Margiyono
Dosen Fekon Universitas Borneo Tarakan
Di balik tekanan alam yang bertubi-tubi di Kalimantan. Boleh Kita membayangkan sejenak, betapa sejahteranya mereka yang dulu menikmati hutan lebat yang menghijau, sungai deras yang airnya bening, lingkungan lestari dan terjaga? Di atas sungai yang bening itu perahu masyarakat hilir mudik membawa input dan hasil produksi. Sesekali mereka pun saling menyapa dari atas perahunya. Dengan suara yang agak keras atau sekadar melambaikan tangan. Apakah itu Uthopia masa lalu di Kalimantan? Bukan! Itu realitas masa lalu.
Atas nama pembangunan dan investasi lukisan masa lalu itu kini terkikis. Saat ini kita akrab dengan keruhnya air sungai, hilir mudik kapal-kapal pengangkut bukit yang berwarna hitam. Ternyata batu bara. Artinya betul bahwa kayu, minyak dan gasnya kian menipis. Sementara di pinggiran sungai banyak rumah yang tidak permanen yang sudah menua. Sepertinya mengabarkan kepada kita bahwa banyak yang terdesak. Baca termarjinalisasi! Persaingan ternyata bukan hanya terjadi antar-calon investor dan supplier-nya. Namun juga antar-penduduk yang berjejal mencari nafkah.
Persaingan itu semakin ketat seiring semakin tingginya jumlah penduduk. Di tengah sumber daya alam yang kian menipis, jumlah angkatan kerja meningkat hampir 2 juta jiwa. Dari 6,49 juta menjadi 8,46 juta jiwa. Artinya, semakin banyak kebutuhan; lapangan kerja, pangan, pakaian, perumahan, dan fasilitas umum lainnya. Banyaknya kebutuhan itu mengharuskan adanya pertumbuhan.
Bertahan di Lereng Pertumbuhan
Siklus pertumbuhan seperti usaha menuju ke puncak. Ketika mendekati puncak lerengnya makin landai. Setelah puncak maka lama-lama menurun kembali. Pola itu terjadi pula pada siklus pertumbuhan ekonomi. Daerah atau negara berkembang cenderung bisa tumbuh lebih tinggi. Karena banyak potensi sumber daya yang baru dikembangkan. Sementara daerah atau negara yang maju pertumbuhannya cenderung rendah. Alasannya semua sumber dayanya sudah dipekerjakan. Dalam bahasa ekonominya disebut full-employment.
Bagaimana dengan Kalimantan? Fakta menunjukkan, selain permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Kalimantan juga mengalami tekanan pertumbuhan. Pada 2016 Kalimantan tumbuh 3,82 persen lebih rendah dibanding nasional yang tumbuh sebesar 5,02 persen. Lima tahun kemudian 2021 nasional tumbuh 3,69 persen, Kalimantan hanya 3,62 persen. Melihat nilai itu dapat dibaca bahwa, tren pertumbuhan di Kalimantan mengalami penurunan. Artinya, kapasitas ekonomi tidak menjadi lebih tinggi.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan total investasi rupiah dan valas yang tumbuh sebesar Rp 48 triliun. Misalnya tahun 2016 total kredit Rp 102,47 triliun naik menjadi Rp 150,73 triliun. Pada saat kredit meningkat mencapai 47,05 persen justru ekonomi mengalami penurunan. Itu artinya, investasi tak lagi mampu menaikkan pertumbuhan.
Total investasi terbanyak juga di Kaltim. Misalnya 2016 sebesar Rp 45,74 triliun, lima tahun kemudian naik menjadi Rp 69,62 triliun. Terjadi kenaikan sebesar 52,21 persen. Per tahun rata-rata tumbuh lebih 10 persen. Tingginya investasi itu justru dihadapkan pada fakta bahwa pertumbuhaan Kaltim terus menurun. Misalnya, sepuluh tahun terakhir kecuali tahun 2019 Kaltim selalu mengalami pertumbuhan yang paling rendah. Karena tahun 2019 Kalsel masih lebih rendah.
Bahkan tahun 2015, 2016, dan 2020 Kaltim mengalami pertumbuhan yang negatif. Provinsi lainnya, hanya mengalami satu kali kontraksi, saat pandemi. Provinsi yang konsisten berada pada pertumbuhan tertinggi adalah Kalteng. Saat pandemi kontraksinya juga terkecil. Selama sepuluh tahun terakhir hanya 2021 yang tidak tertinggi. Pola pertumbuhan di Kalteng dapat dikatakan lebih berkelanjutan (sustainable).
Berbeda dengan Kaltim yang ditopang oleh tingginya sumber daya tambang dan investasi yang besar namun tak mampu meningkatkan kesejahteraanya. Terutama indikator kemiskinan, pengangguran, dan pertumbuhan. Pola yang sama tentu berpotensi pada Kalsel dan Kaltara. Karena keduanya memiliki pola sumber daya dan investasi pertambangan yang mirip. Untuk tidak ramai-ramai berada pada lereng pertumbuhan yang menurun maka mencari sumber pertumbuhan nontambang adalah solusi untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan.
Nasib Sumber Pertumbuhan Baru
Aktivitas tambang identik dengan membuka lahan. Diawali mencukur hutannya kemudian mengeluarkan kandungannya. Kita membayangkan betapa luasnya permukaan bumi yang terbuka. Apalagi besarnya kredit investasi tambang identik dengan upaya meningkatkan aktivitas tambang, aktivitas tambang yang meninggi menambah lahan terbuka baru. Menambah lahan terbuka semakin luas. Ujungnya lahan kritis semakin luas.
Kerusakan itu mengakibatkan perubahan hidrologi secara ekstrem. Pada saat kemarau debit air sungai menurun, sehingga menghambat distribusi dan transportasi hasil produksi. Baik itu hasil, pertanian, kehutanan, dan pertambangan. Sebaliknya pada saat terjadi hujan, air juga naik ekstrem, sehingga merendam pusat-pusat ekonomi.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kawasan kritis yang terbuka tidak bisa dibiarkan. Karena selain akan mengakibatkan kerugian juga sering menimbulkan bencana. Untuk menghindari itu, maka harus dilakukan rehabilitasi lahan kritis. Itu dilakukan dengan melakukan penanaman kembali baik, untuk aktivitas pertanian tanaman pangan, perkebunan atau kehutanan. Aktifitas yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang adalah untuk pertanian tanaman pangan.
Untuk melihat seberapa besar potensi rehabilitasi lahan, kita bisa menggunakan indikator besarnya kredit investasi sektor pertanian. Kredit investasi sektor pertanian secara aggregate di Kalimantan mengalami penurunan yang tajam. Dari Rp 2,01 triliun pada 2016, lima tahun kemudian menjadi Rp 1,08 triliun. Turun hampir Rp 1 triliun atau 46,24 persen. Pertumbuhan sektor pertanian yang negatif, menjelaskan antusiasme pelaku usaha sektor pertanian menurun sangat tajam.
Berbeda jauh (diametral) jika dibandingkan dengan kredit pertambangan yang tumbuh mencapai Rp 10 triliun lebih selama lima tahun terakhir. Kenaikan kredit pertanian hanya terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara. Lima tahun terakhir Kalbar naik Rp 7 miliar sementara di Kaltara meningkat mencapai Rp 90 miliar. Tiga provinsi yang lain yaitu; Kalteng, Kalsel, dan Kaltim semuanya mengalami penurunan.
Pertumbuhan negatif investasi pertanian di Kalimantan sungguh memprihatinkan. Artinya, potensi sumber pertumbuhan baru belum mendapatkan perhatian. Baik dari aktor atau regulator. Padahal, surplus produksi pertanian sangat dibutuhkan untuk mengembangkan industri. Di sisi lain kemampuan pertambangan kian menurun. Silih berganti. Fase kayu, minyak, gas, dan kini batu bara. “Ketergantungan” yang sempurna. (luc/k8)