Jubir MK Ingatkan Aturan Pelaksana, Komisi II Ikut Pertanyakan Pj dari TNI Aktif

- Sabtu, 28 Mei 2022 | 12:30 WIB

JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait boleh tidaknya TNI aktif menjadi penjabat (Pj) kepala daerah menjadi polemik. Pemerintah dan masyarakat sipil memiliki tafsiran berbeda atas putusan MK terkait Pj.

Versi pemerintah, putusan MK dianggap tidak melarang selama prajurit yang bersangkutan berstatus pejabat tinggi pratama atau madya. Sebaliknya, masyarakat sipil menilai, MK tegas melarang TNI aktif menjadi Pj kepala daerah. Mereka menolak penunjukan Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj bupati Seram Bagian Barat.

Saat dikonfirmasi, Juru Bicara MK Fajar Laksono menolak berpendapat soal keabsahan Brigjen Andi. Apakah hal itu termasuk yang dilarang atau tidak. ’’Saya gak ngikutin soal bupati Seram,’’ ujarnya saat dihubungi kemarin (26/5).

Namun, dalam diskusi yang digelar secara daring di kanal Public Virtue, Fajar sempat memberikan penjelasan secara umum. Dalam putusannya, kata Fajar, MK sejatinya sudah memberikan rambu-rambu perihal pengisian Pj.

Hal prinsip yang harus dipegang dalam penunjukan Pj adalah tetap memperhatikan asas demokratis. Salah satunya dengan menerbitkan regulasi yang jelas dan proses yang transparan. ’’Mahkamah Konstitusi di dalam putusan ini mengatakan, untuk terminologi dipilih secara demokratis itu, maka pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana,’’ tuturnya.

Sayang, lanjut Fajar, rambu-rambu tersebut tidak dijalankan hingga saat ini. Bagi MK, sikap para pihak untuk tidak menjalankan pertimbangan atau putusan MK bukan yang pertama terjadi. ’’Ketika itu tidak dilaksanakan dan pertimbangan hukum dianggap tidak mengikat atau diabaikan. Saya kira bukan kali ini saja, maka itulah timbul polemik,’’ jelas Fajar.

Terkait pengisian Pj, Fajar menyebut putusan MK menegaskan, sepanjang berstatus jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya atau pratama, seseorang dapat menempati posisi tersebut. Anggota TNI/Polri juga diperkenankan menjabat posisi sipil sepanjang sudah mengundurkan diri.

Itu tertuang dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Polri dan Pasal 47 UU TNI. Untuk TNI aktif, dapat menjabat di lembaga lain terbatas pada 10 jenis. Yakni, kantor Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

’’Di luar jabatan yang spesifik disebutkan itu tentu berlaku pada prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun,’’ jelasnya.

Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus mengkritik sikap pemerintah. Menurut dia, prajurit TNI dan anggota Polri aktif tidak boleh menjadi PJ Kada. Seharusnya pemerintah mempertimbangkan putusan MK. ’’Yang jelas, TNI dan anggota Polri aktif memang tidak boleh, purnawirawan yang boleh menjabat,’’ ujar Guspardi kepada wartawan.

Gaspardi menerangkan, UU Pilkada telah mengatur bahwa Pj bupati/wali kota berasal dari JPT pratama. Sementara jabatan kepala BIN daerah (Kabinda), menurut Guspardi, bukan merupakan JPT pratama.  

Selain itu, penunjukan TNI aktif bertentangan dengan UU TNI. Lebih lanjut, salah satu amanat reformasi menekankan agar dwifungsi TNI/Polri dihapuskan. ’’Masih banyak pejabat pratama untuk bupati, wali kota dari kalangan sipil yang bisa ditunjuk pemerintah sebagai Pj kepala daerah. Itu yang harus dikedepankan,’’ pungkas anggota Baleg DPR RI tersebut. (far/c17/bay)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X