajari. Mulai belajar olahraga baru hingga belajar kemampuan baru.
“Saya di sini lebih belajar agama. Saya juga main voli. Padahal, sebelumnya saya tidak bisa main voli. Belajar sablon juga. Lumayan untuk skill kalau di luar nanti,” sebutnya.
Meski sedih karena harus berpisah dengan teman dan keluarga hampir dua tahun, bagi Andikpas A Hidupnya tidak terhenti. Dia tak mau membuang waktu hampir dua tahunnya. Dia pun bersyukur masih bisa melanjutkan sekolah. Cita-citanya, masih dia gantung tinggi. “Keluar, masih mau lanjut kuliah dulu,” ucapnya.
Harapan juga masih digenggam sebut saja Andikpas B. Penghuni LPKA Kelas II Samarinda, yang mendapat putusan pengadilan paling tinggi di LPKA itu. Hukum memutuskan menahan kebebasan Andikpas B hingga delapan tahun. Sudah dua tahun dia menjalaninya. Di sana, dia pelan-pelan mengejar pendidikan yang sempat tak dilanjutkan. Andikpas B mulai mengikuti kejar paket B dan tahun depan, bisa lulus. Lalu, dia akan melanjutkan ke paket C. “Belajarnya tatap muka di sini dari PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat). Ada ruang kelasnya. Pakai seragam juga,” cerita dia.
Baginya, pelajaran yang susah adalah bahasa Inggris. Hidup terpisah dari keluarga dengan kebebasan terbatas, tentu menyesakkan bagi Andikpas B. Di sana, dia berusaha menyibukkan diri untuk menghabiskan hari-harinya. Selain belajar paket B, Andikpas B mengikuti banyak kegiatan.
Dia pun sudah memiliki kemampuan mengelas, menyablon, hingga ukir kayu. Dia juga sudah menyusun rencana ketika dia bisa bebas nanti. “Mau balik ke kampung sama keluarga, kerja baik-baik di sana,” sambungnya.
PENDIDIKAN TERBAIK
Andikpas A maupun Andikpas B, sama-sama masih memiliki masa depan, meski dia kini hidup terbatas. Meyakinkan bahwa mereka bisa menjadi orang yang lebih baik ketika keluar, diupayakan pihak LPKA.
Kepala LPKA Kelas II Samarinda Mudo Mulyanto mengatakan, ketika seorang remaja masuk ke LPKA, maka salah satu yang diutamakan adalah pendidikannya. “Kami berusaha sekali, kalau mereka statusnya masih sekolah formal, mereka tetap bisa melanjutkan sekolah di sekolahnya itu,” kata Mudo.
Sementara, sekolah banyak yang memilih mengeluarkan anak didiknya ketika dia terlibat kasus kriminal. Salah satu alasan biasanya adalah si anak telah mencoreng nama baik sekolah. Konsekuensi dari upaya LPKA agar si anak tetap sekolah adalah, mereka harus bisa membujuk sekolah agar tetap memberikan hak pendidikan untuk si anak tersebut.
Apalagi, jika si anak tetap berkeinginan belajar. Ketika sekolah membolehkan anak tetap belajar di tempatnya, LPKA bersedia menyiapkan fasilitas belajar, termasuk mengantarkan anak itu ketika harus praktik di sekolah.
Ada dua andikpas saat ini yang mendapat pembelajaran formal. Sisanya belajar dari PKBM Puspa Wijaya yang bekerja sama dengan LPKA. Selain itu, saat ini LPKA sedang mengajukan dua andikpas untuk mendapat beasiswa dan berkuliah di Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), karena dianggap memenuhi syarat.
Tak cuma itu, pihaknya juga memberikan pembinaan rohani bagi para andikpas. Bagi yang muslim, wajib salat lima waktu sehari di masjid. Sedangkan, bagi yang Nasrani juga wajib mengikuti pendalaman Alkitab.
Diakui Mudo, latar belakang andikpas itu beragam. Tak semua dari keluarga utuh. Ada pula yang dari broken home. Meski latar belakang tak jadi faktor pasti, tetapi perhatian tetap harus diberikan ke andikpas.
Masalahnya, kalau andikpas itu keluar dan bergabung ke lingkungan yang salah lagi, dia bisa kembali ke LPKA. Diharapkan dengan pembinaan kerohanian, pembekalan, dan perhatian yang diberikan, bisa membuat mereka bisa menjalani hidup dengan lebih baik.
“Misalnya minimal di luar kalau dengar azan, ingat salat. Meski, tidak salat di masjid. Tapi hatinya ada panggilan. Kalau mau berbuat sesuatu, ingat ini benar atau tidak,” sambungnya.
Tak sedikit memang, andikpas yang keluarganya juga sudah tidak begitu memedulikan. Ketika andikpas bebas, itu jadi dilema. Sementara aturan LPKA, mengharuskan ketika anak bebas, dia harus dijemput keluarga intinya. Terutama orangtuanya. “Kami juga berikan layanan video call untuk mereka. Supaya tetap terhubung dengan keluarga dan kerabatnya,” sebut Mudo.
Mengurus 54 anak dengan latar belakang berbeda, memang menjadi tantangan. Salah satunya risiko perkelahian. Bahkan bisa dari hal-hal kecil. Maka, razia acak secara rutin dilakukan. Sekitar 7-8 kali dalam sebulan razia dilaksanakan. Namun, biasanya barang terlarang yang ditemukan tidak seekstrem di lembaga pemasyarakatan dewasa. Biasanya pulpen atau paku dari ranjang yang lepas.
Di sisi lain, perbedaan andikpas dengan narapidana dewasa, dia mendapat keistimewaan pada remisi hari anak. Tahun ini ada 29 andikpas di LPKA Samarinda yang mendapat remisi hari anak. Untuk remisi sebulan ada 21 andikpas, dua bulan ada enam andikpas, dan tiga bulan ada dua andikpas. “Mereka juga tetap dapat remisi khusus dan remisi umum,” jelas Mudo.
Dia berharap, makin sedikit anak yang menjadi andikpas. Artinya, anak yang terlibat kriminal makin sedikit. Sebab, tempat terbaik bagi anak tentu saja adalah keluarga dan orang-orang yang menyayanginya.
PEMBINAAN ABH
Untuk menangani anak berhadapan dengan hukum (ABH), Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kaltim menyatakan sudah memiliki pola dan strategi. Salah satunya dengan menyediakan lembaga pemasyarakatan (lapas) pembinaan khusus anak di Tenggarong.
Kepala Kanwil Kemenkumham Kaltim Sofyan kepada Kaltim Post menyebut, tercatat hingga Jumat (22/7), pihaknya tengah membina 54 ABH di Kaltim dan Kaltara yang ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Samarinda di Tenggarong. Di antaranya, ada 24 anak perkara perlindungan anak, 18 anak perkara narkoba, 7 anak perkara pencurian, dan 5 anak perkara pembunuhan.
“Jadi 54 anak itu jadi warga binaan. Kemudian ada 8 anak tahanan yang on proses. Jadi kami total menangani 62 ABH,” ungkap Sofyan.
Dia melanjutkan, persoalan anak yang berhadapan dengan hukum telah menarik kepedulian banyak pihak. Dengan adanya Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka dalam prosesnya seorang ABH wajib mendapatkan pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan (PK) bapas selama menjalani sidang. Karena jika ada kasus ABH tidak didampingi PK, perkaranya bisa langsung batal demi hukum.
“Karena salah satu tugas PK ini adalah melakukan diversi terhadap kasus-kasus yang memungkinkan anak tersebut bisa lepas dari jerat hukum. Kasus ini khususnya yang berhubungan dengan tindak pidana ringan (tipiring). Diversi ini kalau di kasus orang dewasa diadopsi menjadi restorative justice (RJ),” ucapnya.
Diversi menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan SPPA. Jika memang diversi tidak bisa dilakukan karena beratnya perkara yang dihadapi, seperti narkoba dan pembunuhan, maka selanjutnya akan berpegang pada UU Perlindungan Anak. Di mana biasanya seorang ABH hanya akan dihukum separuh atas vonis yang biasanya berlaku pada orang dewasa dalam perkara yang sama. “Tahun ini kami telah berhasil melakukan diversi terhadap 16 ABH,” kata dia.
Sofyan menyebut, selama menjalani perkara hingga dibina di lapas, anak tetap akan mendapatkan hak-hak mereka, seperti hak pendidikan. Kemenkumham akan memfasilitasi ABH tetap bisa melanjutkan sekolah mereka, misal dengan kejar paket. Selain itu, ada pula pembinaan dengan bimbingan kepribadian. Karena seorang anak adalah generasi penerus bangsa, maka sesuai tujuan lapas, menjadikan seseorang menjadi baik kembali.
“Dari pembinaan norma agama, masyarakat, mendekatkan masing-masing anak kepada Tuhan. Selain itu, di sisi kesehatan juga kami pastikan semua anak tersebut sehat jasmani dan rohani. Memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkarya sesuai minat dan bakat,” jelasnya.
Lanjut Sofyan, tahun ini pula, Kemenkumham Kaltim akan menandatangani nota kesepahaman dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk menguatkan bimbingan kemandirian. Di mana hasil karya dari warga binaan termasuk anak akan dibantu dari sisi pemasaran. Sehingga, meski berada di dalam lapas, warga binaan tetap memiliki imbalan atas karya mereka.
“Dan ketika warga binaan termasuk anak didik kami, mereka memiliki keahlian yang bisa menjadi mata pencaharian setelah bebas,” ucapnya.
Selain itu, Sofyan menyinggung soal remisi anak. Remisi biasanya diberikan saat hari-hari besar. Dan khusus anak ada remisi di Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli. Khusus pada Hari Anak Nasional tahun ini, pihaknya akan memberikan remisi kepada warga binaan anak.
“Di sini kami juga menyoroti, jangan sampai karena dianggap masa hukuman terhadap anak lebih ringan dibandingkan orang dewasa, justru dimanfaatkan oknum di luar sana dengan memanfaatkan anak sebagai sarana kejahatan. Itu sebabnya orangtua, keluarga, dan masyarakat harus waspada. Jangan sampai anak-anak ini diperalat,” bebernya.
Terkait label “mantan narapidana anak”, Sofyan menegaskan, cap tersebut sangat dihindari oleh pihaknya. Itu sebabnya setiap perkara anak benar-benar diselesaikan secara cepat dan eksklusif. Seperti sidang anak yang tidak terbuka untuk umum, hingga kepedulian dari semua pihak termasuk media yang tidak menyiarkan identitas anak sebagai pelaku atau korban kejahatan.
Kemenkumham juga memastikan, setiap proses dari pendidikan hingga pelatihan keterampilan bekerja sama dengan sanggar-sanggar, Dinas Ketenagakerjaan, hingga Balai Latihan Kerja (BLK).
Lewat instansi itu, anak maupun narapidana dewasa diberi kesempatan mengakses ilmu dan pekerjaan berupa sertifikat pendidikan dan keahlian tanpa mengungkap identitas mereka sebagai mantan warga binaan. Sehingga mereka mampu bersaing dengan orang lain untuk mendapat pekerjaan hingga di perusahaan besar.
“Yang disayangkan, cap atau label ini yang memberikan justru masyarakat atau lingkungan sekitar. Padahal mereka ketika sudah keluar sebagai warga binaan artinya mereka sudah mendapat pembinaan. Dan ketika mantan warga binaan merasa tidak diterima masyarakat atau sulit mendapat pekerjaan di perusahaan misalnya, dia pasti akan menjadi seorang residivis,” sebut Sofyan.
KEKERASAN SEKSUAL ANAK
Setiap proses penanganan kasus di kepolisian yang melibatkan anak di tingkat penyelidikan hingga penyidikan akan dilakukan secepat mungkin. Penyidik memiliki batas waktu maksimal 20 hari sampai berkas perkaranya lengkap sampai kejaksaan alias P21. Selama proses tersebut, baik pelaku atau korban anak akan mendapatkan perlindungan dan pendampingan.
Biasanya kepolisian akan bekerja sama dengan unit perlindungan perempuan dan anak milik pemerintah di daerah tempat kasus berlangsung. Di sana, korban misalnya akan mendapat bantuan psikologi hingga tempat yang memungkinkan korban merasa aman. Sementara untuk pelaku kejahatan anak, akan disediakan sel khusus, dipisahkan dengan tersangka dewasa.
Di Kaltim, selama Januari hingga pertengahan Juli ini, Polda Kaltim telah menangani 48 kasus, khusus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di wilayah hukumnya. Di mana 28 kasus tengah berproses, dan 20 kasus sudah putusan pengadilan. “Tertinggi ada di Kutai Barat, terendah di Balikpapan,” ungkap Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Yusuf Sutejo, Jumat (22/7).
Diketahui, kasus yang paling mencolok saat ini ada di Balikpapan. Di mana Polresta Balikpapan tengah menyidik perkara dugaan kekerasan seksual terhadap anak hingga korban meninggal dunia. Dua orang dijadikan tersangka setelah seorang anak perempuan berinisial RA (17) meninggal dunia diduga akibat perlakuan seksual yang menyimpang dari suami sirinya, AZ (57).
“Kami sudah tahan dua orang dan sudah memintai keterangan saksi, sekitar 10 orang,” terang Kapolresta Balikpapan, Kombes Vincentius Thirdy Hadmiarso, Jumat (15/7). Kasus itu mendapat sorotan publik, lantaran kondisi RA yang diketahui merupakan anak berkebutuhan khusus. (rom/k16)
Peliput: M RIDHUAN [email protected] NOFFIYATUL CHALIMAH [email protected]