MAHKAMAH Konstitusi kembali menerima gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Kali ini, enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) mempersoalkan pengangkatan kepala otorita IKN yang ditunjuk langsung presiden. Menurut mereka, masyarakat tidak diberikan ruang secara aktif dalam memilih pemimpin IKN.
Pada Senin (27/6), MK mulai melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Enam pemohon mendalilkan sebagian frasa dan kata dalam Pasal 5 Ayat (4), Pasal 9 Ayat (1), dan Pasal 13 Ayat (1) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945. Isi pasal tersebut menerangkan, kepala Otorita IKN merupakan kepala pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, di angkat, dan diberhentikan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, para pemohon menguji pasal yang mengatur bahwa IKN Nusantara dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum.
Sehingga hanya melaksanakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD. “Maka hal tersebut mematikan asas demokrasi rakyat, untuk berpartisipasi langsung dalam memilih kepala daerahnya sendiri. Yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (3) UUD RI 1945, yang berbunyi ‘Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”,” kata pemohon, M Yuhiqqul Haqqa Gunadi.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon juga menyampaikan hak dipilih dan memilih merupakan hak dasar manusia. Ketika pemilihan kepala daerah IKN ditunjuk presiden atas persetujuan DPR, maka akan mengurangi partisipasi publik terhadap pemilu. “Juga akan mengurangi hak-hak setiap orang yang ingin ikut dalam pemilihan tersebut. Akan secara langsung merenggut hak dipilih dan memilih dalam kepala daerah ibu kota negara,” katanya.
Sehingga, para pemohon menilai pasal-pasal tersebut telah mencederai demokrasi dan tidak menghargai reformasi sebagai sejarah bangsa. “Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta agar mahkamah (Mahkamah Konstitusi) membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut dan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945,” tuturnya. Sementara itu, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati berkas permohonan para pemohon yang belum lengkap, termasuk belum ditandatanganinya permohonan oleh para pemohon.
Enny juga menilai para pemohon tidak konsisten dengan apa yang dimohonkan. Karena terjadi penambahan pasal yang diuji dalam pembahasan permohonan. Padahal, penambahan pasal ini tidak ada dalam perihal permohonan. “Konsistensi harus dijaga, jadi kita enggak bingung. (Pasal) yang diajukan,” sambung perempuan berkerudung itu.
Sedangkan hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyampaikan, karena para pemohon tanpa didampingi kuasa hukum, para pemohon harus hadir dalam setiap persidangan. Hakim konstitusi Arief Hidayat sebagai ketua panel juga mempertanyakan keseriusan para pemohon untuk berperkara di MK. Ketidakseriusan para pemohon, menurut Arief, karena para pemohon tidak membubuhkan tanda tangan dalam permohonan, tidak ada halaman dalam permohonan.
“Kalian semua serius atau sekadar latihan tugas di lapangan dengan bersidang di MK? Karena dari pengalaman MK, selama ini pernah ada lima permohonan dari mahasiswa Unila, itu latihan. Setelah dikonfirmasi, terus tidak jadi dilanjutkan permohonannya,” ungkap Arief. Pertanyaan itu ditanggapi salah satu pemohon. Dengan menjawab bahwa para pemohon serius dalam mengajukan permohonannya uji materiil UU IKN ini. (riz/k8)
RIKIP AGUSTANI
[email protected]