BERAU hingga kini masih menjadi “surga” bagi penyu. Dari persebaran pulau-pulau, sedikitnya ada tujuh pulau yang terdata Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim menjadi lokasi yang kerap didatangi penyu untuk bertelur. Yakni Pulau Sangalaki, Pulau Semama, Pulau Palimbangan, Pulau Sambit, pulau Mataha, Pulau Bilang-bilangan, dan Pulau Derawan.
“Selain ketujuh pulau ini, sebenarnya masih ada beberapa pulau yang berpotensi menjadi tempat penyu bertelur,” ungkap Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Berau BKSDA Kaltim, Dheny Mardiono.
Pulau Sangalaki disebut menjadi pulau paling banyak didatangi penyu untuk bertelur. Dheny menyebut, selain minim gangguan dan tak berpenghuni, pernah ada penelitian jika kondisi pasir di Pulau Sangalaki diduga memiliki tekstur yang lebih disukai penyu. Memudahkan untuk menggali lubang. Mengingat penyu merupakan hewan yang sensitif, apalagi saat musim bertelur.
“Puncaknya tahun lalu, ada 98 penyu mendarat dalam semalam di Pulau Sangalaki. Itu angka tertinggi yang pernah kami catat,” kata Dheny.
Musim bertelur penyu di Berau terjadi antara Juli hingga September. BKSDA Kaltim pada masa tersebut semakin intens patroli. Meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya pencurian telur. Mengingat hingga saat ini telur penyu masih menjadi sasaran bagi oknum masyarakat untuk diburu dan dijual. Bahkan dulunya disebut Dheny, intensitas pencurian meningkat menjelang Idulfitri.
“Faktornya ekonomi. Kami sebenarnya punya data siapa-siapa yang biasa mencari telur penyu. Kepada mereka kami berikan bimbingan dan pembinaan. Dan secara umum kami tetap melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar pulau” ujarnya.
Di Pulau Derawan, BKSDA Kaltim pun membentuk kelompok bernama Derawan Mandiri. Anggotanya diajarkan untuk membuat kerupuk kulit ikan. Agar ekonomi mereka meningkat dan mengalihkan perburuan telur penyu. Mengurangi mitos khasiat telur penyu, hingga mengajak masyarakat lainnya untuk sadar tidak mengambil telur penyu.
“Sebenarnya hampir semua masyarakat tahu jika mengambil telur penyu itu dilarang. Tetapi karena terdesak ekonomi mereka tetap melakukannya,” sebutnya.
Sementara untuk pengawasan dan penindakan, BKSDA juga bekerja sama dengan TNI-Polri untuk meminimalisasi terjadinya pencurian. Khusus tiga pulau, seperti Pulau Sangalaki, Semama, dan Derawan, langsung ditangani BKSDA Kaltim, dari patroli hingga konservasi. Untuk empat pulau lain, pihaknya bekerja sama dengan organisasi yang peduli penyu.
“Kami sudah membentuk kerja sama dengan kepolisian untuk patroli. Ke depan kami juga akan menggandeng TNI AL untuk ikut membantu pengawasan,” sebutnya.
Selama lima tahun terakhir, upaya edukasi, patroli, hingga penindakan terbukti telah mengurangi persentase pencurian telur penyu. Dheny menyebut, sejak 2018, 15 persen dari total sarang penyu dijarah, kini jumlahnya turun drastis menjadi 3 persen. Data itu diperoleh khusus di Pulau Sangalaki yang ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam.
“Selama lima tahun terakhir juga terjadi peningkatan jumlah penyu mendarat dan bertelur. Termasuk penetasan telur menjadi tukik,” tuturnya.
Untuk kematian, Dheny menyebut memang masih ditemukan penyu yang mati tidak wajar. Namun, soal penyebabnya, dia tidak ingin berspekulasi. Apakah penyu yang ditemukan mati akibat ulah manusia atau faktor alam. Meski pada kasus tertentu, luka diduga berasal dari baling-baling kapal. Tetapi hal itu harus dibuktikan secara resmi. Faktor lain jika tidak ditemukan luka di luar, bisa saja penyu itu mati karena tertelan plastik. Tapi ditegaskannya itu harus dibuktikan dengan pembedahan.
“Untuk sampah plastik memang masih meresahkan. Entah sampah kiriman atau bukan, kami secara rutin ketika memasuki musim bertelur selalu membersihkannya. Tetapi sampah ini yang kami lihat tidak terlalu mengganggu penyu untuk bisa mendarat ke pulau,” ungkapnya.
Disinggung soal identifikasi dengan label ke penyu, BKSDA Kaltim pernah melakukannya. Namun, dari berbagai masukan berbagai kalangan, pemberian label ternyata masih menjadi perdebatan. Sebagian aktivis satwa menganggap pemberian label termasuk menyakiti karena membuat lubang pada bagian tubuh penyu. Lainnya menganggap pada bagian tertentu seperti bagian dalam sirip penyu tidak masalah jika dilubangi.
“Tahun-tahun sebelumnya kami sudah jarang menemukan penyu yang dilabeli. Hanya nol koma sekian persen dari yang mendarat dalam setahun. Artinya secara internasional pun sepertinya tidak pakai label,” bebernya.
MELESTARIKAN PENYU DARI SANGALAKI
Dari Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangalaki, Berau, tukik alias bayi penyu coba diselamatkan. Tiap hari pekerja di TWA itu, harus menapaki jalan berpasir. Salah satunya, Hadransyah. Tiap hari dia berjalan di bawah remang cahaya bulan.
Jika mendengar ada suara galian pasir tergesa-gesa, Hadran langsung menghentikan langkah. Dia menunggu sampai tak ada pergerakan lagi. Ketika situasi dirasa dia pas, senter pun dinyalakan lagi. Dia menunggu sosok hewan dengan sirip yang menyapu pasir itu selesai. “Kalau dia (penyu) bertelur di tempat yang sekira tidak aman, kami pindahkan. Kalau misalnya aman, kami biarkan saja,” kata dia.
Di pulau yang masuk gugusan Kepulauan Derawan itu, ratusan telur penyu bisa dia temukan dan mesti dievakuasi ke dekat kantor tempatnya bekerja. Di sana dia bisa mengubur ratusan telur penyu yang dievakuasi, di tempat penangkaran yang sudah disiapkan.
Jika tempat penangkaran penuh, telur penyu ditanam di halaman Kantor TWA Pulau Sangalaki. Faktor keamanan yang menyebabkan telur penyu harus dievakuasi adalah keamanan dari penjarah, hingga pasang surut air laut.
Selama dua bulan, biasanya telur ditanam. Hingga tukik menetas sendiri dan naik ke permukaan. Di dalam areal penangkaran telur itu, bisa menampung hingga 30-an sarang. Satu sarang, bisa diisi telur sekitar seratusan. Usai naik ke permukaan, biasanya tukik dikumpulkan dahulu di bak yang mereka siapkan.
“Biasanya kami taruh semalam di bak ini. Nanti kami lepaskan. Sama untuk edukasi pengunjung juga di sini. Bagaimana tukik itu,” sambung Hadransyah.
Perjalanan sebuah telur penyu, menjadi penyu yang bebas berenang di lautan, cukup terjal. Setelah dua bulan terpendam dalam pasir, telur yang bisa menjadi tukik hanya sekitar 80 persen. “Telur ke tukik 80 persen. Kalau tukik yang bisa besar jadi penyu, seribu banding satu,” sambungnya.
Upaya konservasi penyu itu sudah dipayungi hukum yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Hal itu seiring dengan perburuan telur penyu untuk dikonsumsi. Rata-rata penyu yang bertelur di Sangalaki adalah penyu hijau. Induk penyu biasa bertelur 2-4 tahun sekali. Lalu, kembali ke lautan untuk hidup. “Tukik sebagian kami lepaskan. Sebagian merayap sendiri ke laut, mereka tahu jalannya,” ucapnya. Selain di Sangalaki, upaya konservasi penyu dilakukan juga di Pulau Semamak di sebelah Sangalaki. (rom/k16)