JAKARTA – Kondisi pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sepekan terakhir perlu menjadi perhatian. Ekonom menilai bahwa pelemahan rupiah yang tembus Rp 15.000 per USD bisa memicu berbagai ekses negatif ke perekonomian. Sementara bagi pengusaha, meskipun sisi ekspor bakal diuntungkan karena margin dolar AS, industri-industri yang sebagian besar masih mengandalkan bahan baku impor akan cukup terganggu.
Di pasar spot, rupiah ditutup turun 0,04 persen ke Rp 14.999 per USD. Di kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI), mata uang Garuda ikut melemah 0,16 persen ke level Rp 15.015 per dolar AS.
’’Ada perfect storm atau badai yang sempurna sedang mengintai ekonomi Indonesia,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Jawa Pos (6/7).
Bhima mengatakan, kondisi likuiditas di dalam negeri bisa mengetat apabila pelemahan kurs terus terjadi. Sebab, itu menunjukkan adanya tekanan arus modal asing yang keluar. Cadangan devisa (cadev) akan makin tertekan ketika arus modal keluar tinggi sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi.
Salah satu alasan pelemahan rupiah adalah BI yang masih menahan suku bunga. Hal itu membuat spread imbal hasil US Treasury dengan SBN semakin sempit. “Idealnya suku bunga sudah naik 50 basis poin sejak Fed melakukan kenaikan secara agresif,” ujar lulusan University of Bradford itu.
Bhima memproyeksi, rupiah secara psikologis berisiko melemah ke Rp 15.500 sampai Rp 16.000 per USD dalam waktu dekat. Tekanan akan terus berlanjut dan bergantung pada respons kebijakan moneter. Menurut dia, pelemahan kurs rupiah mendorong percepatan kenaikan suku bunga acuan. BI setidaknya perlu menaikkan 25–50 basis poin (bps) untuk menahan aliran modal keluar. “Tapi, menaikkan suku bunga acuan berimbas kepada pelaku usaha korporasi, UMKM, maupun konsumen. Cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menilai bahwa pelemahan rupiah bakal mendatangkan dua macam dampak bagi pengusaha. “Menguntungkan eksportir yang bahan bakunya dari dalam negeri, tapi di sisi lain membuat barang-barang impor menjadi mahal,” ujar Benny saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Menurut Benny, kondisi bahan baku impor yang menjadi mahal karena USD naik berpotensi membuat pengusaha tertekan karena peningkatan cost. Hal tersebut menjadi dilema karena pengusaha tidak bisa begitu saja menyesuaikan harga atau membebankan kenaikan biaya bahan baku kepada konsumen.
Namun, lanjut Benny, pengusaha masih bisa menahan harga untuk tidak naik. Terutama jika pelemahan rupiah itu bersifat sementara. “Dengan mengurangi biaya-biaya lainnya. Mengingat daya beli dalam negeri juga belum membaik,” tandasnya. (han/agf/c7/dio/jpg/dwi/k16)