Catatan Syafril Teha Noer
DI ANTARA banyak hal tentang Buya Ahmad Syafii Maarif yang berpulang di hari utama, Jumat (27/5), beberapa yang terbuhul oleh interaksi langsung ini sulit dilupakan. Pertama, saat beliau mengajar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua, ketika kami bersua pada reuni akbar tahun keseratus madrasah, di mana beliau juga pernah belajar itu.
Resminya, Buya adalah guru Bahasa Inggris kami di kelas empat Muallimin tahun 1975. Tak resminya, bersamaan dengan itu beliau tularkan pula disiplin waktu, apresiasi sastra, terutama puisi, serta sejarah dan politik. Catat. Pelajaran politik bagi murid setara satu SMA.
Selalu tanpa ke ruang guru. Usai memarkir sepeda motor butut yang pasti kalah laju dari sepeda motor sebagian kami, kerap sudah di kelas 5 sampai 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Ruangan kosong. Kami masih istirahat pertama atau kedua. Beliau biasa menunggu sambil membaca. Kelak pelajaran dimulai dengan puisi. Salah satu yang paling kami ingat adalah karya John Cornford, berjudul Huesca terjemahan Chairil Anwar.
Huesca
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku
Angin bangkit ketika senja
Ngingatkan musim gugur akan tiba
Aku cemas bisa kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku
Di batu penghabisan ke Huesca
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita
Kenanglah sayang dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada
Dan jika untung malang
Menghamparkan daku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal
***
John Cornford adalah penyair Inggris, relawan dalam perang saudara di Spanyol. Sebagaimana Chairil, usianya sangat singkat. Lahir 27 Desember 1915, dan tewas ketika berperang mempertahankan Madrid dan Boadilla di Cordoba, sehari setelah ulang tahunnya yang ke-21.
Huesca ditujukan kepada kekasihnya sesama aktivis, Margot Heinemann. Ditulis pada usianya yang ke-20. Entah kebetulan entah disengaja. Cornford adalah seorang komunis. Dan pelajaran hari itu dimulai Buya dengan menyuruh kami menyalin artikel berbahasa Inggris tentang kejatuhan Vietnam Selatan ke tangan Vietnam Utara, 30 April 1975, menandai penyatuan Vietnam di bawah rezim komunis.
Setelah penjelasan tentang gramatika Inggris, artikel di papan tulis tadi dihapus. Buya menggantinya dengan gambar peta wilayah negara-negara di Semenanjung Indochina. Mencakup wilayah bekas jajahan Perancis, Vietnam, Kamboja, serta Laos. Selebihnya adalah Myanmar, Thailand, dan sebagian Malaysia.
Politik global masa itu sedang dalam Perang Dingin. Blok Barat pimpinan Amerika sedang bermuka-muka dengan Blok Timur di bawah Uni Soviet dan China. Namanya saja yang ‘perang dingin’. Dari waktu ke waktu nyatanya makin panas. Masing-masing terus memperluas hegemoni.
Presiden Amerika Dwight D. Eisenhower mengingatkan ‘efek domino’ pada penetrasi komunisme. Seperti permainan domino atau gaple, begitulah komunisme pada pandangan Amerika memperluas pengaruh dari satu ke lain negara sambung-menyambung. Setelah Vietnam, bukan mustahil Asia Tenggara.
Pandangan itu pula yang memberi Amerika ‘alasan’ untuk terlibat dalam perang Vietnam lewat bantuannya ke Vietnam Selatan, yang nyatanya mubazir itu. Hari ini Uni Soviet sudah bubar. Kecuali Rusia yang masih bisa melotot ke Amerika, yang tersisa tinggal negara-negara kecil di Balkan. Komunisme dianggap sudah tidak lagi mengancam. Sebab China pun sudah sekapitalistik Amerika. Keduanya hanya dibedakan oleh sistem politik dan sosial.
Tapi kami di Muallimin kala itu, bahkan dunia, jelas masih jauh realitas sekarang. Terutama sejak tahun 1965, tahun 1970-an komunisme masih teramat horor. Sekencang apa pun cinta berdegup, berpacaran dengan anak atau cucu mantan penganut komunis dihindari. Keterpaparan paham itu diwaspadai. Sungguh bagai terhadap virus Corona tempohari.
Maka uraian-uraian Buya tadi, ditambah catatan-catatan bagaimana kaum beragama menjadi musuh utama komunisme, jelas amat memukau dan mencekam kami. Seakan Saigon, ibukota Vietnam Selatan yang direbut Vietnam Utara itu, terletak di samping Kulon Progo - cuma 30-an kilometer dari Yogyakarta.
Sayangnya, tak lama Buya bersama kami. Beliau harus meneruskan studi sejarah di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika - di mana kelak terlibat dalam kajian Al-Quran bersama tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, beliau berdiskusi intensif dengan dua tokoh nasional, Nurcholish Madjid dan Amien Rais.
Alih-alih ke Bahasa Inggris, pesona Buya lewat ‘four in one’ pelajaran tadi, tak ayal memantik penasaran. Saya malah tergoda, pingin tahu. Kebetulan, selama studi di Amerika buku-buku beliau dititipkan di salah satu kamar asrama Muallimin. Tapi pintunya terkunci rapat. Kuncinya dalam lemari pembimbing yang juga terkunci rapat. Konon, karena ada buku tentang komunisme di situ.
Lho, justru! Saya melihat peluang suatu hari. Ada ‘anak jendela’ di sisi luar kamar itu. Cukup untuk badan saya. Sebentar kemudian saya sudah di dalamnya. Mencari-cari. Ketemu. Tentang Marxisme dan Buku Merah Mau Tse Tung - Bapak Komunis China. Saya bolak-balik halamannya.
Alhamdulillaah. Tak satupun yang nyangkut dan saya pahami. Adegan curi baca ini tak saya ceritakan saat kami berbincang di sela Reuni Akbar tahun ke-100 Muallimin di Yogyakarta, 33 tahun sejak Buya tak lagi mengajar kami secara langsung. Namun kalimat beliau di waktu berbeda, juga di kelas empat, saya ucapkan ulang. Di depan beliau. “Bagi saya, tidak penting; mau dianggap Muhammadiyah atau bukan. Bahkan mau dianggap muslim atau bukan. Karena yang terpenting adalah bagaimana Tuhan akan menganggap saya”. Begitu bunyinya.
Buya menatap rada dalam. Tersenyum. Lalu meninju perut saya, seraya berkata, “Ingat saja Anda ya?” Kami, murid-murid yang masih merasa murid di usia yang tak lagi muda, serempak tertawa. Tidak ingat, dalam kaitan apa beliau mengucapkan itu. Tapi, terutama bagi saya, jelas sangat membekas.
Apalah arti ‘anggapan’ bila hanya bermakna sentimen sempit kelembagaan, asesoris, simbol-simbol, busa-busa, yang hanya memupuk takabbur hampa? Ormas, kendati pun tetap sangat penting, sejatinya ‘hanyalah’ cara atau ‘jalan’ menuju anggapan Tuhan. Tidak boleh lebih penting dari Tuhan.
“Karenanya, bagaimana Tuhan akan menerimamu, menganggapmu, itulah pokok-pangkal masalah kita sebagai manusia”. Demikian seolah Buya menitipkan pesan-wasiat.
Tiga hari lagi, 31 Mei, usia Buya genap 87 tahun. Tahun lalu pelukis Jumaldi Alfi lewat Yayasan Seni Sarang memelopori penerbitan buku kumpulan tulisan sejumlah tokoh perempuan, menandai 86 tahun usia beliau. Judulnya Ibu Kemanusiaan. Komunitas Ladang terlibat dalam peredarannya di Kalimantan Timur.
Tahun ini penandaan demikian agaknya tak lagi diperlukan. Buya sudah membuat sendiri penandaan-penandaan lewat berjibun sumbangsih. Tanda cinta beliau untuk semua yang masih menunggu giliran pulang, seperti penggalan empat baris terakhir puisi yang dulu beliau bacakan,
Dan jika untung malang
Menghamparkan daku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.
Terima kasih, Buya. ***