Bambang Iswanto
Pemerintahan Orde Baru dikenal sebagai masa suram perjalanan demokrasi di Indonesia. Kebebasan berpendapat diredam. Pers dibungkam dengan ancaman dibredel jika memberitakan hal negatif tentang pembangunan. HAM sering diinjak atas nama stabilitas pembangunan. Pemilu pun dipaksakan muncul agar negara ini disebut sebagai negara demokrasi, padahal yang dibangun adalah demokrasi semu.
Namun, tidak arif rasanya menilai semua yang dilakukan pemerintah saat itu jauh dari apa yang diinginkan masyarakat. Masih banyak hal positif yang dirasakan masyarakat dan dikenang sebagai peninggalan yang susah dirasakan saat ini. Satu di antaranya bagaimana pemerintah menggerakkan segenap kemampuannya untuk mensyiarkan Al-Qur’an dengan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ).
Siapa yang hidup di masa Orde Baru tidak kenal dengan Mars MTQ? “Gema Musabaqah Tilawatil Qur’an, Pancaran Ilahi...” merupakan penggalan awal mars MTQ. Di era 80-an, hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, hafal dengan mars tersebut. Jika tidak seluruhnya, minimal intro dan potongan awal syairnya.
Orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak akrab dengan lagu ini. Terlebih di saat menjelang perhelatan MTQ dilaksanakan. TVRI sebagai satu-satunya media audio-visual saat itu, menayangkannya berulang-ulang. Tidak ketinggalan RRI, sampai dengan radio-radio non-pemerintah turut mengiklankan peristiwa rutin tersebut.
Masyarakat sudah diberi tahu sejak awal tentang akan diselenggarakannya MTQ. Bukan hanya media massa, umbul-umbul dan spanduk seolah seragam menyambut gegap gempita terlaksananya MTQ. Seluruh jajaran pemerintah dan swasta seakan berlomba menyukseskan penyelenggaraan syiar Qur’an ini. Masyarakat berbondong-bondong menonton perlombaan dan menikmati keindahan yang dihadirkan Al-Qur’an.
Itu dulu. Beda dengan sekarang. Kehadiran MTQ tidak dirasakan lagi gaung dan gemanya. Tidak ada tayangan iklan di TV-TV yang menggaungkan iklan berulang-ulang. Yang ada hanya serpihan berita kecil. Tenggelam di antara berita-berita tentang kehidupan artis yang tidak penting, berita perseteruan sisa-sisa perbedaan pilihan politik yang pertarungannya sudah lama usai, dan berita-berita kriminal atau hoaks.
Pelaksanaan MTQ yang tinggal beberapa hari di ibu kota Bumi Etam, Samarinda, hampir tidak terlihat gaungnya. Seperti tidak ada event apa-apa. Padahal, Samarinda saat ini melaksanakan satu hajat besar mensyiarkan Al-Qur’an level provinsi. Pesertanya terpilih dari seluruh kabupaten kota se-Kalimantan Timur yang berkompetisi menjadi terbaik dalam lomba-lomba yang mengeksplorasi keagungan, dan keindahan Al-Qur’an serta penguraian maknanya.
Hampir bisa dipastikan, mayoritas masyarakat banyak belum tahu tentang MTQ, terlebih generasi milenial. Alih-alih hafal mars, bendera, dan logo. Kepanjangan MTQ saja belum tentu bisa banyak yang menjawabnya. Belum lagi jika pertanyaan diteruskan dengan, apa saja yang ada di penyelenggaraan MTQ.
Coba tanyakan kepada khalayak, kapan final Liga Champion? Liverpool ataukah Real Madrid yang meraih trofi kompetisi antarklub paling bergengsi di Benua Biru. Atau pertanyaan negara mana yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 ini?
Kemungkinan besar mereka bisa menjawab dengan fasih. Tidak usah pertanyaan yang jauh dari negeri sendiri. Pertanyaan tentang apa itu Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Pekan Olahraga Daerah? Kemungkinan besar banyak yang bisa menjawab dengan fasih.
Begitupun jawaban atas event olahraga yang lebih luas seperti SEA Games yang saat ini sedang berlangsung, Asian Games, dan olimpiade olahraga.
Fakta di atas paradoks dengan MTQ. MTQ sebagai representasi perlombaan yang berdimensi spiritual, ketika disandingkan dengan perlombaan-perlombaan olahraga yang berdimensi fisik dan raga, berjalan tidak seiring. Perlombaan olahraga memiliki gaung yang lebih besar, meriah, dan semarak.
Di sisi lain, MTQ denyut nadi lemah yang susah diraba. Perbedaannya seperti langit dan sumur. Yang tahu tentang MTQ hanya panitia, peserta, dewan juri, dan masyarakat seputar arena. Masyarakat luas banyak yang belum tahu perlombaan apa saja yang disajikan. Bagi yang sebagian yang sudah kenal MTQ, lomba yang ada hanya lomba membaca Al-Qur’an dengan berlagu.
Padahal, banyak cabang lomba lain seperti halnya lomba cabang olahraga dalam sebuah perlombaan. Jika di pekan olahraga ada renang dengan segala mata cabangnya, atau lari dengan pecahan cabangnya, dan seterusnya. Di MTQ, tidak hanya perlombaan membaca Al-Qur’an dengan jenis cabangnya. Ada perlombaan menghafalkan Al-Qur’an; menafsirkan Al-Qur’an bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris; mensyarahkan Al-Qur’an; menulis indah ayat-ayat Al-Qur’an; memahami Al-Qur’an; serta menulis makalah tentang kandungan Al-Qur’an.
Membandingkan perlombaan fisik dan perlombaan non-fisik, menarik untuk mencari tahu kenapa berbeda gema dan gaungnya. Mengapa MTQ kalah pamor dari lomba olahraga. Apakah karena faktor kurangnya perhatian dan dukungan dari pemangku kebijakan? Jawabannya sangat mungkin iya.
Secara kasatmata terlihat keberpihakan anggaran yang tidak seimbang antara MTQ dan lomba olahraga. Lomba olahraga anggaran diketuk dengan angka yang jauh melampaui angka anggaran MTQ.
Imbasnya, perlombaan olahraga tampak sekali kemeriahannya. Dari sosialisasi sampai pelaksanaan. Iklan mentereng, perbaikan infrastruktur tidak hanya terkait arena, tetapi sekitar arena juga menjadi lahan perbaikan.
Belum lagi berbicara mengenai hadiah untuk pemenang. Angka-angkanya semua di atas pemenang MTQ. Wajar jika gema MTQ hanya terdengar samar ditelan gema pesta olahraga.
Semua sepakat bahwa pembangunan rohani dan jasmani, jiwa dan raga, sama-sama penting. Jika disuruh menentukan mana yang lebih penting, semua juga sepakat membangun rohani lebih utama. Tidak ada yang berbeda pendapat, bahwa kehancuran sebuah negara bukan karena lemahnya fisik atau raga warganya, tetapi karena bobroknya moral warganya. Tapi anehnya kenapa pembangunan aspek fisik lebih menjadi prioritas dibanding pembangunan rohani. Wallahu a’lam. (dwi/k8)