Karya: Sriningsih Hutomo
Senja berkilauan namun kian pudar dijemput malam yang bungkam, aku tertegun melihat sepintas bayang lelaki yang masih bertahta penuh di hati, padat dan sulit untuk mencair.
===============
Memori berkelana kembali padanya, wajahnya terus berdesakan dalam kepalaku. Pening di kepala namun hati ingin tetap melanjutkan lamunan itu. Mengingat ekspresi teduh sosok lelaki yang mengunci hatiku, membuat mataku tertuju pada satu titik yang realitanya itu hanya sebuah tembok bisu.
Hatiku enggan keluar dari lamunan itu, selaku ingin menerjemahkan bahwa ia masih di situ. Tembok putih penuh cipratan cat kanvas yang hari-hari menemani ruangan itu sebagai sahabat setia, menorehkan segala jenis rupa dan bentuk. Seorang pelukis yang memiliki pandangan seluas samudra dan hati penuh surga, seakan diberi tugas yang sangat sebentar untuk menemani hari-hariku selama bekerja di Bali.
Tiba-tiba sebuah bolpoin terjatuh di lantai membuyarkan lamunanku. Bolpoin ungu muda dengan ukiran namaku "Dena", warna langka yang kini menandakan kesendirianku. Aku tahu itu kepunyaannya, yang selalu ia pakai ketika harus mencatat memo pesanan lukisan.
Memoriku langsung berubah warna. Kini ruangan ini dan segala tentangnya adalah hitam. Aku memberanikan diri masuk namun sulit kembali, aku terjebak pada tangisan tiada henti di ruang itu.
Ya, bertemu dengannya pertama kali di sini. Tempat yang paling ia sukai adalah ruangan ini. Memori kecupan sayang di pagi hari, sarapan bersama bertiga bahkan celoteh-celoteh kecil kami bertiga di pagi hari sebelum aku harus pergi keluar kota untuk beberapa hari setelah itu karena tuntutan pekerjaanku sebagai seorang fotografer.
“Aaaaaaaa!!!!”
Aku berlari membabi buta keluar dari ruangan itu, hatiku tidak kuat lagi, aku membayangkan dia ada di sini meski otak warasku menolak.
Mataku terasa panas, memutar kembali memori kelam masa itu ketika sebilah pisau menusuk dadanya dan ia bersimbah darah.
Aku memandang ke sekeliling, masih dengan perasaan kalut, gelap menyelimuti semua suasana sekalipun petang belum habis.
Aku tersandung, kemudian bangkit dan berlari keluar dari ruangan. Dan makin jelas ingatanku, kala itu kutatap mayat yang terbujur kaku di depanku. Aku bergidik, merangkak menjauh dengan perasaan kalut. Seakan kembali pada ingatan lalu, tangan dan tubuhku mulai bergetar ketika sosok wajah bersimbah darah di depanku adalah Genta.
Tempat ini benar-benar memberikan kesan yang sangat indah namun sangat pula mengerikan bagiku, hingga selamanya aku akan membenci diriku sendiri. Ada waktunya bagiku untuk merasa takut dan kalut melihat semua ini karena seharusnya aku sudah tahu akan seperti ini jadinya, namun aku tetap datang ke rumah ini.
Seakan mengulangi lagi, memandang sekali lagi, pada mayat yang tergeletak berlumuran darah di depanku, dan sosok pembunuhnya persis di depannya memegang sebilah pisau, dan ia adalah aku.
Aku berjalan terseok dengan pandangan kosong. Pukulan, dan keputusasaan membayangi benakku, mengejar rasa bersalah bertubi-tubi, dan 10 tahun jeruji penjara memakan segala mimpi dan harapanku.
Aku memutuskan keluar dari rumah itu, menguncinya dari luar, dan sejenak duduk di kursi teras berwarna putih berjejer dua yang dipisahkan sebuah meja bundar yang pula berwarna putih, biasa aku gunakan untuk membersihkan lensa kamera sebelum aku pergi bekerja. Namun sore itu justru pemandangan sampah-sampah kanvas yang berserakan terlihat usang dan lampau. Tembok teras yang mengelupas basah dan berjamur terlihat sekali bahwa rumah ini telah lama ditinggalkan pemiliknya.
Aku ingin bergegas pergi dan tak ingin berlama-lama di sini. Rasanya, berdiri pun terasa susah payah, apalagi berjalan dan pergi, karena tujuan hatiku sebenarnya adalah aku kemari untuk hal terakhir.
Entah mengapa waktu menarikku pada sebuah perjalanan lain yang wajib kudatangi. Aku memutuskan pergi karena sebuah janji harus aku tepati. Telepon berdering. Dewinta, anak perempuanku telah menungguku di sebuah kafe di Jimbaran.
Sejauh kakiku bergerak pergi, sebanyak itu pula mataku terus menangkap bayangan Genta di rumah itu. Sosok yang teramat disayangi oleh Dewinta walau bukan ayah kandungnya.
Mungkin telah menjadi sebuah falsafah hidup, ketika seseorang telah tiada keberadaannya justru baru terasa. Kenangan itu kusimpan sendiri, untuk suatu saat kuceritakan pada Dewinta ke mana sosok ayah sambungnya sehingga ia harus hidup di Jakarta bersama ayah kandungnya, Dirga, hingga menyelesaikan kuliah bisnisnya. Dan ke mana kepergian ibunya selama ini? Mengapa baru sekarang menemuinya setelah bertahun-tahun tidak menjumpainya.
Saking bahagianya akan bertemu anak gadis yang dulu kutinggalkan rasanya baru beranjak ABG, kini dia telah dewasa dan menjadi seorang pebisnis real estate.
Sopir taksi online mengantarkan aku pada alamat yang dikirim Dewinta. Setiba di kafe itu rasanya ingin segera menerobos masuk, namun rasa hati yang berkecamuk takut, masih kuat menguasaiku.
Sebuah pelukan menjemput yang sebelumnya tak kubayangkan, namun sejenak leherku terasa tercekik, kelumpuhan seakan menyerang seluruh anggota tubuhku. Namun senyum merekah di depanku dan obrolan yang bertubi-tubi datang padaku seakan memberikan sebuah jawaban bahwa semua baik-baik saja.
Mungkin ayahnya telah memberikan penjelasan logis padanya seiring kedewasaannya. Dewinta hanya ingin bersua dan membayar semua waktu yang direnggut paksa untuk kami berdua.
Aku berkelamaan memandangnya. Ia berpura-pura seakan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Obrolan kami seperti obrolan anak dan ibu yang lama tidak bertemu. Di dalam hatiku berkata, “Kau tahu Nak? Aku kemari untuk bunuh diri, mengubur segala kisah kelam hidupku, agar kau tak perlu tahu, semua demi menebus dosa-dosa ibu padamu".
Aku memandangi wajahnya tak sedetik pun beralih walau berderet makanan di meja untuk kami berdua. Terus-menerus memandangi wajahnya, menyelami matanya tanpa sadar mataku telah digenangi air mata.
“Kenapa ibu?"
Air mataku mengalir, ia memelukku erat, seakan takdir kedewasaan ditukar oleh malaikat. Ia menenangkan aku dan terus-menerus menenangkan aku sembari berkata, "ibu berbagilah denganku jika ingin berbagi, jika tidak sekarang, kita masih punya banyak waktu untuk bersama".
Tangis yang tak bisa kubendung dan beberapa menit setelah itu Dewinta bergegas pergi ke kasir untuk membayar.
Aku menyesali apa yang baru saja ingin kulakukan sebelum menemui anakku, aku tak pantas dipanggil ibu ketika aku memutuskan akan mengakhiri hidupku dan memberikan ia luka berkelanjutan.
Aku melihat isi tasku ada sebuah amplop putih, isi amplop itu kuambil dan kuremas lalu kemudian kubuang pada tong sampah dekat tempat dudukku. Amplop itu berisi secarik kertas, surat perpisahan yang berisikan sebuah pengakuan, dan surat terakhirku pada anakku sebelum aku bunuh diri.
Dear: Dewinta
Maafkan ibu nak, tak bisa menjadi ibu yang baik buatmu, semoga surat ini menjemput sebuah maaf untukku darimu nak.
Ayah berusaha melindungi ibu dari tusukan pisau yang diarahkan ke dada ibu oleh seorang perampok, bukan ibu yang menusukkan pisau itu kepadanya, namun ibu kalah di persidangan karena tak ada bukti, dan kesalahan terbesar ibu adalah kekalutan yang menguasai ibu, hingga mengalahkan logikaku, dan saat persidangan itu ibu kalah dan dinyatakan bersalah. Karena rasa bersalah yang begitu besar, mengapa harus ayah yang tertusuk, harusnya ibu yang terkena tusukan itu, maafkan ibu membuatmu kehilangan sosok Ayah Genta, dan maafkan ibu telah membuatmu malu, karena dianggap sebagai anak seorang narapidana. Semoga kepergian ibu membayar semua kesalahan, selamat tinggal Dewinta, semoga kamu selalu berada dalam lindungan Tuhan, amin. (**)
SRININGSIH HUTOMO, pendiri Ayo Kaltim Menulis (AKM) sejak 2020 dan terpilih sebagai ketua Forum Penulis Bontang (FPB) pada 2022. Anggota komunitas Penyair Perempuan Indonesia (PPI) sejak 2020, aktif dalam kepenulisan puisi, salah satu karya puisinya lolos kurasi HUT Jakarta Betawj pada 2021.