Harga tiket pesawat melonjak. Tak hanya penerbangan luar negeri, namun juga domestik. Selain karena kenaikan avtur dan tidak ada lagi promo diskon harga dari pandemi, kurangnya pesawat juga jadi salah satu pemicu. Permintaan tidak sebanding dengan jumlah pesawat. Protes pun datang dari berbagai kalangan.
GATOT Koco salah satunya. Sebagai pebisnis dan pegiat pariwisata, pengusaha asal Balikpapan itu kini harus mengeluarkan kocek lebih dalam agar bisa bepergian. Pekan lalu, dirinya menyebut harus membayar Rp 1,4 juta untuk perjalanan Jakarta–Balikpapan. Menggunakan maskapai Batik Air.
“Itu yang termurah. Kalau Citilink saat itu harganya Rp 1,6 juta,” ungkap Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Balikpapan periode 2012–2014 itu, Kamis (9/6).
Baginya, kenaikan harga tiket saat ini cenderung gila-gilaan. Bahkan tidak masuk akal. Karena dengan kondisi pemulihan ekonomi dan pengurangan pembatasan syarat penerbangan, seharusnya tiket bisa lebih murah. Di sisi lain, peningkatan jumlah penerbangan seharusnya tidak serta-merta membuat maskapai menaikkan harga tiket semena-mena.
“Di sisi konsumen ada demand quantity. Seharusnya semakin banyak penumpang dan penerbangan, harga tiket bisa lebih murah dari kondisi saat ini,” ujarnya.
Sebelumnya, dia juga merasakan mahalnya tiket pesawat dalam perjalanan Balikpapan–Bali. Untuk pulang-pergi, Gatot menyebut total harus mengeluarkan dana Rp 5 juta. Itu pun tidak langsung, tapi transit. Padahal Bali salah satu destinasi wisata andalan Indonesia. Artinya, mereka yang ke Bali sebagian besar adalah wisatawan. Yang seharusnya mendapat prioritas dari sisi ekonomi.
“Bali itu belum pulih. Banyak sektor perhotelan dan restoran di sana masih tutup dan sepi. Lalu bagaimana orang mau berkunjung ke Bali kalau tiket pesawatnya mahal. Ini ‘kan bertentangan dengan percepatan pemulihan ekonomi,” bebernya.
Padahal, kata dia, yang paling banyak menghidupkan ekonomi Bali adalah wisatawan. Khususnya yang berasal dari kalangan masyarakat ekonomi menengah. Yang secara finansial terbatas dan akan memilih penginapan atau makan di tempat yang terjangkau dana mereka. “Di Bali itu banyak penginapan hingga hotel di bawah bintang 3 harus banting harga,” ucapnya.
Hal itu juga berlaku di Kaltim. Dengan mahalnya penerbangan domestik, Kaltim yang saat ini tengah membangun momen pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN), menghadapi ancaman sepinya pariwisata.
Karena diketahui, sebagai IKN, Benua Etam menjadi sorotan. Salah lokasi yang bakal dituju untuk disinggahi. Termasuk oleh kalangan pebisnis dan masyarakat yang berusaha mengambil momen IKN tersebut untuk meningkatkan ekonomi mereka. “Sekarang semua mata tertuju ke Kaltim. Perjalanan ke Kaltim tak pernah sepi. Saya merasakannya langsung. Penerbangan tak pernah sepi penumpang,” bebernya.
Baginya, pesawat sudah menjadi salah satu keperluan pokok transportasi. Tidak ada substitusinya. Karena itu, dia tidak setuju, jika tiket pesawat mahal, masyarakat diminta beralih ke kapal laut. Karena secara segmen dan pemanfaatan sudah berbeda.
“Harus apple to apple. Oke kalau momen khusus seperti mudik, boleh dibandingkan karena tingginya mobilitas saat itu. Tapi secara umum, moda pesawat dengan kapal laut ya berbeda jauh,” jelas ketua Indonesian Offroad Federation (IOF) Balikpapan itu.
Baginya, saat ini tidak boleh ada unsur terpaksa atau mau tidak mau harus membeli tiket pesawat. Karena sudah menjadi keperluan pokok, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan akses transportasi dengan harga terjangkau, sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk menstabilkan keadaan harga tiket saat ini.
“Kalau pun tinggi, itu reguler domestik di harga Rp 1,2 juta masih bisa diterima. Karena memang informasi yang saya terima itu tidak mungkin lagi harganya di bawah Rp 1 juta,” katanya.
Untuk bisa melindungi pertumbuhan pariwisata, Gatot mengusulkan agar pemerintah melalui kementerian terkait harus bergerak. Misal mengatur harga khusus untuk destinasi wisata yang memang harus dibangkitkan kembali. Agar segera pulih setelah pandemi. Ke Kaltim pun seperti itu. Dengan momen IKN, jangan sampai animo masyarakat yang ingin berkunjung ke Kaltim pupus karena melihat mahalnya harga tiket pesawat.
“Misal, dari Kementerian Pariwisata kerja sama dengan maskapai buat program wisata. Tiket ke Bali dengan harga sekian di bawah harga pasar saat ini. Tentu mereka yang sebelumnya tak berpikir ke Bali liburan, pasti akan tergoda. Kalau harganya tak beda jauh dengan penerbangan ke Malaysia atau Singapura misalnya, mending mereka ke sana. Itu ironis di tengah gaung pemerintah memulihkan sektor pariwisata,” paparnya.
Ketegasan pemerintah pun harus ada. Dengan berbagai alasan maskapai menaikkan harga tiketnya, namun tetap tidak sejalan dengan program pemulihan ekonomi. Apalagi untuk Kaltim, itu akan menghambat animo dan antusiasme kunjungan di tengah usaha pemerintah menggaungkan investasi untuk pembangunan IKN.
PARIWISATA BISA TERPURUK LAGI
Ketua Association of the Indonesia Tours and Travel (Asita) Kaltim Syarifudin Tangalindo SP menyebut naiknya harga tiket pesawat mengancam pariwisata Kaltim. Khususnya Berau yang masih menjadi andalan Benua Etam. Mahalnya tiket pesawat bisa membuat calon wisatawan lebih memilih daerah wisata lain yang lebih mudah dijangkau. “Kita tahu, akses paling mudah ke Berau itu lewat udara. Sementara kalau darat tahu sendiri kondisinya,” ucap Udin, biasa disapa, Kamis (9/6).
Apalagi hingga kini, hanya ada satu maskapai yang melayani rute Balikpapan–Berau atau sebaliknya. Menambah sulit pilihan turis, baik lokal maupun mancanegara. Sementara perjalanan melalui darat sangat menguras waktu dan tenaga. Hal itu disebutnya memberatkan agen perjalanan wisata untuk menarik animo wisatawan. “Lebih baik ke Bali. Naik pesawat sampai. Sementara kalau pilihannya ke Berau, dengan harga tiket yang tidak jauh beda. Itu sangat memberatkan,” ujarnya.
Pada Mei lalu dirinya sempat terbang ke Berau dengan harga tiket Rp 1,3 juta. Namun kabar terbaru dari rekannya, tiket ke Berau kini sudah mencapai Rp 1,8 juta. Kenaikan itu disebutnya tidak wajar. Seolah-olah maskapai mencari keuntungan di tengah kesempatan melonjaknya okupansi. Padahal semakin tinggi okupansi, harusnya tiket semakin murah.
“Iya, semua sektor sedang berusaha bangkit. Termasuk penerbangan. Tetapi jangan lupa, banyak sektor seperti pariwisata yang juga bisa berdampak jika harga tiket pesawat terlalu mahal,” tegasnya.
Dengan mahalnya harga tiket, dirinya tidak yakin calon wisatawan akan berminat untuk berlibur. Sebab diketahui, tidak semua turis adalah mereka dari kalangan menengah ke atas.
Justru yang banyak dari golongan masyarakat menengah. Yang biasanya menabung untuk berlibur. Jika untuk menuju lokasi wisatanya saja mahal, dikhawatirkan ikut berdampak pada sektor lain. “Ingat, banyak sektor ekonomi yang vital di dalam pariwisata, misal, hotel, restoran hingga UMKM yang bergantung pada ramainya kunjungan turis,” katanya.
Asita Kaltim disebutnya sudah berkoordinasi dengan Asita pusat. Dengan tujuan bisa menyampaikan kondisi di daerah, sehingga pusat bisa berkomunikasi dan duduk bersama dengan kementerian terkait agar bisa segera mencari solusi soal mahalnya harga tiket pesawat.
“Jika kenaikan harga tiket ini tidak bisa dikendalikan, maka sama saja mengancam industri pariwisata dan sektor di dalamnya. Harus ada langkah tegas dari pemerintah,” ucapnya.
ANALISIS PASAR
Salah satu maskapai yang berhasil dihubungi Kaltim Post, Lion Air Group menjelaskan perihal meningkatnya harga tiket saat ini. Dari rilis yang diterima awak media, saat ini Lion Air Group tengah melakukan analisis dan pengkajian atau evaluasi sesuai tingkat keperluan dari dinamika atau tren pasar.
“Mengenai layanan penerbangan, disesuaikan keperluan pasar saat ini,” ucap Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, Sabtu (11/6).
Danang sendiri tidak memerinci alasan maskapai memutuskan menaikkan harga tiket pesawat. Dirinya hanya menyebut, di tengah kondisi saat ini, Lion Air Group optimistis masih memiliki peluang pasar penerbangan khususnya domestik di Indonesia. Di mana pasar dan tren penerbangan akan tumbuh positif atau meningkat kembali.
“Itu sesuai dengan geografis di Indonesia sebagai negara kepulauan serta kebutuhan dari permintaan pasar penerbangan dalam rangka kemudahan mobilisasi orang dan barang,” ucapnya.
Tambah dia, Lion Air Group saat ini tengah fokus pada penerbangan seperti penerbangan berjadwal penumpang, penerbangan tidak berjadwal penumpang (charter), dan penerbangan sewa angkut kargo (cargo charter). Di mana di tengah situasi masa waspada pandemi Covid-19, Lion Air Group senantiasa berupaya dan meningkatkan kinerja secara maksimal sejalan tujuan membantu dan memperlancar pergerakan orang dan barang sesuai keperluan.
“Lion Air Group berharap dapat memberikan nilai lebih kepada calon penumpang serta pihak penyewa dalam memenuhi permintaan penerbangan berjadwal dan charter. Hal ini berdasarkan pengalaman dalam menerbangi berbagai kota utama dan kota sekunder di Indonesia dan mancanegara,” pungkasnya. (rom/k16)
M RIDHUAN [email protected], NOFFIYATUL CHALIMAH [email protected]