Anton Rahmadi
Ketua LP2M Unmul
Sekira dua puluh lima tahun silam saya mendapati Kecamatan Cibugel - Sumedang sebagai wilayah Kuliah Kerja Nyata.
Lihatlah kemajuan Cibugel sekarang, ada sebuah resort keren luar biasa tempat bertamasya orang-orang kota. Sejenak pandangan saya berkilas balik seperempat abad lalu.
Pada saat itu, listrik terbatas, akses handphone apalagi. Kami menggantung handphone di salah satu pohon. Hanya handphone yang berantena yang dapat menerima sinyal.
Kami masih ingat menyusuri jalan-jalan desa berbatu di pinggir ngarai, bulak-bulak sawah yang indah. Perjalanan antar desa terkadang memakan waktu setengah hari, dengan naik turun perbukitan. Suhu udara setempat sangat dingin, bahkan mandi pun terkadang mendekati tengah hari. Air kamar mandi berasal dari salah satu bulak sawah, dan sisanya kembali ke sawah yg di bawahnya. Kami ditempatkan di salah satu rumah penduduk terbaik.
Saya punya buku catatan yang berisi istilah-istilah sunda. Buku itu masih saya simpan, dan dibaca oleh anak-anak saya yang juga beberapa tahun lagi akan tiba masanya ber-KKN. Saya masih ingat saat ditertawakan rekan karena saya mencatat dan mencoba berbahasa daerah setempat dengan masyarakat. Tapi, sejak saat itu, saya dapat memahami lebih dari lima bahasa daerah, walaupun sebagian masih bersifat pasif.
Pertengahan tahun 2010an, saya menapak tilas menyusuri tanah kelahiran orang tua di Kalimantan Timur, tepatnya Desa Kelinjau Hilir, Muara Ancalong, Kutai Timur. Mengingat saat SMP-SMA hampir selalu dikirim orang tua untuk menikmati dinginnya air sungai di kala pagi, memancing dan menjala ikan, menarik sampan di kala motornya mati, memadamkan lampu minyak, merasakan gigitan nyamuk hutan, menikmati pedihnya robekan akibat merintis semak belukar.
Tahun 2015 s.d. 2021, Saya cukup intensif menyusuri Biduk-Biduk, Talisayan, Kelay, bahkan menyeberang hingga Bulungan. Tak lupa pernah juga singgah di Pengadan, Batu Lepok, Bual-Bual, Sangkulirang, Muara Wahau. Ke Barat Kaltim ada Desa Nyuatan, Melak, Sendawar. Saya memimpikan untuk melihat batu dinding, sayang belum kesampaian.
Di masa itu, saya juga pernah melewati Muara Wis, Kenohan, Kota Bangun Darat, Kedang Ipil, Sungai Payang, dan masih banyak lagi. Begitu juga ke arah Bontang, ada desa dengan hamparan padi seluas mata memandang di Semangkok yang luar biasa.
Ke Selatan wilayah Kaltim, saya menyusuri indahnya pantai-pantai di Penajam Paser Utara, lari pagi di bantaran sungai di Tanah Grogot, hingga menjelajah ke jalan Petung-Sepaku-Samboja. Salah satu foto saya bahkan sempat menghiasi majalah Garuda Indonesia.
Saat ini, sebagai ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Mulawarman, saya banyak dapat laporan dan juga menerima rekues pindah ke kota dari mahasiswa-mahasiswa yang akan melaksanakan KKN, baik dengan alasan yang sangat kuat, hingga yang seakan-akan tidak siap untuk di bertinggal desa.
Ada yang punya kolega pejabat, tenaga kependidikan, dosen, bahkan tenaga keamanan, berupaya melobi dengan jalur-jalur yang dimiliki. Sampai pada satu pemikiran: apakah kewajiban patriotik mengabdi di desa seakan menjadi beban?
Bukankah kita ingin melihat wajah-wajah kebinekaan, suatu karunia Ilahi yang sangat indah untuk Indonesia? Bukankah keragaman yang sangat damai ini layak untuk kita pelajari dan kita perjuangkan?
Lalu apakah yang menjadi keengganan Ananda? Apakah yang menjadi keraguan kita sebagai orang tua? Apakah kita merasa sayang melepas ananda berkontribusi untuk merekatkan bangsa, berkembang bersama masyarakat dan ikut belajar mandiri? Apakah kita takut anak kita susah barang sebentar?
Ananda, yakinlah Indonesia aman dan sungguh luar biasa. Pengalaman yang diperoleh dan ikatan batin yang terbangun dengan masyarakat akan lekang untuk selamanya. Kemandirian dan hasil lain yang diperoleh sebagai buah dari KKN yang sebentar ini tentunya sulit tergantikan.
Ayolah, para orang tua, relakan anak-anak kita belajar bermasyarakat di tempat baru, barang sebentar. Bakti yang para ananda kita lakukan saat ini akan berbekas di masyarakat, dan didiri mereka. Sesekali, jika ada waktu dan rindu, tengoklah mereka. Kita sama-sama berikan ananda kita semangat.
Dua puluh lima tahun kemudian, saya masih merindukan untuk melepas lelah di Cibugel yang sungguh indah. Salam hormat kami untuk ananda dan para orang tua. (luc)