Beberapa pejabat Pemkab Penajam Paser Utara (PPU) bersaksi untuk mantan bosnya, Abdul Gafur Mas`ud (AGM) di Pengadilan Tipikor Samarinda. Menyingkap persoalan defisit yang melanda saat ini hingga urusan lahan seluas 211 hektare yang “dibagi-bagikan”.
DEFISIT yang melilit keuangan PPU saat ini tak muncul seketika. Semua dimulai ketika APBD 2021 yang disahkan pemkab dan DPRD PPU tak sesuai rancangan Kebijakan Umum Anggaran–Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Kemampuan fiskal yang diprediksi hanya sebesar Rp 1,3 triliun diabaikan. Nominal APBD ditetapkan sebesar Rp 1,9 triliun. Selisih sekitar Rp 600 miliar itu menghadirkan tertunggaknya pembayaran tambahan penghasilan pegawai (TPP) PNS sepanjang Juni-Desember 2021, hingga utang pihak ketiga yang jumlahnya mencapai Rp 250 miliar.
“Untuk TPP sudah terbayarkan tahun ini. Sisa utang pihak ketiga yang sudah dikoreksi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sekitar Rp 250 miliar, baru bisa dibayarkan tahun depan,” ungkap Sekretaris Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Bapelitbang) PPU Yunita Liliyana Damayanti saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Samarinda, Rabu (20/7).
Kala penyusunan KUA-PPAS, Yunita ditunjuk jadi Plt Kepala Bapelitbang PPU yang otomatis menjadi anggota tim anggaran pemerintah daerah (TAPD). Sebelum KUA-PPAS diteken AGM selaku bupati, dia sempat dipanggil menghadap.
Kala itu, tuturnya bersaksi, di ruangan bupati sudah ada Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) PPU Edi Hasmoro. “Pak Edi bawa usulan proyek infrastruktur baru untuk diselipkan dalam APBD,” akunya. Diskusi ketiganya soal usulan itu ditolaknya. Karena fiskal daerah sudah cukup ketat di angka Rp 1,3 triliun. Sementara, usulan baru itu bernilai Rp 200 miliar. Jika tetap dipaksakan bakal berujung defisit. Karena daya serap tak berimbang dengan beban anggaran. KUA-PPAS awal senilai Rp 1,3 triliun pun diteken AGM untuk diserahkan ke DPRD agar dibahas. “Waktu paripurna November 2020 malah jadi Rp 1,9 triliun,” ungkapnya.
Disinggung JPU KPK soal usulan Edi Hasmoro itu, Yunita mengaku tak mengetahui apakah tetap diajukan atau tidak. Kini, lanjut dia, memang BPK mengoreksi adanya utang pihak ketiga sebesar Rp 250 miliar yang belum terbayar. Namun, dalam hitungan internal TAPD jumlahnya jauh lebih besar. “Sekitar Rp 400 miliar. Itu termasuk belanja pegawai, enggak hanya utang rekanan,” singkatnya. Selain dirinya, KPK juga menghadirkan Camat Sepaku Risman Abdul untuk para terdakwa dalam perkara ini. Dia menerangkan soal permintaan Asdarussalam alias Asdar, soal lahan seluas 211 hektare untuk diproses surat keterangan tanah (SKT) atau izin membuka tanah negara (IMTN). “Kata Asdar itu permintaan bupati,” terangnya.
Permintaan itu terjadi medio 2020. Asdar kala itu membawa bundel dokumen yang berisi daftar 113 nama pemohon pengajuan izin tersebut. “Saya enggak kenal siapa saja nama di daftar itu karena bukan orang Sepaku. Ada yang dari Penajam, Waru, hingga Babulu,” lanjutnya.
SKT diprosesnya selepas berkoordinasi dengan kepala desa setempat. SKT terbit bertahap sepanjang 2020-2021. Saat ditunjukkan bukti SKT yang diterbitkannya oleh JPU KPK, terungkap 113 nama itu memiliki pekerjaan ibu rumah tangga, swasta, hingga pegawai honorer. Ditanya JPU mengapa tetap diterbitkan, Risman mengaku jika dirinya diancam dimutasi dari jabatannya jika tak memproses permohonan tersebut.
Apalagi, AGM rutin menghubunginya soal proses surat tersebut. SKT itu dianulir medio Februari 2022, selepas berkoordinasi dengan kepala desa. Setelah munculnya operasi tangkap tangan yang menyeret AGM, Nur Afifah Balgis, Muliadi, Edi Hasmoro, dan Jusman oleh KPK. “Karena saat itu ada dugaan lahan itu mau dibagi-bagikan buat pemilu,” tuturnya. Pertanyaan lain seputar permintaan AGM soal menggeser status aset lahan yang tengah diurus pemkab menjadi kepemilikan AGM, Risman mengaku mengetahuinya dari omongan Supriadi, kepala bidang di Dinas Perumahan dan Pemukiman PPU. “Tahu dari cerita Supriadi saat saya mendampingi dia meninjau lokasi aset itu di Sepaku,” akunya.
Luas lahan yang diminta untuk diubah jadi kepemilikan AGM itu sekitar 10 hektare dari 43 hektare. Lokasinya berada di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN, Sepaku. “Setahu saya yang ini enggak terjadi sih, pak jaksa. Karena Supriadi tetap memproses sertifikat lahan itu atas nama Pemkab PPU,” lanjutnya. Pemeriksaan saksi yang dihadirkan JPU KPK rampung sudah selepas diperiksanya 11 saksi pada persidangan, Rabu (20/7). Majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Jemmy Tanjung Utama bersama Hariyanto dan Fauzi Ibrahim memberikan kesempatan untuk para terdakwa menghadirkan saksi meringankan dalam persidangan yang digelar pada 27 Juli mendatang. (riz/k15)