JAKARTA -- Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Janda yang diusulkan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Banyuwangi Basir Qodim mendapat banyak penolakan. Wacana Raperda ini dinilai tak diperlukan dan tidak krusial.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman mengatakan, secara prinsip, DPRD memiliki hak untuk mengusulkan Perda. Namun dia mengingatkan, dalam pengusulan perda, harus memperhatikan banyak aspek antara lain kebutuhan.
"Jangan sampai hanya untuk kepentingan kelompok tertentu," ujarnya. Arman menilai, perda perlindungan janda tidak cukup krusial untuk dibahas saat ini. Apalagi, penolakan publik juga sangat kencang. Dalam konteks penyusun regulasi, tingginya penolakan harus jadi perhatian DPRD.
Artinya, jika banyak yang menolak, sejatinya tidak perlu dilanjutkan. Terlebih, baru ditataran rencana yang relatif mudah untuk dibatalkan. "Artinya jika sudah banyak penolakan sejak wacana ya ga usah dibuat," imbuhnya.
Dibanding membuat Perda 'nyeleneh' Arman menyarankan DPRD memikirkan isu lain. Sebab masih banyak urusan yang memerlukan atensi. Misalnya aturan turunan dari berbagai undang-undang. Khususnya yang menyangkut kebutuhan masyarakat. "Atau perda tentang perlindungan UMKM, itu lebih urgent," jelasnya.
Namun jika raperda tersebut tetap lanjut, Arman menilai pemerintah, khususnya pemerintah provinsi bisa melakukan review kritis atas Perda. Sebab secara regulasi, yang berwenang melakukan eksekutif review terhadap Perda Kabupaten/Kota adalah pemrpov. "Kalau Perda Provinsi, itu di Kemendagri," kata Arman.
Senada, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuam Siti Aminah mengatakan, pihaknya tidak sepakat dengan wacana Raperda Janda ini. Terlebih, dengan ajakan poligami sebagai bebtuk perlindungan dan pemberdayaan para janda.
Dia nenjelaskan, ketentuan poligami telah diatur dalam Undang-undang perkawinan. Yang bagi Komnas Perempuan sendiri, poligami adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. "Sehingga pengaturan poligami dalam Raperda berpotensi bertentangan dengan UU Perkawinan," tegasnya.
Selain itu, pernyataan poligami sebagai salah satu cara untuk melindungi dan memberdayakan janda dinilainya justru merendahkan janda. Seakan-akan janda tidak mampu untuk berdaya dan mandiri sebagai single parents dan perempuan. Padahal, banyak bukti perempuan-perempuan janda, baik karena suaminya meninggal atau bercerai berhasil mendidik dan membesarkan anak anaknya. "Dari alasan-alasan tersebut maka wacana raperda janda tidak diperlukan," ujar perempuan yang biasa disapa Amih tersebut.
Amih juga menyebut, wacana tersebut besar kemungkinan tidak melihat atau menganalisa kemungkinan-kemungkinan pemberdayaan janda dengan program lainnya. Seperti, memaksimalkan zakat, infak, dan shadaqah untuk janda, anak yatim piatu, atau pemberdayaan ekonomi lainnya. Padahal, pemberdayaan janda dapat dilakukan dengan program-program pemberdayaan ekonomi lain, baik dari negara maupun organisasi keagamaan.
"Lebih penting lagu, apakah wacana tersebut telah mendengarkan suara dan pendapat dari perempuan, khususnya dari janda?," ungkapnya.
Sebagai informasi, raperda ini sempat diusulkan beberapa tahun lalu. Sebagai pihak inisiator, Basir bakal mengusulkan raperda perlindungan dan pemberdayaan janda ini kembali di tahun ini.
Dia berdalih, raperda ini dibutuhkan karena tingginya angka perceraian di Banyuwangi dan belum adanya perhatian khusus dari pihak pemkab terhadap mereka. Padahal, menurutnya, mereka perlu bimbingan khusus sehingga bisa berdaya. Misalnya dengan menggelar pendidikan dan pelatihan menjahit kepada para janda.
Bahkan, Basir juga mengusulkan agar para laki-laki yang mampu dapat menikahi para janda tersebut. Termasuk kalangan aparatur sipil negara (ASN). (far/mia)