
SAMARINDA – Menjamurnya usaha hunian seperti, rumah singgah atau guest house, indekos, hingga hotel melati di Kota Tepian dinilai para wakil rakyat perlu diatur dalam sebuah regulasi.
Selain mengidentifikasi peluang pendapatan daerah, adanya payung hukum bisa mengendalikan persaingan iklim usaha hunian di Samarinda. “Selama ini belum ada status hukum yang jelas soal tiga jenis usaha itu. Khususnya untuk perizinan,” ucap Ketua Komisi I DPRD Samarinda Joha Fajjal, kemarin (18/7).
Padahal, di beberapa daerah lain sudah mulai menerapkan regulasi untuk mengatur sisi perizinannya. Di Bantul, Yogyakarta misalnya, ada peraturan daerah (perda) soal rumah singgah. Lalu, Malang, Jawa Timur yang memiliki perda tentang hotel melati dan indekos.
Dari kunjungan kerja di luar daerah itu muncul gagasan untuk menyusun aturan perizinan yang memayungi ketiga usaha tersebut di Samarinda. “Daripada satu per satu punya perda, Komisi I usul untuk digabung saja,” lanjutnya.
Panitia khusus (pansus) sudah disusun yang beranggotakan dewan yang bertugas di Komisi I. Saat ini, pansus masih menyusun dasar kajian akademis untuk mengevaluasi hal itu dari sisi aturan terkait.
Dengan jelasnya status perizinan, kata Politikus Partai NasDem Samarinda itu, akan mempermudah pendataan potensi pendapatan daerah yang bisa diraup pemerintah. “Tapi untuk ini nanti bisa ke komisi yang membidangi. Karena fokus Komisi I untuk mempertegas ada tidaknya perizinan soal itu,” tegasnya.
Apalagi, di beberapa tinjauan lapangan, diketahui ada pemilik usaha rumah singgah yang aktif membayar pajak. Ini, nilai Joha, menimbulkan pertanyaan pajak apa yang mereka bayar sementara hingga kini belum ada beleid daerah yang mengatur hal itu secara gamblang.
“Kan aneh, mereka membayar tapi aturan belum jelas. Dasar hukum pendapatan daerahnya jadi pertanyaan,” tukasnya menutup wawancara. (ryu/kri)