Pengusaha berharap, Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang hendak disahkan DPR RI bisa dikaji ulang. Sebab, pemberian cuti selama enam bulan kepada pekerja perempuan yang melahirkan diklaim bakal memberatkan. Apalagi ada cuti 40 hari bagi pekerja laki-laki untuk mendampingi istrinya yang melahirkan.
BALIKPAPAN–Pemberian cuti selama enam bulan kepada pekerja perempuan dipastikan bakal meninggalkan kekosongan pada posisi yang ditinggalkan. Hal itu menuntut perusahaan mencari pengganti. Dampaknya perusahaan perlu mengeluarkan uang lebih untuk membayar gaji pengganti dan pekerja yang cuti tersebut.
“Pemberian tambahan hari istirahat melahirkan menjadi enam bulan tidak dapat dilihat hanya dari sisi pembayaran upah pada saat pekerja perempuan tersebut tidak bekerja. Pada saat yang sama, pengusaha harus mempekerjakan tenaga kerja lain untuk mengisi kekosongan agar proses produksi terus berlangsung,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, kemarin (1/7).
Pihaknya secara resmi telah mengajukan surat tanggapan kepada DPR RI terkait RUU KIA tersebut. Dalam surat yang ditandatanganinya, Hariyadi menegaskan keberatan. Selain itu, beberapa alasan yang menjadi latar belakang, termasuk mengecilnya kesempatan kerja untuk perempuan.
“Data BPS (Badan Pusat Statistik) 2021 menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan sebesar 53,34 persen, masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan TPAK laki-laki sebesar 82,27 persen. Dengan penambahan waktu istirahat melahirkan menjadi enam bulan dan kesempatan suami mendampingi istrinya sampai 40 hari dikhawatirkan akan kontra produktif terhadap upaya perluasan kesempatan kerja perempuan,” jelasnya.
Dia menuturkan, penambahan hari istirahat melahirkan dan pendampingan ini harus dilihat secara komprehensif, karena di satu sisi memang memberikan perlindungan yang maksimal bagi pekerja perempuan.
“Namun di sisi lain akan memperlemah posisi tawar pekerja perempuan di tempat kerja. Pada perkembangan selanjutnya, dikhawatirkan akan mendorong pengusaha mempercepat langkah otomatisasi di perusahaannya, yang tentunya berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja,” bebernya.
Tidak hanya menurunkan produktivitas pekerja, menurutnya itu akan berdampak terhadap kelangsungan usaha pula. Padahal, dunia usaha baru saja mulai bangkit setelah dua tahun lebih dihantam pandemi.
“Pengusaha di daerah ini baru mulai bangkit, artinya janganlah terlalu banyak dibebani hal-hal yang membuat pengusaha lemah daya saingnya,” kata Ketua Apindo Kaltim Slamet Brotosiswoyo, Jumat (1/7).
Berimbas besar. Cuti enam bulan yang diberikan kepada perempuan melahirkan itu tidak hanya akan berdampak pada pengusaha besar. Pengusaha menengah ke bawah pun bakal terpukul, karena produktivitas mereka dapat terpengaruh.
“Kalau tidak ada produksi, lalu tetap membayar selama enam bulan, mungkin tidak akan berpengaruh besar apabila untuk 1 atau 2 orang pekerja, tapi ada tetapinya ini,” tutur Slamet. Pengusaha tetap menanggung beban ganda. Karena mau tak mau mereka harus mengeluarkan biaya pekerja pengganti, plus gaji pekerja yang cuti harus tetap dibayarkan.
Slamet juga mengkritik, peraturan yang dibuat untuk kalangan pengusaha, tidak melibatkan unsur pelaku usaha. Sebab, bagaimanapun pemerintah semestinya berkonsultasi dengan unsur pengusaha, supaya mendapat masukan dari pengusaha serta sesuai kondisi di lapangan.
Dia lantas mengatakan, berkaca dari negara maju boleh saja. Namun, yang perlu diingat, Indonesia masihlah negara berkembang. “Janganlah sekadar ikut-ikutan. Kita harus punya pendirian. Kalau BUMN tak masalah, itu yang gaji pemerintah,” tegasnya.
Bila benar disahkan, menjadi beban berat, apalagi pengusaha juga menanggung berbagai pajak dan jaminan sosial pekerja. “Untuk jaminan sosial tak masalah, karena sudah menjadi tanggung jawab pengusaha melindungi pekerja. Apalagi, pemerintah juga ikut menanggung melalui BPJS. Namun kalau cuti sampai 6 bulan sangat membebani,” kata Slamet.
“Saya juga sempat bicara dengan beberapa pekerja bagaimana tanggapannya, ternyata cuti selama 6 bulan juga tidak membuat mereka happy. Terlalu lama,” imbuhnya.
Dia menilai, cuti tiga bulan bagi pekerja perempuan yang hamil sudah ideal. Jika undang-undang itu dipaksakan, Apindo khawatir pengusaha tidak akan menggunakan jasa pekerja perempuan. Terkait UU itu, Apindo Kaltim akan menyampaikan masukan kepada DPRD Kaltim, agar memberikan masukan ke pusat.
Selain itu, Slamet lebih mendorong pemerintah dan DPR RI mengeluarkan aturan yang menjamin rasa keadilan masyarakat. “Rasa keadilan harus ditanamkan segala sesuatu. Adil bagi pengusaha, adil bagi pekerja, dan adil kepada kondisi,” pungkasnya. (ndu/k8)
Ulil Muawanah
[email protected]